Third : Thanks

518 53 3
                                    

Akhirnya MOS berakhir setelah tiga hari kegiatan yang sangat melelahkan. Mulai dari berkeliling sekolah, perkenalan pada guru guru, tentang semua fasilitas, ekstrakulikuler, dan prestasi SMA Galaksi. Arin merasa lega sekarang. Ia memutuskan untuk mengikuti ekstrakulikuler musik dan fotografi. Dua hal yang sangat ia sukai. Arin sekarang jadi lebih akrab lagi dengan Citra, Ronal, dan Donny.

♪♪♪

kring!!kring!!kring!!

Arin menghela nafasnya mendengar bel istirahat telah berbunyi. Pelajaran fisika yang sangat menyusahkan. Ditambah pak Didik, guru fisika yang super killer. Huh.

"Yuk, guys kantin udah laper nih." ajak Arin.

"Gue sama Ronal mesti ke ruang OSIS, Rin. Mau daftar futsal." jawab Donny.

"Ya udah deh. Yuk, Cit."

Citra yang masih berkutat dengan buku matematikanya tidak melirik sedikitpun ke arah Arin.

"Duh sorry, Rin. Gue masih nyalin PR matematika. Lo mah enak udah. Lagian nih sekolah, baru masuk juga, tugas udah banyak. Gimana besok? Lo ke kantin sendiri ya?"

"Elah. Lo lo pada sok sibuk nih ceritanya. Ya udah deh gue ke kantin dulu ya" pamit Arin pada ketiga temannya lalu berlalu ke kantin.

Setelah sampai kantin, Arin memesan es coklat imut dan satu roti bakar isi coklat. Kantin tidak terlalu ramai hari ini sehingga Arin cepat mendapat pesanannya. Biasanya Arin akan memakan makanannya di kantin. Tapi berhubung ia ke kantin sendiri, ia tak akan memakannya di kantin. Arin sedang ingin ke ruang musik, mumpung jam istirahat masih 10 menit lagi.

Arin pun berjalan menuju ruang musik yang berada di dekat UKS. Akhirnya sampailah ia di depan pintu ruang musik. Di bukanya pintu itu. Sepi. Bagus, Arin bisa bermain piano dengan tenang karena tidak akan ada yang melihatnya.

Arin pun duduk di sebuah kursi dari grand piano SMA Galaksi ini. Tangannya mulai memainkan tuts tuts piano yang mengalunkan lagu Mariage D'amour milik Richard Clyderman. Lagu itu mengalun begitu lembut, menciptakan nada nada yang harmonis. Sungguh indah di dengar. Setiap dentingannya membuat suasana hati Arin tenang.

Tepat saat nada terakhir dari lagu itu selesai, bel masuk pun berbunyi. Arin segera bangkit dari kursi itu dan bergegas keluar. Arin membuka gagang pintu ruang musik itu dan di bukanya perlahan.

"AAAAAAA" teriak Arin kaget karena tiba tiba ada seorang cowok yang berdiri di balik pintu itu. Arin melihatnya dari atas sampai bawah. Ia seperti pernah melihatnya tapi dimana? Entahlah Arin lupa.

"Ngapain lo liat liat." ucap cowok itu ketus dengan nada dinginnya. Arin tersentak.

"Nggak papa. Gue cuma ngerasa pernah liat lo aja."

"Minggir lo, gue mau lewat." kata cowok itu sambil sedikit mendorong bahu Arin, tapi berhasil membuat tubuh Arin terjatuh.

"Woi lo gila ya?" omel Arin pada cowok itu karena membiarkannya jatuh. Tapi cowok itu tidak sedikitpun menggubris perkataan Arin. Ia malah duduk di kursi piano. Dengan kesal Arin, menghampiri cowok itu.

"Lo tuh udah dorong gue sampai jatoh. Bisa kan nolongin atau seenggaknya bilang maaf." omel Arin panjang lebar dengan nada tinggi. Sekali lagi. Cowok itu tak menggubris omelan Arin.

"Lo tuli ya? Nggak dengar apa gue ngomong?"

"Lo tuh ngapain sih hah?"
bentak cowok itu pada Arin. Sorot matanya yang tajam menusuk mata Arin.

Arinta's StoryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora