1; ethereal

3.3K 440 531
                                    

aku melihat ke arah jendela, langit menghitam dan turunlah hujan tanpa izin— deras, seolah ingin beradu dengan teman-teman yang sedang berisik karena jam kosong. aku menghela napasku, hujan lagi-lagi. seharusnya aku berangkat dengan Ashton tadi.

aku menggosok tanganku yang dingin lalu mengalihkan pandangan yang tadinya berada di depan buku Paper Towns ke anak-anak pramuka di lapangan. mereka berlatih untuk lomba yang diadakan seminggu lagi. guyuran air hujan membuat baju mereka basah. mereka masih semangat, membuatku tersenyum kecil. aku saja, cuaca panas sedikit sudah malas dan merengek minta istirahat. mereka? mungkin jauh berbeda denganku.

aku menyelipkan rambutku di antara telinga lalu melanjutkan membaca buku yang kubawa dari rumah. aku memiruskan untuk mendengarkan musik dari ponsel, lalu melanjutkan bacaanku.

"kota tua."

akh mengalihkan pandanganku dari buku ke sumber suara. sebenarnya hanya satu earphone yang terpasang di telingaku. aku mengangkat alis, mencari siapa yang barusan memanggil.

"woi, Athena sayang," lanjutnya lagi.

ternyata itu Ashton. aku membalas senyumannya. kami bertatapan dan suasana menjadi canggung.

"lagi baca, ya?" tanyanya.

Aku mengangguk, mengangkat bukuku juga, "iya nih."

"eh coba lo liat deh," ia menunjuk ke arah jendela, "anak pramuka kenapa tuh?"

"latihan?" jawabku tanpa melihat ke arah jendela. Ashton berdecak. "ish, liat dulu."

Ashton menunjuk ke arah jendela. dari sini aku dapat meliha banyak laki-laki yang berada di tengah lapangan, hujan-hujanan. sepertinya sedang ada keributan. mereka saling mendorong satu sama lain, membuatku bergidik. dari arah utara ada yang berlari lalu melerai.

"ngeri nggak sih?" tanya Ashton. aku mengangguk. "ya udah. gue balik ya? lo lanjut baca aja."

aku mengangguk, lalu kembali memandang ke arah jendela. sebagian dari mereka yang tidak ikut ribut, membubarkan diri. satu laki-laki maju lalu meninju pipi salah satu laki-laki di depannya. aku terkesiap, tanganku menempel pada jendela. seharusnya ada yang meleraikan mereka, kenapa ini jadi lebih parah?

"kenapa lo? gebetanny di luar?" suara Andira membuatku menoleh. aku melirik sekilas ke arahnya yang sudah bersiap-siap pulang.

"enggak kok," jawabku. ya ampun, apa aku harus mengatakannya? "Itu ada anak-anak bertengkar di lapangan."

"mana? kosong kok. Nggak ada siapa-siapa, ngaco lo," kata Andita.

aku mengernyitkan dahi, lalu melihat lagi ke tengah lapangan. Lapangan yang tadi diisi oleh banyak orang kini kosong, hanya di isi air hujan. aku ingin protes, kalau tadi benar-benar ada cowok-cowok yang bertengkar, namun Andira sudah keburu pergi.

bel pulang. Aku masih bingung dengan mereka yang menghilang.

semua orang berhamburan, termasuk aku. Aku berjalan ke parkiran, menunggu saudara kembarku Athlas, biasanya. aku melewati koridor bangunan tua yang terdiri atas perpustakaan dan gudang. saat aku berdiri di depan perpustakaan, aku melihat seorang laki-laki duduk selonjor di depan gudang.

dia, kenapa?

Dia tampak seperti kesakitan. aku bisa saja berputar, meninggalkan dia di depan sana, menunggu orang lain menolongnya. tapi, bagaimana kalau dia benar-benar sakit? benar-benar butuh bantuan? aku tidak bisa memaafkan diriku kalau besok ada headline berita seperti, seorang siswa ditemukan tak bernyawa karena dikacang murid sesekolahan.

kan, nggak etis.

aku berlari ke arahnya, lalu berlutut. aku memberanikan diri untuk menawarkan bantuan jika ia benar-benar kesakitan. bajunua basah kuyup, sepertinya ia habis kehujanan tadi.

