The New Kingdom

661 70 3
                                    

'Vasillissa, Vasillissa.'

Suara panggilan itu samar-samar menyeruak dari rangkaian suara denging di telinga Vasillissa. Ia begitu mengenal suara itu sampai ia terbangun, dari lantai hitam keramik yang mengilap dan dingin milik kerajaan Elena.

'Wahai Vasillissa yang cantik. Malangnya nasibmu wahai Vasillissa.'

'Jangan sejajarkan dia dengan dewa-dewi, '

'Vasillissa, Vasillissa, aku ingin membantumu.'

'Jangan sejajarkan dia dengan kita, '

'Vasillissa, Vasillissa, inginkah kamu memiliki kekuatan?'

'Jangan sejajarkan dia.'

'Kini kehidupan adalah kekuatanmu yang akan kau turunkan pada anak-anakmu.'
'Jadilah besar, Vasillisa tersayang.'

Vasillisa menatap sebuah cahaya putih kecil terbang, melayang masuk menulusul kedalam kulitnya lalu menjalar ke jantungnya. Ia merasakan perasaan itu. Yang banyak orang bilang perasaan yang akan didapat ketika tubuh mereka dialiri sebuah kekuatan.

Banyak yang mengatakan aliran ini menyengat layaknya sengatan bulan Yinka, atau sakit layaknya digigit ular Farufoesa. Membahagiakan atau membunuh tidak lagi bisa ia bedakan. Tapi Vasillisa merasakan perbedaan yang sangat menonjol pada tubuhnya.

Puas dan membara adalah perasaannya saat ini.

Asap-asap tebal yang mengitari tangannya nampak seperti awan-awan yang sangat terang. Matanya yang sehitam malam, kini berubah putih dengan campuran sedikit keoranyean. Rambutnya yang sehitam kelelawar, kini berujung putih dan menjalar keatas. Di leher belakangnya terbentuk sebuah simbol berwarna putih berbentuk bulan sabit yang menunjuk kebawah, dan dibelakangnya ada sebuah pedang yang menunjuk keatas.

Kekuatan yang ia memiliki, menentang hukum alam semesta. Tidak ada kehidupan di dunia yang seharusnya dapat menciptakan kehidupan dengan tangannya.

Tawanya yang menggema selagi dari tubuhnya memancar cahaya putih yang menembus langit malam membangunkan banyak burung-burung yang segera terbang ketakutan menjauhi diri Vasillisa yang bersinar.

Kejadian itu disaksikan oleh Anna yang membara-bara tubuhnya. Kini kesombongan dan ke iri hatian melingkupi hatinya yang mulai menghitam. Gadis itu kembali masuk kedalam kerajaannya yang tidak lagi putih bersih ataupun bercahaya dan mengilap.

Karena kejadian sekian hari yang lalu, semua pelayan-pelayannya berubah menjadi pasukan arang yang mengilap, dan prajuritnya berubah menjadi kobaran api bermata merah, dan berpedang batu.

Kerajaannya berwarna hitam hangus, dan tanahnya dipenuhi dengan percikan api maupun rumput dan bunga yang hangus.

Tragedi Konflik Tiga Kerajaan akan segera dimulai.

***

Elena menatap Vasillisa yang masih dilingkupi dengan cahaya putih selagi mereka berdua makan. Dari ujung ke ujung meja hitam milik ruang makan Elena.

"Kau masih ingat kita punya kontrak?" Elena menatap Vasillisa dari celah matanya.

Vasillisa berhenti mengunyah, dan tanpa aba-aba ia melemparkan sebuah mantra pada Elena. Kejadian itu telalu cepat untuk di tangkap mata, tapi Elena sudah paham betul dengan kecepatan, dan segeralah ia menciptakan tameng dari meja hitamnya sendiri.

"Vasillisa, Vasillisa," ujar Elena dari balik tamengnya, "Aku bukan tandinganmu, sayang."

Tameng hitam Elena menciut dan kembali berubah menjadi meja. "Kau ingin kontraknya dibatalkan?" Tanya Elena yang membersihkan mahkota yang baru diberikam jenderal barunya, Tris, yang kotor karena darah-darah pekat. Tris berpakaian hitam berbias ungu. Ia menggunakan pakaian layaknya pemburu pada umumnya.

Bibirnya yang ranum dan rambutnya yang coklat gelap, nampak kontras diatas kulitnya yang pucat. Matanya biru menyala dengan bulu mata yang panjang. Gadis itu hampir sesempurna Elena. Sayangnya ia adalah jelmaan dari burung hantu. Tentunya bukan Savier.

"Ya."

Elena tersenyum. Kali ini senyumannya nampak sangat tulus. "Tentu. Kontraknya," sebuah kertas yang mengambang diatas tangan Elena yang terbuka berjudul besar 'Kontrak', "dibatalkan."

Kertas yang tadinya mengambang itu terbakar dan hangus mengambang di tangan Elena, gadis itu menghembus abu dari kertas itu ke udara dan kembali tersenyum. "Kau bisa pergi dari istanaku kapanpun yang kau mau," Elena berdiri dan berjalan menjauh, diikuti Tris dari belakang.

"Lagipula aku sudah tidak tertarik pada cerita-ceritamu." Gumam Elena.

"Savier," panggil Elena. Langsung saja Vasillisa merasakan sesuatu yang panas menjalar di jantungnya. Sosok Savier mulai nampak dari kepala lalu menjalar sampai cakarnya. Ia terbang mengikuti Elena dengan suara sayapnya yang berdenting.

"Selamat tinggal, nona Vasilissa."

***

Elena duduk di singgasananya yang hitam dan mengilap. Jika dilihat lebih dekat, ujung-ujung kepala singgasana itu semakin lama, semakin memanjang ke atas. Seiring semakin banyaknya mahkota yang berada di meja-meja merah di hadapan Elena sekarang.

Mahkota gadis itu berada di tengah-temgah ruangan. Seakan sedang menyerap kekuatan dari seluruh mahkota di sekelilingnya. Elena menatap semua mahkota itu, dan berdiri terlonjak. Ia mendapat ide yang brilian.

Hanya menyerap kekuatan dari mahkota kerajaan biasa tidaklah cukup untuk membuatnya bisa menguasai dunia Tritanian ini. Ia ingin lebih dari ini.

"Tris," panggil Elena, "Siapkan prajurit-prajurit terbaik kita."

Gadis itu menatap jendela yang lansung berubah bening dan transparan, "Kita akan kembali berperang."

***

Anna menatap miniatur kerajaannya diatas papan catur putih merah yang ia miliki. Segala pergerakan bisa ia lihat dari miniatur itu. Gadis itu menyadari kalau hari semakin malam. Dan cahaya tidak lagi akan berkuasa dilangit. Gadis itu segera berdiri dan berjalan menuju segala jendela. Sebentar lagi kekuatannya akan pudar dari langit dan ia akan melemah.

"Anna," Anna menoleh. Seorang pangeran dan bajunya yang merah dan tangan kanannya dibelenggu borgol sedang berdiri di ambang pintu masuk besar milik ruang takhta.

Anna tersenyum. Setulus yang ia bisa, "Ada apa, sayang?"

"Sebaiknya aku pulang ke istanaku. Takhtaku pastilah sudah usang," kalimat itu memancing amarah Anna yang selalu berkobar-kobar.

"Kau," mata Anna memerah dan dari ujung rambut sampai kakinya mengeluarkan api yang berkobar hebat, "tidak memiliki kerajaan lagi, Chaddick."

Chaddick menjadi gila ketika berada di naungan Anna. Chaddick yang selalu dibelenggu dan dikurung di istana gadis itu, selalu merasa tersiksa. Ia semakin lama semakin merasa kalau kerajaannya pastilah mencari-carinya, padahal sudah sekian lama Anna membumihanguskan kerajan pria itu. Pria itu berada di sana, ketika kejadian. Itulah salah satu hal yang membuatnya gila dan tidak bisa berpikir lurus.

"Kembali ke kamarmu, Chaddick."

To Be Continued

Tritanian History : Long Path She TakesWhere stories live. Discover now