Seventh : Previously

283 35 0
                                    

     Rakha memasuki rumah bergaya Eropa di kawasan elite. Rakha menutup pintu rumahnya. Ia berjalan ke arah kamarnya yang berada di lantai 2.

"Rakha dari mana kamu?" suara berat itu memanggil Rakha. Rakha tak mendengarkan sedikitpun perkataan lelaki paruh baya itu.

"Rakha kamu tak mendengar pertanyaan papamu?" kali ini yang bicara mama Rakha. Tapi Rakha masih tidak menghiraukan perkataan mamanya. Rakha malah berjalan melewati keduanya. Lalu menuju kamarnya dan membuka pintu kamarnya. Rakha menutupnya dengan keras.

     Rakha duduk di kursi balkon rumahnya. Ia mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya. Dihisapnya rokok itu, lalu ia hembuskan hingga asapnya mengepul. Rokok menjadi temannya selama beberapa tahun belakangan.

     Sedangkan barang haram itu, baru beberapa bulan lalu menemaninya. Semenjak hidupnya berubah dua barang itu setia menemaninya.

    Pintu kamar Rakha terbuka, kedua orang tuanya masuk kedalam kamar Rakha. Mereka menghela nafasnya mendapati Rakha yang merokok dengan santainya.  Tanpa takut diamuk orang tuanya.

"Rakha buang rokok itu" perintah Antoni Wijaya. Papa Rakha. Rakha tak menghiraukannya. Ia terus menghisap rokok itu.

"Kamu ini benar benar anak tidak tau diri. Asal kamu tau, kami bekerja keras mengumpulkan uang juga untuk kamu. Kami memberikan fasilitas lengkap supaya kamu nyaman di rumah. Tapi apa, kamu malah keluyuran tidak jelas. Menjadi anak nakal. Pembangkang. Membuat malu orang tua. Baru berapa bulan kamu masuk sekolah. Sudah berapa kali kami di panggil ke sekolah kamu?"

"Rakha kenapa kamu begini nak" keluh mama Rakha.

"Mama tanya kenapa Rakha begini? Mama tanya diri mama sendiri" Belum sempat papa Rakha menamparnya. Rakha sudah menyelanya dengan perkataannya.

"Tampar pa, tampar. Cuma itu yang bisa buat papa puas. Papa cuma mikirin hidup papa. Papa nggak pernah ngerti keaadaan aku. Papa nggak pernah tanya ke aku apa mauku. Dan papa, cuma nyalahin aku dengan keadaanku saat ini. Tanpa papa ngerti aku begini karena papa dan mama" ucap Rakha dengan nada tinggi sambil menatap lekat lekat mata papanya.

"Rakha! Kamu!" geram papa Rakha penuh amarah sambil menunjuk Rakha dengan telunjuknya. Mama Rakha yang menyaksikan perang antara suami dan anaknya hanya bisa menangis.

     Rakha pun keluar kamarnya meninggalkan kedua orang tuanya yang masih termenung di dalam kamar Rakha. Ia menuju garasi dan menaiki motor ninja merahnya.

    Di lajukannya motor itu dengan kencang. Ia ingin pergi. Pergi meninggalkan masalahnya yang tak berujung. Katakanlah Rakha pengecut. Pengecut yang selalu lari dari masalah. Tanpa mau mencoba menyelesaikannya. Egois. Gengsi.  Penghalang yang menjadikan masalah dengan orang tuanya tak kunjung terselesaikan.

     Rakha memasuki kawasan Bogor. Udara sejuk menerpa tubuhnya. Hamparan hijau perkebunan teh merelaksasi mata. Tapi sayang, langit mendung. Seolah ikut merasakan apa yang sedang Rakha alami. Sungguh, Rakha ingin menjerit saat ini.  Meluapkan semua luka dihatinya.  Sebuah luka yang tak berdarah. Yang sakitnya tiada tara. Tapi apalah daya, bibir itu kaku, diam tanpa suara.

     Rakha memasukkan motornya di sebuah villa kecil di dekat hamparan perkebunan teh. Di sebuah desa kecil. Villa kecil dengan sebuah taman yang penuh dengan warna warni bunga, lengkap dengan ayunan disana. Villa ini milik keluarga Rakha. Rakha selalu pergi kesini saat ia sedang menghadapi masalah dan ia tak sanggup menghadapinya.

"Loh mas Rakha tumben kesini" tanya Bi Siti. Penjaga villa, sekaligus pembantu keluarga dulu.

"Iya bik, lagi pingin nenangin diri nih bik" ucap Rakha ramah. Inilah Rakha yang selalu bersikap ramah. Sama seperti dirinya dulu.

Arinta's StoryWhere stories live. Discover now