Little Things She Adores

230 21 1
                                    


Elena menemui keluarganya dan kembali duduk di bangku taman dekat sebuah danau. Ya, ia berada di nirvana sekarang. Tempat peristirahatan bagi semua kaum dari berbagai kalangan. Mereka tinggal disana seperti raja dan ratu. Tapi di kehidupan kali ini mereka tidak berebut daerah kekuasaan.

Ia duduk disana dan menatap danau itu sambil tersenyum. Pada saat itu ia baru merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Selama ia menjadi ratu di kerajaannya, rasa paling mendominan adalah rasa berat karena selalu merasa sendirian dan berselisih dengan banyak orang.

Tapi kali ini ia.. bahagia.

"Menyenangkan hidup di Nirvana?" Tanya Kloto yang tiba-tiba muncul dari debu keemasan miliknya sendiri.

"Yah, tidak buruk," kata Elena dengan senyum miringnya. Kloto terkekeh kecil melihat wajah Elena yang datar tapi tersenyum itu.

Kloto tersenyum pada danau buatannya sebagai hadiah pada seisi Nirvana. Ketiga bersaudari itu punya peran besar dalam pembuatan dunia dan pembuatan nirvana. Danau ini adalah salah satu dekorasi kecil yang ditambahlan Kloto.

"Elena," panggil Kloto. Elena menoleh. "Takdirmu belum selesai."

***

Elena menghela nafasnya, tengah mencoba untuk bersabar. Ia menutup rasa marah dan dengkinya pada tiga bersaudara karena mengulur-ulur waktu bahagianya. Ia hanya ingin berjalan menikmati semilir angin bersama saudaranya, lalu memetik bunga dengan ibunya, atau minum teh sambil membaca buku dengan ayahnya. Tapi sekarang ia malah berdiri di depan kerajaan megah yang selanjutnya akan menjadi tempat tinggalnya.

Meskipun memang dia mendoakan supaya takdirnya berada sepenuhnya di tangan tiga nenek peyot itu. Tapi itu hanyalah kedoknya untuk mendapat level terbaik di surga atau semacamnya.

Tapi permintaannha itu malah benar-benar di dengar.

"Yang perlu kau lakukan hanyalah membuat pangeran dari kerajaan itu melakukan hal-hal yang benar. Baru-baru ini ia sedikit melenceng." Suara Kloto terngiang di kepalanya.

Semasa hidupnya Elena tidak pernah berhadapan dengan orang seperti yang dikehendaki Kloto untuk ditemuinya saat itu. Ia selalu bergelut dengan orang-orang patuh yang mengikuti perintahnya meskipun itu termasuk menaruh nyawanya langsung di gerbang kematian.

Ia dipersilahkan masuk oleh seorang dayang wanita yang menyebut dirinya sebagai Yuna. Ia menyebut dirinya Yuna karena ia sama sekali tidak ingat nama aslinya. Karena itu ia membuat-buat nama. Toh sang pangeran tidak pernah sempat mengingat nama mereka satu persatu.

Elena segera dibawa ke ruang kamar yang mewah. Elena tidak terkaget-kaget. Toh kamarnya dulu jauh lebih hebat daripada kamar disini. Ia diperbolehkan untuk makan di kamar hari itu, dan ia tetap tidak terkejut melihat makanannya. Toh ia sudah sering menikmati makanan yang jauh lebih hebat dari yang disuguhkan tuan rumah. Jadi ia berlagak biasa saja setelah sampai di istana itu. Tidak seperti yang tuan rumahnya inginkan.

Pria itu langsung jatuh hati sedetik setelah Elena turun dari kereta kencananya yang gemerlapan. Kendaraan yang diciptakan khusus oleh tuan rumah untuk menjemput Elena seorang. Tapi satu hal yang ia tidak suka. Elena sama sekali tidak terpukau dengan kemegahan dari istana yang ia punya. Ia sempat meminta seratus arsitek terbaiknya untuk menata ulang teras depan agar lebih megah. Lalu ia juga meminta seratus tukang kebun terbaiknya untuk semua kebun agar terlihat seindah bahkan lebih indah dari gambaran taman istana Elana terdahulu.

Tapi Elena tidak terpukau dan menganggap semuanya hanyalah hal biasa.

Pria itu dapat merasakan harga dirinya hancur. Elena itu hidup dengan kemewahan bahkan sejak ia belum lahir sekalipun. Ia bisa menciptakan apapun yang ia inginkan pada akhirnya. Wajar saja kalau Elena tidak terpukau dengan apa yang dimiliki pria itu. Pria itu marah. Sangat.

