Threat

869 87 1
                                    

Suara ketuk dari hak sepatu milik Erl menggema di lantai koridor yang perabotannya pekat. Ia membawa nampan penuh dengan buah tanpa kulit, sepotong roti tanpa pinggiran dan air mineral biasa. Itulah makan siang Lili.

Setiap sepuluh meter sekali, Erl melewati prajurit tanpa jiwa berdiri tegak dan kaku. Seperti pajangan klasik yang biasa ada di istana manapun. Kecuali kali ini, benda itu bisa berperang.

Erl memang tidak punya pikiran yang luas. Sejak ia lahir, ia dipaksakan untuk menjadi seorang prajurit yang handal oleh kerajaan putih. Ia diasuh dan dididik menjadi seorang prajurit oleh kerajaan, tentunya setelah ia kehilangan ayah dan ibunya. Lalu sekarang ia menjadi kaki tangan Lili, yang dikenal orang sebagai gadis yang berhasil menetas menjadi mutan.

Gadis itu berhenti di depan pintu besar yang terbuat dari kayu mahoni yang mengilap. Pintu itu terbuka dengan sendirinya dan terpampang pemandangan ruang takhta yang kelam. Di setiap dinding terdapat jendela besar yang buram, supaya cahaya yang masuk tidak terlalu banyak dan tidak membunuh Lili.

Lili duduk di singgasananya masih berpikir cara yang tepat untuk membuat seluruh daratan tunduk padanya.

Perang.

Hanya itu yang terlintas di pikirannya selama ini. Satu hal yang membuat semua makhluk tunduk padanya. Bahkan matahari pun akan tunduk padanya.

Ia mengingat sebuah isu kelam dari tanah yang cukup dekat dengannya, mengenai sang es yang dijerat dan tidak lagi membuat seluruh daratan membeku. Tapi menurutnya hal ini tidak akan benar-benar membantunya.

Lalu ia mengingat kerajaan api yang dikunjungi oleh seorang penyihir dari gunung Agosa. Isu itu benar-benar menyebar ke seluruh penjuru.

"Nona, ini makanan anda," Erl meletakkan makanan Lili diatas sebuah meja yang tiba-tiba saja tumbuh dari lantai mengilapnya di hadapan gadis itu.

Lili menatap Erl sekilas, lalu mengangguk sekali. Ia masih memangku dagunya diatas tangannya, menatap jendela buram yang berada di sebelah singgasananya. Pikirannya bagai berperang di dalam sunyinya ruangan.

"Nona, apa Anda memanggil hamba?" Tanya salah satu prajurit yang masuk, dengan badannya yang kekar dan tegap.

Lili menatapnya sekilas, lalu berdiri. Ia mengambil sepotong potongan apel dan melemparnya. Di udara apel itu tiba-tiba dilingkupi dengan banyak spiral-spiral hitam, sampai potongan apel itu mendarat dilantai, tampak (dan terdengar) seperti kristal hitam, pecah berkeping-keping.

"Aku ingin kerajaan selatan seperti itu," Kata Lili pada prajuritnya sambil menunjuk pecahan-pecahan kristal yang berpendar, lalu berubah menjadi abu, dan membiarkan pria (atau mahkluk) itu pergi.

Erl menatapnya dengan tatapannya yang kosong, seperti biasanya. Lalu berjalan pergi, hendak menghampiri prajurit-prajurit yang akan dipimpinnya menghancurkan kerajaan selatan yang memiliki banyak gosip tentang putrinya yang cantik, permaisurinya yang anggun, dan rajanya yang bijaksana. Tentu kerajaan itu mengundang sorotan mata Lili, bukan untuk dikagumi.

"Erl," Panggil Lili yang membuat Erl berhenti, dan berbalik, "Pastikan kau membawa raja, ratu dan putrinya kepadaku, hidup-hidup. Bersama mahkota mereka bertengger dikepala mereka." Lili bersender pada singgasananya, "Ya?" Erl mengangguk lalu membungkuk dalam, bergegas keluar dari ruangan.

Erl menunggangi kudanya yang sehitam malam, memimpin jalan para prajurit tak bernyawa yang siap berperang itu. Mata gadis itu bersinar merah di dalam kabut tebal, di malam, diatas tanah dimana dulunya kediaman keluarga Lili berdiri.

Dibakar dan rata dengan tanah.

Lili berdiri di depan jendelanya yang sudah sebening kaca biasa, dan tidak buram lagi. Ia ingin melihat pertama kalinya prajurit malamnya berperang. Ia merasa seperti seorang ibu yang melepaskan anak-anaknya untuk bermain, berharap mereka tidak kembali dengan noda di dada mereka.

Gadis itu melepaskan rentangan tangannya yang berada di kaca, lalu kaca kembali buram. Ia kembali duduk di singgasananya dan menghela nafas gugup.

Burung hantu yang dibuatnya dulu dari merpati putih pemberian Anna, terbang rendah disebelahnya. Dari lantai kembali tumbuh sebuah tongkat dari kristal hitam, dan akhirnya menjadi tempat bertengger burung hantunya.

"Savier, pantau kerajaan adikku," Lili mengelus bulu-bulu kristal burung itu sebelum ia terbang pergi menembus dinding.

***

Beberapa hari berlalu. Erl dan pasukannya, yang nampaknya tidak berkurang, telah kembali. Mereka membawa sebuah kurungan yang berisi empat anggota keluarga istana. Lili melihat mereka masuk ke dalam istananya.

Kini raja, ratu, sang putri, dan seorang bayi mungil, menghadap Lili yang duduk disinggasananya. Sang ratu dan putrinya, nampak takut dan terisak beberapa kali. Sedangkan sang raja nampak tak jauh beda dengan kedua orang yang dicintainya. Ia nampak telah melihat sesuatu yang sangat mengerikan sebelumnya. Rambut dan pakaian mereka acak-acakan dan kotor, mereka nampak hampir seperti gelandangan.

Erl dan seorang prajurit lagi maju kedepan mereka berempat, mempersembahkan Lili dua buah mahkota. Mahkota sang raja, dan mahkota sang ratu. Mahkota itu terbuat dari perak yang diasah dan mengilap. Di tengah mahkota-mahkota itu terdapat rubi hijau lumut yang berkilauan.

Dari lantai di dekat para tahanan, tumbuh dua buah meja kecil bundar yang terbuat dari kristal merah. Meja-meja itu nampak hidup dengan kilauannya yang seperti cahaya yang tak mungkin redup, dari situlah, kerajaan Lili mendapat kekuatannya.

Itu adalah pusatnya.

Erl dan seorang prajurit itu meletakkan mahkota sang raja dan ratu bergantian.

Setelah mahkota sang ratu diletakkan, Lili mendapatkan rasa ini, dimana sesuatu yang hangat menjalari urat-uratnya yang berdetak, masuk kedalam jantungnya yang mulai berpendar kemerahan. Mata gadis itu pun menyala-nyala.

Mahkota sang raja diletakkan dan mulut Lili terbuka, gadis itu mengadah. Ia bisa merasakan, kekuatan itu begitu besar ia bahkan bisa merasakan segalanya. Apapun. Detakan jantungnya, suara desiran darahnya yang semakin cepat, detikan jam, bahkan suara nafasnya.

Lalu gadis itu menutup matanya, dan menarik nafas dalam. Ia merasa jauh lebih dari normal dan lemah. Ia merasa kuat!

Lalu gadis itu beralih menatap empat manusia yang bersimpuh di hadapannya tercengang dan takut dengan apa yang barusan mereka lihat. Baru kali ini mereka melihat orang seperti Lili, yang nampak seperti ingin mengalahkan Yang Maha Agung.

"Kalian berempat," Lili turun dari singgasananya, "Kenapa kalian mengkhianatiku?"

Berempat mereka terlalu takut untuk menjawab, mereka hanya menatap Lili, dalam diam.

Gadis itu sudah berada di dasar tangga, dan sudah berdiri tepat di depan mereka. "Kenapa?!" Seketika bayangan berwarna hitam pekat merambat dengan cepat dari balik kaki juga tangan gadis itu. Melingkupi tiga tahanan yang berteriak histeris. Dalam sekejap mereka telah menjadi patung berwarna hitam

Seorang pria yang menganga dengan kesepuluh jarinya terbuka lebar,

seorang wanita yang meneteskan airmatanya, histeris, memeluk bayinya erat,

seorang gadis cantik dengan matanya yang melebar dan mulutnya yang sedikit ternganga, sebutir air mata berhenti di tengah-tengah pipinya.

"Kenapa..?"

Lili meraih bayi yang tak jadi ia ubah wujudnya. Bayi itu tertidur lelap. Lili menyukainya maka ia tidak jadi bernasib malang seperti keluarganya.

Lili menatap lantai hitamnya yang mengilap dan memantulkan pantulan wajahnya yang menahan air mata. "Bersihkan lantai ini," Kata Lili keluar dari ruangan itu bersama bayi di dekapannya.

Erl berjalan kedepan dan menebas leher sang raja yang telah membeku, berubah menjadi patung. Seketika badannya ikut runtuh, bersamaan dengan hancurnya bagian kepala. Lalu dilanjutkan dengan menebas patung sang ratu dan lalu sang putri.

Mereka membersihkan tempat itu, dan membiarkan meja-meja kristal merah itu terus bercahaya disana. Lalu menutup rapat pintu ruang takhta.

To Be Continued

Tritanian History : Long Path She TakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang