His Harsh Tone

510 61 0
                                    


Luna berteriak histeris entah karena apa. Ia tengah berada di kamarnya yang berada di menara tertinggi di Blafen. Gadis itu merasakan sesuatu dalam dirinya runtuh, sesuatu yang mampu membuatnya menangis, berteriak, dan menggigil. Harris masuk dengan tergesa-gesa mendengar Luna berteriak begitu histeris. Pria itu jelas-jelas tidak bisa memprediksi hal ini akan terjadi, namun siapa yang bisa?

Berbeda dengan Elena yang tiba-tiba ambruk. Dayang-dayangnya membantu wanita itu berdiri, dan menopangnya menuju kamarnya. Elena menggumam sesuatu disaat-saat sebelum benar-benar pingsan.

"Aku telah kehabisan waktu."

***

Harris mendengar semua derap kaki dan suara-suara di alun-alun istana. Seakan pengevakuasian akan segera dilakukan. Pria itu menatap kearah balkon kamar Luna, gadis itu pun ikut mendengar semua suara berisik yang datang dari para penduduk yang berdesakan di alun-alun.

"Sang ratu telah jatuh sakit," Semua penduduk kaget mendengar berita tersebut. Ratu Elena yang mereka kenal adalah ratu yang berilmu tinggi; tak pernah sakit. Semasa hidupnya.

"Apa..?" Harris mengernyitkan dahinya, kaget bercampur tidak percaya akan berita itu. Baru tadi pagi pria itu makan satu meja dengan ibunya. Istana memang tempat yang terlalu besar, Harris tidak mungkin mampu selalu berada disisi ibunya, ketika ia harus berada disamping Luna atau Henry.

Pria itu menatap kearah balkon Luna, dan mendapati Luna balik menatapnya. Memberikan kode, menanyakan apa maksud berita itu. Harris memberikan kode kepada Luna untuk turun ke bawah dan datang ke kamarnya.

"Jadi..?" Luna menunggu jawaban Harris, mengharapkan pria itu tau paling tidak sedikit dari kelanjutan berita itu. Harris mengedikkan bahunya, membuat Luna jengkel.

"Apa sebaiknya kita datang ke ruangan ratu?" Luna kembali bertanya.

"Tidak mungkin. Ia tidak suka diganggu."

"Aduh. Kau tidak dengar berita itu? Yang sedang kau katakan 'dia' itu sedang sakit! Mana ada orang sakit yang tidak suka diganggu. Diganggu dari apa coba? Perlahan-lahan mati?"

Harris menatap Luna berang. Pria itu dilanda rasa sedih dan marah. Entah apa yang lebih berat. Tapi sebelum ia memiliki jawaban untuk itu, ia sudah mendapati tangannya mendarat di pipi Luna dengan kecepatan cahaya, gadis itu tercampak ke lantai. Luna mencoba untuk mengumpulkan kembali jiwanya yang ikut tertampar keluar. Nampak dari wajah ngeri gadis itu, ia punya trauma akan tamparan.

"Luna... Aku.. -" Luna berdiri dengan bantuan kursi disebelahnya sebagai penopang sementara. Gadis itu menatap Harris penuh dendam, matanya berkilat bagaikan petir di langit ketika badai besar, seakan Harris baru saja membangunkan Luna. Luna yang asli. Luna yang ditakuti rakyat.

Sebelum Harris mampu menenangkan Luna, gadis itu melarikan diri entah ke sisi mana di istana, tapi jelas-jelas Harris tidak dapat mengejarnya. Pria itu benar-benar membuat keadaan kacau, tambah kacau.

***

"Anakku Harris," Elena memangil anak sulungnya yang berdiri di ambang pintu, menatap ibunya tak percaya. Pengumuman itu benar adanya, "Mendekatlah, sayang."

Harris mendekat, dan berlutut di samping Elena yang terbaring di ranjangnya, bersedekap, seakan ia memang benar-benar mati. Atau mungkin siap-siap mati.

"Kau masih ingat dongeng yang ibu berikan padamu saat ulang tahunmu yang ketujuh?" Harris mengangguk, "Sayang, seseorang bernama Anna itu ada benarnya, dan dia tak sama seperti yang telah kau baca dibuku itu."

Dengan segenap kekuatannya, Elena menciptakan sebuah layar dari serbuk-serbuk hitam yang berkilauan diterpa cahaya temaram dari jendela buramnya.

"Dulu, ibu bernama Lili. Memori ibu dimulai dari saat dimana ibu berjalan menyusuri koridor nan putih kerajaan tak bernama penjaga rahasia."

Layar menampakkan siluet seorang anak yang tengah berjalan di koridor dengan pilar-pilar bagai buah pir terbuat dari silver dan awan surga.

"Lili itu adalah seorang gadis yang begitu menyayangi adiknya, meskipun mereka tak dari keluarga yang sama."

Siluet koridor berubah menjadi dua gadis kecil yang tawanya menggema dan satu dari mereka meletakkan rangkaian bunga di kepala yang lain.

"Cinta mereka bagaikan rangkaian bunga, begitu indah dan anggun," Wajah Elena berubah kelam, "Tapi tak sesuci itu."

"Pembuluh darah mereka yang dialiri kekuatan terkutuk, sama-sama terpancing karena satu hal; pengkhianatan. Anna, akan emosinya yang tiap hari kian memuncak, Lili, akan hatinya yang berubah kristal dan berhenti merasakan apa-apa."

"Kedua-duanya merasa terkhianati akan angin yang berlalu. Kedua-duanya membenci dan mencintai satu sama lain. Kedua-duanya tahu bahwa mereka berdua tak memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri mereka."

"Mempersiapkan diri untuk apa?" Harris begitu penasaran maksud ibunya, akhirnya melontarkan sebuah pertanyaan.

"Akan redanya peperangan yang tak kunjung, dan tak akan pernah reda, Harris-ku sayang."

"Diri ibu yang satu telah runtuh, Harris. Ibu ingin kau dan Luna mampu menciptakan persahabatan akan tetangga kita, sayang. Jadilah apa yang mereka mau. Bukan apa yang kau inginkan."

"Ibu tak punya banyak waktu lagi, dan apapun yang kau lakukan. Pilihan ada ditanganmu. Ibu adalah latar belakang Blafen yang kurang disukai. Namun kaulah penerus yang dapat menutupi kenyataan itu."

"Harris terapkan ini pada hidupmu. Bahwa merasa tersakiti bukanlah hal yang perlu menjadi alasanmu untuk membenci seseorang seumur hidupmu."

"Peperangan lama telah reda, Harris. Kedua pihak menang. Mereka benar-benar damai sekarang."

Tritanian History : Long Path She TakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang