Lingering Pain

231 22 1
                                    

Elena kembali menarik kesimpulan singkat seperti yang Laquera pikirkan. Ia sekarang sendirian menatap air kosong yang tadinya cerminan dari adegan pertengkaran singkat Elena dengan Reinhart. Menanggapi kepulangan pria itu. Cawan itu baru saja ia hantam keras dengan kekuatannya yang membanjiri tubuhnya.

"Aku kehabisan cara." Katanya pada dirinya sendiri. "Tuan putri kenapa kau pergi begitu saja dari Reinhart?"

Ia menutup matanya sejenak, lalu putaran hidup wanita itu seakan menyerangnya lagi dan lagi. Seakan menghantuinya karena tidak dapat menyelamatkannya. Laquera membuka matanya dan menarik nafas.

Atrope berdiri di belakangnya, menunggu kakaknya reda. Lalu berjalan menghampirinya dan mengisi ulang air di cawan batu itu. "Bagaimanapun kau menyesalinya, tidak ada yang bisa kita perbuat."

"Seharusnya kita yang menentukan takdirnya." Kata Laquera lirih.

"Aku memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi itu mungkin yang terbaik baginya."

"Kau tidak mengerti, Atrope." Laquera akhirnya menoleh pada Atrope. "Nona Hana tidak seharusnya mati. Aku yang menentukan siapa yang mati dan siapa yang tetap hidup. Ia melakukan ini untuk merasa hidup."

Hati Atrope terasa diremukkan saat itu juga. Ia merasakan dukacita Laquera lebih besar diantara mereka bertiga. Laquera bukan sosok yang suka menampakkan kalau ia dalam dukacita yang mendalam. Tapi kali ini tamengnya melemah. Meski tidak menangis. Semua bisa melihat kesedihannya begitu nyata.

"Laquera. Aku tidak ingin memintamu untuk berhenti berdukacita. Nona Hana berada di udara mengawasi kita semua. Dia pasti tidak akan suka kalau ada yang menangisinya."

"Ia terhapus dengan sia-sia!" Pekik Laquera. Matanya panas sekarang. Atrope segera memeluknya sambil memintanya untuk kembali tenang. "Tenanglah, kakakku."

***

"Berapa umur Reinhart?" Tanya Elena pada Yuna yang sedang memotong apel untuknya. "Kurasa sekarang akan menginjak tahun 1018 bagi tuan Reinhart."

"Dia dianugerahi keabadian? Itukah?"

"Tentu. Sebenarnya keabadian sudah terjadi turun temurun disini, nona. Hanya saja biasanya pendahulu tuan sudah menikah di tahun yang ke-500."

"Jadi kamu akan mengatakan kalau Reinhart itu sudah tua? Seperti umur 40 atau 50 di umur manusia?"

"Umur hanyalah jangka waktu dari tubuh yang digunakannya, nyonya. Jiwanya tetap saja semuda 21 tahun sekarang."

"Lalu kenapa dia masih belum menikah? Karena yang aku lihat kerajaannya adalah yang tertua di semua buku sejarah. Lagi, pasti banyak putri di realm ini yang mau menjadi ratunya, 'kan?" Yuna menggelengkan kepalanya.

"Tuan Reinhart berada di bawah naungan Ketiga Saudari, nyonya. Itu adalah permintaan terakhir Yang Mulia Hana."

"Siapa?"

Yuna tertegun sebentar. Nama itu membangunkan kembali sebuah cerita tersendiri soal Reinhart, keabadian, dan tingkahnya. Hana. "Mantan istri tuan Reinhart, nona." Yuna akhirnya kembali teringat. Hana. Senyumannya di bawah sinar matahari musim panas adalah yang paling berbekas di hati Luna. Tapi itu sudah cerita yang sangat lama. Semuanya sepakat akan memendam cerita itu dalam di pekuburan umum diujung daratan yang lain.

"Apakah dia sangat spesial? Hana?" Tanya Elena, berasumsi kalau Yuna melamun karena sibuk memikirkan kenangannya bersama Hana. Yuna mengangguk. Tangannya gemetaran sekarang, hatinya hangat dan dadanya sesak. Seakan ia akan segera berteriak menangis karena rasa rindunya pada Hana.

Elena tersenyum miris. Hatinya pun ikut tersayat karena ternyata semua orang di kerajaan itu diam-diam masih berkabung, kehilangan wanita yang mereka panggil Hana itu. Tanpa sadar Elena memeluk Yuna sambil mengelus punggung gadis itu, menenangkannya, dan memintanya untuk berhenti bersedih.

'Reinhart pasti masih belum bisa melepaskan Hana. Ia pasti bertingkah karena ingin menutupi kesedihannya atas Hana.' Pikir Elena.

***

Kali ini Elena menunggu. Ya. Dia menunggu kepulangan Reinhart dari tempat bermainnya (baca:perang). Memang Elena masih belum bisa melakukannya dengan setulus hati. Tapi ia percaya bahwa semuanya butuh proses.

Elena ditemani dua orang pelayan lainnya. Menunggu dengan nampan berisi air minum, dan handuk basah yang diberi wewangian, untuk membersihkan kotor dan keringat Reinhart nanti.

Elena bisa mendengar suara hentakan sepatu kuda dari gerombolan kelompok Reinhart. Pria itu datang dengan tidak terburu-buru. Seakan memang ia tidak punya orang lain yang sedang menunggunya di rumah. Tapi kali ini berbeda.

Reinhart melihat Elena yang berdiri di teras dengan dua dayang lainnya. Awalnya hatinya mengeras mengingat yang terjadi terakhir kali. Mengingat Elena tidak suka perang. Tapi semakin ia mendekat, hatinya luluh. Wajah Elena sangat tenang kali ini. Kedua tangannya saling bertautan, menggandeng satu dengan yang lain.

Reinhart memberhentikan kudanya, dan turun. Masih dalam diam. Ia salah tingkah tentunya. Karena baru kali ini Elena menunggu dengan tenang di depan teras. Ia suka, tentu saja.

"Kenapa disini? Sedang menunggu apa?" Tanya Reinhart lembut, meminta handuk untuk mengelap keringatnya, tapi malah tertegun mencium bau vanila dari handuk yang membuatnya tersenyum dengan kejutan kecil dari Elena ini.

Elena tersenyum lembut. Sedikit terkekeh karena wajah polos Reinhart ketika mencium handuk yang disodorkan kepadanya. "Ayo masuk." Ajaknya sambil menautkan tangannya di dalam rangkulan tangan Reinhart.

Jujur Reinhart suka dengan perubahan Elena sekarang. Tapi ia masih dalam posisi siaga karena bisa saja ini bagian dari sarkasme Elena, lalu setelah itu ia akan mencubit lengannya dan marah-marah. Tapi itu tidak terjadi.

"Kau mau bicara?" Tanya Reinhart hati-hati. Elena menoleh dari pundaknya. Pemandangan yang indah buat Reinhart. "Ya. Kita harus membicarakan kesepakatan kita."

Reinhart sekarang ini tidak mengerti maksud Elena, tapi untuk sekarang ia hanya ingin menikmati sisi lembut wanita itu saja. "Baiklah."

"Aku harus jujur padamu soal ini." Kata Elena sambil menutup kedua tangannya. "Kukira aku bisa kembali meredam kutukan ini. Tapi ternyata kekuatanku tidak sirna." Katanya sambil menciptakan bola-bola kristal hitam. Reinhart menghela nafas. Jadi karena itu Elena menjadi sedikit memberikan jarak pada semua hal. Ia panik karena kutukan atasnya tidak lepas.

"Apa kau tahu bagaimana caranya menghancurkan kutukannya? Mungkin ada perkamen di perpustakaan Nirvana yang bisa kita bakar untuk membatalkannya? Atau mungkin seperti..-" Reinhart menutup tangan Elena kembali. Supaya kekuatannya teredam kembali. Elena menarik nafasnya kembali. Ia tersengal-sengal karena sekarang keadaan kepalanya agak kacau. Baru kali ini ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Kali ini Reinhart diberikan izin untuk bisa melihat perasaan gelisah Elena.

"Kenapa kau begitu membenci kekuatanmu?" Tanyanya pada Elena. Elena terdiam. Ya, Reinhart benar juga. Kenapa dia begitu membenci kekuatannya? Meski itu adalah kutukan, hanya saja kekuatan itu sudah membantu banyak di hidupnya, 'kan? Elena menatap kedua manik mata Reinhart. Lalu matanya pergi kearah balkon yang terbuka. Ia tidak bisa menjawab tentunya.

"Mungkin karena kekuatan ini berubah menjadi beban satu ketika."

"Kapan?"

Dada Elena sesak mengingat kejadian itu. Kejadian mengerikan yang membunuh semua kenangan indah yang telah susah payah ia cari dan ciptakan dalam sekejap. Korsetnya terasa semakin ketat entah karena apa. "Ketika aku membunuh jiwa suamiku di Kloveria."

Tritanian History : Long Path She TakesWhere stories live. Discover now