A Coffin Full of Gold and Rubies

555 52 0
                                    


"Luna, kau masih kesal padaku?" Harris menggenggam tangan Luna yang menatap jauh dari kaca jendela yang transparan, menatap jauh kearah kerajaan Vierith yang begitu pucat warnanya.

"Aku tidak bisa membenci orang, Harris."

Harris membeku. Jawaban Luna begitu cepat, seakan kata-kata itu sangat sering ia lontarkan sehingga ia tak perlu menebak apa yang harus ia jawab.

"Kau kan masih makhluk biasa, Luna. Kau pasti pernah membenci seseorang paling tidak sekali?" Luna menatap Harris yang tersenyum kecil, tepat di mata pria itu, lalu kembali menatap jendela.

"Aku memang tidak dapat membenci orang."

Kini Harris benar-benar kehabisan kata. Luna begitu hancur dimatanya sekarang. Seakan kalimat itu mampu membuat Harris membaca masa lalu Luna yang begitu hancur dan seakan tidak ingin gadis itu ingat kembali.

Sesuatu di dalam Harris ingin membaca pikiran gadis itu. Memaksa Harris untuk membaca pikiran gadis itu.

Tanpa meminta izin gadis itu, Harris segera meletakkan mantra tidur pada gadis itu. Harris mengangkatnya dan membawanya ke singgasana miliknya. Berlian hitam yang tergantung diatas singgasana itu bercahaya terang. Itulah penanda bahwa benda itu siap untuk menerapkan pembacaan pikiran pada Luna, yang didudukkan disana.

"Luna, ini tidak akan sakit."

Harris dibawa kesebuah ruangan penuh dengan lukisan-lukisan indah di dinding maupun langit-langitnya. Ruangan itu berbentuk bundar. Dengan sebuah jendela besar menampakkan bulan Yinka di hadapan Harris, membawa cahaya masuk, membantu pria itu membaca beberapa tulisan-tulisan dari alfabet kuno Trinity.

'Disinilah, generasi Elliens yang ke-lima puluh akan menemukan musuh sekaligus cinta sejatinya.' Baca Harris.

Pria itu bingung dengan apa yang dibacanya. Luna tidak datang dari Elliens, dan Elliens masih berada di generasi pertama. Tepatnya satu setengah.

"Luna?" Seorang wanita membungkuk mensejajarkan tubuhnya, mengintip dari ujung pintu yang cukup kecil. Pintu keluar dari ruangan aneh itu. Siapa wanita ini? Dan kenapa ia memanggil Luna disini?

"Mama!" Harris mengikuti arah suara itu, dan mendapati Luna berlari menuju kearahnya, dan seakan menabrak sesuatu yang transparan bagi ibunya, tapi tidak bagi Luna. Ia menabrak Harris tepatnya.

"Oh, maaf, Tuan. Saya buru-buru," Ujar Luna setelah bangkit berdiri dan mengadahkan kepalanya kearah wajah Harris. Lalu ia memutari pria itu, dan berlari kembali kearah mamanya yang kebingungan.

"Tuan siapa, Luna? Apakah itu Henry? Yang sering kau ajak bicara di istana?" Luna menggeleng, selagi ia digendong ibunya berjalan menuju sebuah kereta kuda dengan kayu mahoni yang indah, nampak mahal.

"Wajah mereka sama. Kurasa ia kakaknya Henry," Luna menatap kembali kearah Harris yang sudah keluar dari ruangan itu, "Ayo, Tuan! Kau akan ketinggalan!"

Harris terheran-heran dengan Luna yang dapat melihatnya, tidak takut padanya, dan mengajaknya ke istana. Apalagi ketika pria itu naik ke kereta, pintu malahan sudah ditutup, tapi Luna membukanya lagi dari dalam, dan mepersilahkan dia masuk.

"Jadi nama dia siapa, Luna?" Ibunya bertanya, seolah-olah tertarik dengan nama Harris, hanya tidak ingin membuat anaknya merasa terpuruk karena ia tidak memercayainya.

"Namanya Harris."

"Benarkah? Bilang padanya, ibu senang berkenalan dengannya."

Luna menatap Harris yang mengangguk, karena ia mendengarkan, "Dia juga bilang sama."

"Coba tanyakan sayang. Kenapa ia datang kerumah bermainmu?" Wajah ibunya berubah cemas. Berharap hal-hal yang positif akan dikatakan Harris.

Luna menatap Harris yang diam seribu bahasa, bingung dengan maksud pertanyaan ibu Luna. Seakan sesuatu seperti ini pernah terjadi.

"Adikmu pernah datang kesini." "Ibu ingin tahu kenapa kau berada disini."

Harris terdiam sejenak. Sebelum akhirnya kereta kuda berhenti. Beberapa prajurit yang mengikuti mereka dari belakang yang menggunakan kuda berpencar pada sisi kiri, kanan, depan, dan belakang. Salah satu dari mereka mendekat ke jendela kereta kuda.

Tersenyum, begitu menyeramkan. Sehingga Luna harus melompat ke dekapan ibunya, sedangkan Harris duduk diam mematung. Ia tidak boleh menggunakan kekuatan di potongan memori orang seperti ini.

Kereta kuda oleng ke kiri maupun ke kanan, seakan kedua sisi hampir bertubrukan dengan jalan atau tebing di sebelah mereka. Luna terus memekik dan menangis dalam pelukan ibunya, bahkan tak berani mengerjap.

Ibu Luna, sang ratu, seakan mencari cara agar bisa keluar dari kereta kuda yang melaju begitu cepatnya. Semakin menjauh dari kastil. Semua prajurit yang ia kira adalah prajurit kerajaan, malahan sekelompok perampok.

Tanpa pikir panjang ia membuka pintu kereta, dan menatap Luna yang begitu panik. "Mama?! Mama ngapain?!" Luna histeris, melihat sisi belakangnya yang adalah jalan yang melaju ke belakang dengan begitu cepat, lalu kembali melihat ibunya.

"Sayang," Ibu Luna mampu membuat waktu berjalan lambat di mata Luna, "Sampaikan salam pada teman khayalanmu."

Luna terisak sambil melihat kebelakang ibunya, mengulurkan tangan mungilnya kearah Harris yang masih terkaget-kaget karena semuanya begitu cepat terjadi. Gadis itu seolah ingin mencapai Harris, tapi terlambat. Ibunya meloncat keluar dari kereta kuda, dan mendarat di dalam semak belukar penuh duri.

Harris benar-benar linglung dengan semua kejadian yang begitu cepat. Ia segera bergegas menatap kearah jendela belakang, dan melihat Luna terduduk disana. Disebelah tubuh ibunya yang masih terkapar disisi jalan. Penuh dengan darah yang mungkin akibat duri yang menggores kulit pucatnya.

Luna, pun, sambil terisak, menatap kereta kuda yang semakin menjauh, mendengar suara riuh dari para perampok yang senang, karena mereka telah mendapatkan satu peti besar emas dan permata kerajaan. Lalu menatap ibunya (yang ia tak tahu mengapa sudah tidak bernafas), penuh darah, baju indahnya rusak, mutiara di kepalanya hancur, dan dari kepalanya mengucur darah.

Luna kemudian hanya duduk, setelah menyeret jasad ibunya kedekat sebuah batu, agar tempat ia bersandar, berharap ayahnya, sang raja, menemukan kejanggalan yang fatal, dan segera mencarinya. Gadis itu hanya terisak. Ia hanya merasakan dingin pada kakinya, serta dadanya. Ia berhenti menangis dan menatap jalan dengan tatapan kosong. Kini ia berhenti berharap.

Suara derap sepatu kuda, dengan suara-suara ricuh pemuda-pemuda silih bersahutan.

"Aku menemukan mereka!"

Luna mengabaikan suara-suara itu, dan mulai memikirkan Henry, atau Harris. Lalu ia menatap ibunya yang semakin memucat, menutup matanya. Ia masih mengira ibunya hanya sedang tertidur. Gadis itu menyelimuti ibunya dengan jubah dari kulit beruang miliknya, dan mulai kembali menggigil.

Suara-suara itu kini berhenti. Raja berdiri di sebelah mereka berdua. Tak percaya dengan apa yang ia lihat di depannya saat ini. Luna sama sekali mengacuhkan raja. Masih tetap memeluk ibunya yang telah mati, dan tetap menatap jalan yang mulai basah karena embun telah turun dengan tatapan kosong.

Raja jatuh pada lututnya. Kedua tangannya bergetar. Ia kini hanya memiliki Luna. Pemuda itu akhirnya kehilangan ratunya. Ia meraih putrinya yang menggigil, dingin dan ketakutan. Lalu memeluk gadis mungil itu, masuk kedalam kehangatan yang berbau vanila.

Keduanya saling terisak, mereka kehilangan seseorang yang lebih berharga dari peti penuh dengan emas dan permata. Yang berani berkorban demi orang yang ia anggap sebagai batu permata.

Harris berada disana. Berdiri, pikiran dan perasaannya bercampur aduk.

'Inilah kenapa ratu memilih Luna,' pikirnya mendapatkan sebuah pencerahan. 'Luna punya latar belakang sama kelamnya dengan miliknya.'

To Be Continued

Tritanian History : Long Path She TakesWhere stories live. Discover now