BAB 28 (Malam Penentuan)

97.1K 8.2K 972
                                    

6 bulan kemudian...

Mataku melirik jam tangan yang sudah melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 19.00. Masih ada waktu satu jam untuk mempersiapkan semuanya. Untung saja pesawatku tidak delay sehingga aku masih punya kesempatan untuk bernapas dan menghafalkan naskah yang sudah terpatri dalam benakku.

Inhale. Exhale.

Entah kenapa aku merasa sedikit gugup.

Tanganku meraih jas yang sudah kupersiapkan di atas kasur lalu mengenakannya. Tidak ada yang menyuruh untuk berpakaian formal sih, tapi rasanya aku ingin mengenakannya, karena malam ini akan menjadi salah satu malam yang penting untukku. Semoga saja berjalan lancar.

DRRRTTT... DRRRTTT...

Aku mengambil handphone dan membuka pesan LINE yang masuk. Seketika muncul foto kami berdua pada wallpaper chat personal antara aku dan dirinya. Entah kenapa aku suka tersenyum sendiri saat memandangnya. Foto itu memang diambil secara candid oleh teman-temanku di RS Fatmawati 5 tahun yang lalu, tepatnya saat perpisahan residen.

Defibrilator: Mas, hari ini aku 'bau'

Aditya Nagendra: Rame pasiennya?

Defibrilator: Iya. Kyknya bakal ngaret

Aditya Nagendra: It's ok. G'luck!

Seperti yang terlihat, sudah banyak yang terjadi selama 6 bulan ini, terhitung semenjak terakhir kali aku menembaknya. Dia tidak lagi menghindariku. Perubahan-perubahan kecil yang terjadi ini dapat ku list dalam beberapa poin berikut:

Pertama, nama panggilan. Dia sudah tidak lagi memanggilku 'Dokter', tapi beralih menjadi 'Mas'. Ini dia lakukan setelah aku memintanya berkali-kali. Awalnya dia merasa tidak nyaman, tapi karena aku berusaha untuk membiasakannya, akhirnya dia jadi terbiasa sendiri. Lalu kata ganti subjek 'saya' juga sudah berubah menjadi 'aku'.

Kedua, nama kontak di handphone masing-masing. Aku mengetik namanya di kontakku 'Defibrilator', sedangkan dia mengetik namaku di kontaknya 'RJP'. Lumayan romantis, bagiku.

Ketiga, frekuensi berkirim pesan dan jumlah kata. Minimal kami mengirim 1 kata dalam sehari. Aku mengatakan minimal karena memang sering terjadi aku yang mengirimkan pesan "Hai" dan dia menjawab "Hai" 13 jam kemudian. Setelahnya, tidak terjadi apa-apa hingga keesokkan harinya aku mengirimkan pesan "Pagi" lalu dia jawab "Malam". Begitu seterusnya sampai dunia kiamat. Aku sih tidak masalah, toh yang penting aku tahu dia masih hidup karena bisa membalas pesanku.

Keempat, pedekate pada orang tuanya. Tenang, semua sudah bisa kuatasi. Pada dasarnya Ibu Lastri dan Bapak Aryo adalah orang yang menyenangkan, hanya saja mereka terkadang kelewat kepo. Contohnya, saat kemarin aku liburan ke Yogyakarta, aku memotong rambutku menjadi lebih tipis, kemudian mereka bertanya. "Ini model rambut apa?" "Potong dimana?" sampai yang terekstrem "Punya uban berapa helai? Lomba banyak-banyakan uban yuk sama Bapak dan Ibu!".

Kelima, liburan bersama. Karena jarak yang membentang antara Jakarta dan Yogyakarta, serta kesibukkan yang tidak bisa diajak kompromi, akhirnya aku punya akal untuk melakukan virtual holiday. Jadi, virtual holiday adalah liburan dengan mengandalkan kekuatan sinyal handphone, aplikasi yang dapat melakukan video call, dan rantang berisi makanan. Caranya, kami melakukan video call lalu makan makanan di rantang masing-masing. Menarik bukan cara liburan seperti ini?

Keenam, nasibku. Masih digantung.

Menyedihkan.

Dan malam ini, tepat 6 bulan setelah penembakan saat itu, aku akan melamarnya. Tidak tanggung-tanggung, aku sampai memesan meja khusus di Abhayagiri restaurant yang kata Google merupakan restaurant dengan pemandangan paling romantis di Yogyakarta. Demi Tuhan, aku terus menerus mengucap doa semoga keromantisan suasana nanti tidak rusak oleh kata-kataku yang sering menyerocos tanpa pikir panjang dan membuatnya kesal. Malam ini, aku benar-benar ingin menjadi lelaki romantis seperti di drama-drama korea yang sering di tonton bibi. Totalitas!

Internal LoveWhere stories live. Discover now