Pelayan setianya berdiri disebelahnya yang tengah melihat Elena tidur di kebun bunganya. Seakan ia tidak menikmati hamparan bunga yang pria itu miliki, hanya menikmati matahari yang bawaan dari wilayah itu. "Kenapa dia tidak terpukau dengan apa yang kumiliki?" Tanya pria itu pada pelayannya. "Ia sudah hidup dengan kemewahan sejak kecil, tuan. Ia sudah pernah menikmati hal-hal seperti ini."

"Savier," panggil pria itu pada pelayannya. Mata hazel Savier bersinar, memandang tuannya, "Bantu aku mendekatinya."

Elena membuka matanya menatap seorang pria yang menoleh kebelakang di atas atap sana. Gadis itu tersenyum miring. Itu tuan rumahnya. Pangeran yang perlu ia manipulasi nanti. Tapi perhatian Elena malah beralih pada Yuna yang berdiri di teras sambil tersenyum pada Elena, jelasnya ia menunggui Elena disana tanpa perlu memanggilnya. Elena beranjak, menghampiri Yuna.

"Sudah waktunya minum teh, Nyonya." Kata Yuna sambil mempersilahkannya duduk di kursi di belakang tubuh gadis itu. Nampak ada dua cangkir berseberangan di meja bundar itu. Elena tertegun. "Akan ada yang minum bersamaku?" Yuna mengangguk.

"Selamat siang, Elena," Sambut suara berat khas milik pria. Elena berbalik. Terpampang dihadapannya seorang pria yang bahkan kata 'sempurna' pun tidak dapat menandingi tampangnya. Tapi Elena hanya terkunci dalam diamnya. Ia tidak bergerak sama sekali. Padahal pria itu menginginkan suatu tingkah bodoh dari Elena, seperti tiba-tiba menjatuhkan cangkirnya, atau tersedak tehnya karena melihat wajahnya yang tampan.

Elena tidak bergeming. "Siapa dia?" Elena berbalik pada Yuna yang ikut kaget bersama tuannya. Suara datar Elena seakan membunuh semua kemegahan yang dimiliki pria itu.

"Tuan Reinhart, nyonya." Kata Yuna sambil menundukkan kepalanya. Seakan takut akan dikutuk pria itu.

"Oh. Tuan rumahnya?" Tanyanya padaku yang tidak berhenti menatapnya. Benar-benar kesempurnaan yang dimilikinya. Bahkan postur duduknya pun yang paling indah yang pernah kulihat. Hanya saja wajah itu akan lebih cantik kalau dihiaskan senyumnya. Wajah datar itu membuat Reinhart sendiri muak.

Reinhart ingin keliatan seperti pria sejati di mata Elena. Meraih tangan gadis itu dan mencium punggungnya. Elena hanya menganggukkan kepalanya sedikit dan merampas kembali tangan miliknya dan mulai memasukkan krim ke tehnya. Reinhart duduk di hadapannya, meminta Yuna pergi.

"Kau senang berada disini?" Tanya Reinhart. Elena menatap ke hamparan bunga yang tadi membuatnya sedikit tertarik, mengingat dulu kerajaannya tidak memiliki bunga sebanyak itu. Paling hanya dua pot kecil yang Luna letakkan di bingkai jendelanya sendiri.

"Aku suka bunga-bunganya," kata Elena belum melepaskan tatapannya pada hamparan warna-warni yang membuat dirinya tenang.

Tapi yang Reinhart maksud adalah suka pada kemewahan yang ia segera sediakan. Bukan pada semua hal-hal yang bukan dia yang menciptakan. Pada semua hal yang ia berhasil temukan, atau yang ia rampas dari setiap kemenangannya dalam berperang. Tapi bukan itu yang Elena suka. Ia malah menyukai semua hal yang memang ia punya, tapi tidak ia rampas.

"Apa kau suka rumahku?" Tanya Reinhart lagi. Elena mendengus.

"Ya. Lumayan." Kata Elena. Itu dia. Pernyataan langsung dari orangnya. Reinhart ikut mendengus kecewa karena jawaban yang ia harapkan bukanlah yang diucapkan Elena. Tapi untuk sekarang ia harus tersenyum dulu. Jangan buat Elena benci padanya lalu mau melarikan diri. Intinya ia harus membuat Elena terpukau dan cinta mati padanya.

Tapi bagaimana ?

Tritanian History : Long Path She TakesWhere stories live. Discover now