"kamu, nggak papa?" aku menyentuh bahunya, basah. dia meringis, aku semakin takut. "kamu nggak papa? kamu, sakit ya?" dia mengaduh, lalu aku membantunya membenarkan posisinya, "kamu bener-bener sakit."

dia menggigit bibir bawahnya, memejamkan matanya juga. aku bisa melihat tangannya yang membiru, pertanda dia sudah pucat. aku melihat tangannya memegang lengannya yang...berdarah?

aku terkesiap. Wah anjir, berdarah nih cowok.

"Innalillahi," aku bergumam, "Masnya, kenapa?"

dia menggeleng, "nggak papa, aduh."

"tunggu sini ya," aku mengambil handphoneku dari saku saku lalu segera menelepon Athlas. "Halo Ath. Iya, kamu pulang dulu aja ya. Hah? Anu, tugas kelompoknya banyak. Pulang sendiri lah, pake taksi. Ya udah, makasih."

Aku segera memegang pundaknya, "Masnya saya anter ke rumah sakit ya? Kayaknya masnya butuh pertolongan lebih ya ampun."

"Saya masih kelas 11, kok," ujarnya, "Nggak usah. Saya pulang aja. Rumah saya deket kok, obatnya juga, shh, di sana."

"Oke," Aku melepaskan jaketku dan aku memakaikannya pada si mas-mas ini. Aku membantunya berdiri, yang beratnya setengah mati. Dia berjalan masih normal, hanya saja terkadang dia mengaduh dan dia sibuk memang tangannya.

"Mas jangan dipegangin terus nanti infeksi," ujarku mengingatkan dia.

Dia tertawa kecil, menunjukkan matanya yang menyipit, "Tahu apa kamu soal infeksi?"

"Seenggaknya saya pernah ikut pelatihan dokter UKS," balasku canggung.

Kami lewat gerbang utama. Aku merasa tidak enak karena daritadi kakak-kakak kelas dan beberapa adek kelas melihat ke arah kami dengan tatapan yang tidak enak. Memang membawa 2 tas seperti ini terlihat seperti aku seorang pembantu dari mas-mas ini. Tapi tasnya ini tidak seberapa berat.

"Masnya bawa kendaraan?" tanyaku.

"Rumah saya deket, saya biasanya naik skateboard atau jalan kaki," jawabnya. Aku mengangguk. "Naik taksi ya?"

Ketik ia mengangguk, aku segera mencegat taksi yang lewat. Aku membuka pintu untuk dia kemudian dia segera masuk. "Masnya, bilangin alamatnya mas tuh," ujarku. Dia mengangguk, lalu mengatakan alamatnya ke sopir taksi.

"Saya nggak ngerepotin kamu kan?"

"Enggak kok," Aku nyengir.

Taksi itu berjalan, membuat suasana kami menjadi canggung. Ditambah lagi orang ini hanya diam dan sang sopir tidak menyalakan musik. Hening. Ya ampun.

Ia memegang tanganku kemudian. Aku terkesiap.

Dia terkekeh, "Jangan kaget begitu ah. Tangan saya dingin, saya butuh sesuatu yang hangat." Aku mengangguk, "Pegang sesuka mas, biar anget."

"Nama kamu, aduh, siapa?" Dia mendekatkan dirinya kepadaku, "Kalo saya boleh tahu. Saya tahu kamu anak kelas 11."

"Nama saya Athena Katherine Cole," balasku. Dia tersenyum, "Siapa? Ethereal?"

"Hah?" Aku terkekeh bodoh.

"Saya suka nama kamu, Ethereal," ujarnya. Aku mengernyitkan dahi, kemudian hendak ingin protes, namun tiba-tiba dia menyandarkan kepalanya ke pundakku. "Saya ngantuk. Kepala saya sakit. Saya tidur di pundak kamu ya?"

"Oh ya, Eth," katanya, "Selain suka sama nama kamu, saya berusaha suka sama kamu, kok. Doain saya bisa ya?"

Aku mengangguk. Dia benar-benar bisa membuatku pingsan.

***

ethereal • cth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang