17. Menyesuaikan Diri

47.2K 6.1K 302
                                    

Sudah lewat beberapa hari sejak kejadian kebakaran yang ternyata tidak terjadi di rumah Laylaa. Gadis itu sendiri sedang memasak di dapurnya, mengabaikan Ioan yang sedari tadi memperhatikannya.

Sebenarnya Laylaa bukannya tidak tahu sedang diamati oleh lelaki itu. Hanya saja, dia sedang kesal dan memilih untuk membalaskan dendamnya dengan membiarkan Ioan agar kehausan hari ini. Lagipula, Ioan sudah mengambil jatah konsumsinya untuk dua hari ini dan membuatnya pingsan.

Tadi malam, lebih tepatnya ketika Laylaa sedang tidur nyenyak sekali, dia bermimpi. Pada awalnya biasa saja, sampai kemudian Laylaa menyadari ada yang aneh dari mimpinya. Laylaa yakin sekali jika dia sadar sepenuhnya di dalam mimpi itu.

Laylaa ada di aula luas kastel Ioan, tempat di mana teman-temannya dulu meregang nyawa. Bagaimana dia bisa sampai di rempat ini, Laylaa sama sekali tidak tahu. Karena segila apa pun dirinya, Laylaa tidak akan pernah mau mengunjungi tempat di mana teman-temannya kehilangan hidup mereka.

Ini hanya mimpi. Ini hanya mimpi!

Laylaa berusaha meyakinkan dirinya sendiri, tapi semakin dia melakukan itu, semakin ia merasa kejadian tersebut memang nyata.

"Ah, kau di sini." Sebuah suara yang tak asing bagi Laylaa terdengar di belakangnya.

Gadis itu menoleh, dan seketika membelalak. "Kau, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Laylaa sambil memperhatikan sekitar.

"Uhm ... menemuimu?" ujar orang itu tidak yakin.

"Derius, jika kau berniat ingin merayuku, maka kau berhasil. Aku tidak bisa mengabaikan ketampananmu."

Ini hanya mimpi. Jadi, mengapa sesekali tidak berkata jujur saja? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Derius yang sebenarnya tidak akan mengetahuinya jika Laylaa mengatakan itu.

"Kau manis sekali," kata Derius sambil tertawa kecil. "Sebenarnya, ada yang ingin kukatakan juga." Lelaki itu memakai jubah hitam berpola perak di atas setelan formalnya. Jubah yang Laylaa lihat dikenakan Derius saat pertama kali mereka bertemu.

"Kepadaku? Apa? Kau menyukaiku?"

Derius masih tertawa. "Aku memang menyukaimu," katanya. "Hanya saja, bukan itu yang ingin akukatakan."

"Lalu?"

"Mengenai Ioan, dia—-"

"Kau menyukai Ioan?!"

"Laylaa," panggil Derius sabar. "dengarkan aku dulu."

"Baik." Mimpi ini aneh sekali, pikir Laylaa dalam hatinya. Mengapa percakapan dua arah ini seperti nyata?

"Aku tidak bisa menghubungi Ioan. Kami memang memiliki sambungan empati, tapi bukan itu yang aku maksud. Ponselnya, kenapa tidak bisa dihubungi?" tanya Derius.

Laylaa mengernyit. Serius? Hal itukah yang ingin Derius tanyakan? "Ioan membunuhnya."

"Apa?"

"Ponselnya, Ioan membunuh benda itu. Kau tahu, benda itu bahkan belum sempat melihat pekarangan rumahku." Laylaa berbicara sekenanya.

"Bagaimana bisa?"

Laylaa mengusap rambutnya, kemudian terkekeh tidak enak hati. "Itu, aku sepertinya salah memberikan penjelasan," kata gadis itu. "Seperti ini, 'sentuh' dan 'tekan' ternyata memiliki arti yang jauh berbeda."

"Ternyata seperti itu," kata Derius seolah ia mengerti. "Aku tidak merasakan ada bahaya yang mengancam Ioan, karena itu aku bingung mengapa dia tidak dapat dihubungi. Kalau begitu, dapatkah aku minta tolong kepadamu?"

"Kau pasti ingin aku membelikan ponsel baru untuknya, bukan?" Laylaa menebak.

Derius tersenyum. "Aku sudah menyediakan kartu kredit untuk Ioan. Tolong kau bantu dia untuk memenuhi kebutuhannya, apa pun itu. Gunakan saja kartu itu. Aku menyimpannya di dalam kopernya. Untukmu juga ada."

Va in Soarta ✓ [TERBIT]Where stories live. Discover now