#11

1.4K 40 0
                                    


"Saat dua pilihan menghampirimu dijalan yang sempit, tak ada cela maupun jalan keluar. Maka dengan terpaksa kamu harus memilih salah satu pilihan tersebut walau satu dari itu akan ada yang sangat tersakiti"




"Tolong! Gue mohon, lo udah janji Fan!" Kata gue pelan yang terduduk dikursi ruang tunggu ICU sembari tertunduk dengan tangan bertemu jadi satu.

Tangis gue tak berhenti sedari tadi kecelakaan. Gue menyuruh seseorang untuk menderek mobil gue pulang kerumah. Dan gue ikut mobil ambulans yang membawa Fandy.

Gue memejamkan mata seakan hal ini gak pernah terjadi. Seandainya gue menghentikan Fandy yang akan melanggar lampu merah, ini semua gak akan terjadi.

"Lo akan baik-baik aja kan Fan?" Kata gue lalu menatap pintu ICU berharap Fandy akan keluar dengan keadaan baik-baik saja.

"AR!" Panggil seseorang yang berlari lalu menghampiri gue.

Gue langsung memeluknya dengan erat, dan tangis gue membasahi sekolah Michel. Dibelakangnya ada Erinda, Mhelan, dan banyak teman-teman Fandy.

"Ar, gimana Fandy?" Tanya Erinda khawatir.

"Gue gak tahu, dokter maupun susternya belum ngasih tahu apa-apa" jawab gue dengan mata sembab dan tangan gemetar.

"Tenangin diri lo, dan nanti cerita ke kita" kata salah satu teman Fandy, yaitu Farel, kakak kelas satu komplotan balap mobil.

"Okay"

"Ar, lo gak apa-apa?" Tanya Michel pelan, lalu menggenggam tangan gue yang masih bergetar.

"Cuman takut aja Chel" jawab gue tertunduk.

Michel terdiam dan tak berkata apa-apa lagi.

Kami menunggu kurang lebih sekitar 3 jam. Sekarang jam menunjukkan pukul 10. Kami semua untuk sementara bolos dan Mhelan sudah memintakan izin untuk mengurus Fandy.

Yang gue dengar Fandy gak ada orang tua diindonesia, orang tuanya berada dimalaysia. Dan gue gak tahu harus beritahu mereka lewat apa.

"Lo gak lapar?" Tanya Michel menatap gue yang terdiam dengan tatapan kosong.

"Gak" jawab gue singkat.

Pintu ICU terbuka dan keluarlah para suster lalu mendatangi kami.

"Apa disini ada keluarga pasien?"

Semua terdiam karna kami hanya sekedar teman.

"Saya kakaknya" kata Michel membuat kami menatapnya, Michel memang beda satu tahun dengan Fandy dan Gue.

"Baiklah ikut kami sebentar" kata suster tersebut lalu membawa Michel ikut keruangan sang dokter.

Kami semua menunggu Michel datang membawa berita mengenai Fandy dengan cemas. Lalu Michel keluar dari ruangan tersebut, wajahnya datar tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

"Fandy kenapa?" Tanya gue terlebih dahulu.

"Dia mengalami cedera dikaki, dan luka dibagian belakang terkena sesuatu yang tajam dibagian motornya, dia akan sadar sebentar lagi hanya butuh istirahat saja"

Semua merasa lega mendengar hal itu begitu juga gue.

"Syurlah" batin gue.

Kami memutuskan untuk kekantin rumah sakit dan makan siang setelah itu baru menjenguk Fandy.

1 menit 20 detikWhere stories live. Discover now