BAB 19 (Misi Sosial)

69.4K 8.3K 490
                                    



[Sekarang setiap babnya akan ada lagu di multimedianya, kalau ini Ten 2 Five – You. Happy reading!]

Matahari pagi yang masuk melalui jendela sontak membuat mataku silau. Tapi rasa nyaman membuatku tetap ingin melanjutkan tidur. Apalagi semalam mimpiku terlalu indah. Aku ingin tenggelam didalamnya, lalu hanyut, dan tidak pernah kembali lagi ke dunia nyata. Selama dia disini, selama aku bisa memastikan dia baik-baik saja.

Namun jika Tuhan menakdirkan garis yang berbeda, bahwa aku harus segera terbangun dari bunga tidur ini, aku harap saat itu aku sudah siap. Melepaskan. Mengikhlaskan. Karena terkadang menyayangi itu harus merelakan, agar dia bisa mencari bahagianya sendiri. Mencintai bahagianya menurutku adalah yang cinta yang terbaik dan doa-doa yang terhantar melalui tanah, air, dan udara adalah kekuatan terdahsyat karena sampai melibatkan Tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri.

"Mereka habis ngapain sih? Capek banget kayaknya,"

"Rendy bilang semalam nggak ada pasien yang masuk sih,"

"Tapi kenapa posisi tidurnya nelangsa gini ya?"

"Iya juga ya, Dok,"

"Ah, mungkin supaya kalau ada pasien masuk nggak bablas tidur kali!"

Telingaku langsung terganggu oleh kicauan-kicauan cempreng yang sukses membuat tidurku tidak lagi sempurna. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Ada bayangan-bayangan manusia tampak dihadapanku. Aku kucek mataku beberapa kali. "ASTAGHFIRULLAH!"

Refleks aku berteriak kaget melihat pemandangan yang ada di depan mataku. Mereka semua—the residens dan teman-temanku sedang berdiri membungkuk sembari menatap aneh ke arahku.

Dan aku merasakan sebelah bahuku terasa berat. Saat aku menengok, "ASTAGA!" betapa terkejutnya aku saat mendapati kepala dokter Adit yang sedang tertidur pulas bersandar pada bahuku. "Dok, Dok bangun, Dok!" Aku menggoncang-goncangkan bahuku.

"Kenapa dibangunkan? Biarkan saja," kata dokter Chandra malah membuatku melongo.

Dan yang lebih parahnya lagi, posisiku sekarang sedang duduk ngedeprak di lantai ruang residen, dengan punggung menempel pada tembok. Ini... agak mirip gembel sih. Pasalnya, di ruang residen ini sebenarnya ada sofa yang memang biasa digunakan para residen yang sedang jaga malam untuk tidur.

"Ehmmm...," Seperti terganggu oleh goncangan bahuku, dokter Adit menggeliat lalu mengucek-ngucek matanya. Kepalanya terangkat dari bahuku.

The residens minus dokter Adit dan teman-temanku langsung mengangkat punggung berbarengan, seakan menanti apa yang akan terjadi setelahnya.

Dokter Adit mulai membuka matanya. Tapi karena silau, dia menaungi kedua matanya dengan telapak tangannya. Dia tidak tampak terkejut sama sekali dengan kehadiran serombongan manusia dihadapannya itu sepertiku tadi. "Eh, hai!" begitu sapanya dan tanpa meninggalkan pesan apapun dia malah bangkit dari posisi duduknya lalu ngeloyor pergi masuk ke kamar mandi.

Kami semua sampai terpana melihat tingkahnya yang seakan tidak memikirkan apa yang ada di benak kami. "Apa katanya tadi? Just 'hai'?" dokter Poppy sampai membuka mulutnya lebar sekali sangking tidak percayanya.

Aku juga ikut-ikutan bengong, tapi karena pandangan mereka semua mendadak beralih padaku, aku langsung menunduk takut. "Maaf, saya harus mandi dulu," kataku dan langsung ngibrit ke ruang koas.

Internal LoveWhere stories live. Discover now