Signal

149 6 0
                                    


Misteri, apa itu misteri? Sebuah hal yang kebenarannya tak bisa dipastikan? Sebuah zona abu-abu di antara hitam atau putih? Atau hanya kata yang dipakai untuk memancing rasa penasaran orang-orang? Entahlah, tak ada satupun dari penjabaran di atas yang kupercaya. Bagiku, misteri hanyalah sebuah ekspresi untuk mereka yang malas mencari tahu akan sesuatu, mereka yang menyerah untuk menemukan kebenaran yang ada di balik tirai sang pesulap, mereka yang tak suka berpikir untuk menemukan alasan yang logis untuk menjelaskan sebuah fenomena.

Tapi semua itu berubah ketika aku bertemu dengan salah satu dari 'mereka'. Sesuatu yang benar-benar tak bisa diterima akal sehat, bahkan logikaku menyerah untuk memahami hal tersebut dan memilih untuk menerima bahwa dunia ini memang penuh dengan hal-hal yang tak membutuhkan penjelasan ilmiah.

Sekarang aku berada di apartemen yang kutinggali beberapa bulan ini. Duduk di sofa sambil memandangi sebuah walkie-talkie usang yang tanpa sengaja kutemukan di salah satu kardus dimana barang-barang tak terpakai ku simpan. Walkie-talkie? Di zaman modern seperti ini? Ya, itu mungkin aneh, aku juga berpikiran begitu, hingga akhirnya muncul sesuatu yang lebih aneh, sebuah sinyal yang berasal dari masa lalu.

Kejadian pertama terjadi tak lama setelah aku menemukan benda ini. Diawali dengan suara desis aneh lalu muncul suara seseorang, seorang anak kecil. Awalnya aku berpikir jika ini hanya sebuah ketidaksengajaan, tanpa sadar anak tersebut berada dalam frekuensi yang sama dengan walkie-talkie milikku. Aku mencoba berinteraksi, bertanya tentang siapa identitas anak tersebut, sekedar untuk melepas lelah selepas beraktivitas. Jawaban anak tersebut membuatku tertegun, dia mengaku sebagai Jemi, nama yang sama dengan namaku.

Aku mencoba untuk berpikir rasional. Dari jutaan manusia, tak mungkin hanya diriku yang memili nama itu. Akhirnya aku mencoba untuk mencari tahu lebih dalam. Aku bertanya tentang alamat rumah, sekolah, hingga nama orang tua anak tersebut. Lagi-lagi jawabannya membuatku terkejut, semuanya sama persis dengan masa laluku. Setelah merasa nyaman, dia yang mengaku sebagai diriku di masa lalu mulai berceloteh. Layaknya anak berumur 11 tahun, dia menceritakan hal-hal lucu yang membawaku untuk mengingat kembali masa-masa menyenangkan waktu dulu. Mulai dari kejadian menarik di sekolah, pengalaman berlibur bersama Ayah dan Ibu, hingga anjing tetangga yang membuatnya takut karena sering menggonggong tanpa sebab di tengah malam. Semua ceritanya benar-benar akurat, persis seperti apa yang pernah aku alami.

Entah kenapa aku merasa nyaman, aku yang terlahir sebagai anak tunggal ini akhirnya bisa merasakan bagaimana berbicara dengan seorang adik. Tanpa sadar aku memberikan beberapa nasihat. Jangan lupa belajar, makan banyak sayur, hingga berlaku baiklah pada teman-teman di sekolah. Mendengar hal itu diriku di masa lalu merasa senang, dia tertawa bahkan mengucapkan terima kasih dengan nada lucu, dia berjanji akan berusaha mengikuti nasihat yang kuberikan, nasihat dari seorang kakak misterius yang entah berada di mana.

Perbincangan itu membuatku kembali mengingat kepolosan masa kecil. Masa dimana tak ada tuntutan akan sesuatu, masa dimana bebas melakukan apa yang disuka tanpa harus memikirkan konsekuensi, masa dimana imajinasi merupakan tiket petualangan ke tempat-tempat yang menakjubkan.

Kejadian berikutnya terjadi selang beberapa bulan, tepat setelah aku cukup yakin jika kejadian pertama hanyalah sebuah kebetulan. Benda usang tersebut kembali berbunyi. Kali ini terdengar suara remaja tanggung yang terkesan cukup menuntut. Dengan nada rendah dia mengatakan 'hei, siapapun di sana, jawablah jika memang ada orang'. Kalimat itu diulang beberapa kali dengan warna kesenduan yang semakin menguat. Merasa tak tega, aku mencoba berinteraksi dengan anak tersebut.

Lagi-lagi orang ini mengaku sebagai diriku. Dia bercerita tentang suasana rumah yang tak lagi nyaman. Ayah dan Ibu kerap bertengkar, keduanya merasa jika salah satu dari mereka tak menjalankan peran orang tua dengan baik. Anak itu menceritakan dengan detail bagaimana mereka bertengkar bahkan Ibunya beberapa kali ingin meninggalkan rumah namun dirinyalah yang jadi alasan Sang Ibu tetap bertahan.

Sebuah memori dari masa lalu kembali terngiang. Aku yakin jika anak ini adalah diriku yang masih duduk di bangku SMP, tepat dimana pernikahan kedua orang tuaku berakhir. Aku mencoba untuk menguatkan diriku di masa lalu. Aku mengatakan jika hal itu memang sudah seharusnya terjadi dan meyakinkan dia jika cepat atau lambat semua akan baik-baik saja. Aku bisa memahami perasaan tertekan yang dialami oleh diriku di waktu SMP dan di sini aku mencoba untuk jadi sandaran yang tepat ketika dia tengah terpuruk. Ya, melihat kedua orang yang kita sayang saling berseteru memang tak pernah mudah.

Selanjutnya aku terhubung dengan diriku waktu SMA. Kali ini aku sudah cukup percaya tanpa harus memastikan hal-hal lain. Suaranya terdengar berat, khas remaja tanggung. Aku bisa membayangkan kumis tipis, rambut urakan serta jenggot yang baru tumbuh, masa-masa yang indah. Suara diriku di masa lalu kali ini terdengar cukup ceria, dia mengatakan telah bertemu seseorang yang mampu menutup lubang di hatinya, lubang yang dulu diisi dengan kasih sayang seorang ibu.

Aku ingat, dia, wanita ini memang benar-benar luar biasa. Parasnya cantik dengan rambut bergelombang bak model iklan, otaknya juga cerdas dan yang paling penting kami berdua tak pernah kehabisan bahan obrolan. Apapun topiknya, mulai dari yang remeh hingga isu hangat bisa menjadi obrolan yang menarik. Dia tak pernah mempermasalahkan keluargaku atau apa yang pernah terjadi dengan diriku di masa lalu. Sejak itu aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta.

Aku hanya berpesan jika diriku waktu SMA tak menyia-nyiakan gadis ini. 'Jagalah dia baik-baik karena mungkin kau tak akan menemukan yang seperti itu' sebuah pesan penutup obrolan antara aku dan Jemi di masa lalu.

Sinyal dari masa lalu yang kuterima terakhir, dari diriku yang sudah dewasa. Aku berbicara dengan diriku yang tengah pulang dari pekerjaan yang melelahkan. Diriku itu bercerita tentang betapa senangnya pekerjaan tersebut bisa selesai lebih cepat dari yang direncanakan, hal itu membuat dirinya bisa pulang lebih cepat serta mendapat libur beberapa hari ke depan.

Perasaan itu masih tergambar jelas. Bagaimana tim yang kupimpin bekerja sangat kompak, tak ada gerakan yang sia-sia, semuanya berjalan lebih baik dari yang direncanakan bahkan para klien puas hingga memberi kami bayaran lebih dari yang ada di kontrak. Aku beruntung mendapat rekan-rekan yang profesional seperti mereka, rekan yang sudah kuanggap seperti keluarga.

Obrolan tersebut berakhir. Aku di masa lalu harus mampir untuk membeli sesuatu sebagai sebuah hadiah yang akan dia berikan ke seseorang. Aku hanya mengucapkan selamat tanpa ada embel-embel lain. Ya, aku cukup bangga dengan diriku.

Sekarang, aku tengah memandang walkie-talkie usang di atas meja, berharap benda itu bisa berfungsi sekali lagi. Di sebelahku ada sebuah rangkaian bunga mawar yang mulai layu, ya wajar saja, sudah dua hari semenjak bunga ini kubeli di toko beberapa blok dari sini. Mataku memandang ke salah satu sudut ruangan dimana ada dua orang tergeletak bersimbah darah, salah satu dari mereka tak pernah kutemui sebelumnya.

Aku berharap bisa mendapatkan sinyal dari masa lalu sekali lagi hanya untuk mengatakan...

"Jangan...lakukan."


-End-

Pojok Ambigu Otak KananWhere stories live. Discover now