Chapter 1

6.5K 220 12
                                    

Tetesan air hujan masih tersisa di ujung-ujung daun pepohonan pinggiran kota Seoul. Malam dingin setelah hujan tak mampu melumpuhkan aktifitas malam hari kota Seoul. Termasuk dengan gadis yang mengenakan hodie coklat dengan syal putih yang membalut lehernya. Kedua kaki jenjang gadis itu melangkah menyusuri trotoar. Berjalan perlahan, tak ia pedulikan rasa dingin yang menusuk kulitnya walau sudah terlapisi dengan hodie coklatnya. Kepalanya menengadah menatap langit gelap di atas kota Seoul. Tak ada satu pun bintang yang menampakkan dirinya setelah hujan sore tadi.

Gadis itu, mengingat akan sosok keluarga kecilnya dulu. Perasaannya seolah sesak saat mengingat bagaimana keluarganya yang terpisah-pisah dulu. Hingga membuat masa kecilnya harus berada di panti asuhan, bersama anak-anak kecil lain yang bernasib tidak jauh berbeda dengannya. Ayahnya yang meninggal karena pembunuhan, kakak pertamanya yang tiba-tiba menghilang. Hingga mengharuskan ibunya berpindah-pindah tempat untuk mencari nafkah agar biaya hidupnya terpenuhi. Hingga kejadian kebocoran gas yang membuat ibunya meninggal. Dan pada saat itu dirinya hanya memiliki kakak laki-laki keduanya dan sang adik yang masih bayi. Namun nasib naas tak hanya sampai disitu. Adik balitanya yang kekurangan gizi membuat ia dan kakaknya merelakan adiknya di adopsi oleh orang kaya. Dan membawa sang adik keluar negeri. Hingga tiba pada waktu yang membuat ia berpisah dengan kakak keduanya, membuatnya sebatang kara di kota Seoul.

“Aku akan menunggu, sampai kalian datang. Walaupun kalian tak pernah datang, aku akan tetap menunggu. Meskipun sampai aku menua.” Begitulah janji gadis itu pada dirinya sendiri.

Gadis itu tetap berjalan menyusuri pinggiran kota Seoul. Angin berhembus yang menyebabkan hawa dingin menusuk kulit begitu ia nikmati. Hingga membuat gadis itu lupa waktu. Diliriknya jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Kedua matanya membulat saat melihat jam yang menunjukkan pukul 9 malam. “OMONA!! Nyonya pasti memarahiku.” Keluhnya. Gadis itu menoleh ke kanan-kiri untuk mencari bus yang biasanya lewat pada jam-jam seperti ini. Namun nihil, tak satu pun ada yang lewat. Jarak dari tempatnya berdiri sampai ke rumah yang ia tempati sekarang jika menggunakan bus membutuhkan waktu 15 menit. Lalu, apa dia harus jalan kaki?

••••

Denting piano mengalun lembut menyusuri setiap sudut rumah. Gadis itu tak menyadari seseorang tengah memperhatikannya melalui celah pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat. Sosok itu ketuk pelan pintu kamar sang gadis. Membuat tarian lentik jari tangannya berhenti menekan tut hitam-putih piano. “Ah, Yesung, masuklah!” Seru gadis itu kepada sang pengetuk pintu.

Pria yang dipanggil Yesung itu masuk ke kamar sang gadis. Ia dudukkan dirinya di ranjang gadis itu. Memperhatikan gadis itu dari belakang. “Tuan Kwon menyuruh anda turun, nona!” ucapnya.

Gadis yang yang duduk di depan piano itu membalikkan badan menghadap ke arah Yesung yang tengah duduk di atas ranjangnya. Gadis itu mendengus kesal. Menyipitkan matanya ke arah pria itu. “Bukankah sudah ku katakan ribuan kali, berhenti memanggilku dengan sebutan nona muda. Panggil saja Yuri.” Gadis itu berucap penuh penekanan dalam setiap katanya. Sementara yesung hanya menggelengkan kepalanya bertanda pria itu tidak akan menuruti apa yang gadis itu ucapkan.

“Cepat turun! Ayahmu sudah menunggu.” Setelah mengucapkan itu, Yesung segera keluar dari kamar gadis yang bernama yuri. Yang notabenenya adalah anak dari orang yang telah menolongnya.

Yuri mendengus sebal setelah kepergian Yesung. “Selalu seperti itu.” Keluhnya. Sebelum turun, ia rapikan penampilannya. Setelah rapi, baru gadis itu turun menemui sang ayah. Dalam jarak pandangnya tak hanya sang appa yang ia lihat di ruang tamu rumahnya. Ada dua orang paruh baya dan seorang pria muda. Ibu tiri dan saudara tirinya juga turut hadir di sana.

LonelyWhere stories live. Discover now