2; pergi bawa hati

2.2K 360 393
                                    

Sepanjang perjalanan aku harus rela yang namanya menahan nafas, dan mengatur detak jantungku dengan baik. Dia, cowok yang aku tolong tanpa tahu siapa namanya itu, menempelkan kepalanya di pundakku tanpa izin. Kemudian dia tertidur, dan dengan terpaksa aku memeluknya. Tangannya terlihat sangat parah, dan aku begitu cemas sekarang. Aku benar-benar takut ia infeksi, aku juga takut keadaan dia lebih parah dari ini karena luka yang bisa membahayakan juga.

"Pacarnya, mbak?" tanya sang sopir taksi.

Ya elah kenal baru hari ini bapak

Disangka pacar

"Bukan pak, hehe," aku menggeleng. Bapaknya tertawa, "Tapi kalian cocok kok, mbak."

Aku terdiam lalu menarik napas panjang. Merutuki perkataan bapak tadi yang membuatku menahan panas di pipiku yang menjalar. Orang ini masih tidur, dan aku takut dia bakal pingsan atau semacamnya.Tapi setelahaku cek bagaimana napasnya, aku mendesah lega. Setidaknya ia baik-baik saja.

Kemudian mobil ini berhenti di suatu rumah yang lumayan besar, dengan 2 lantai di dalamnya, dicat berwarna nudes yang membuat siapa saja betah melihatnya. Sepertinya, ini rumah mas-masnya. Aku menepuk pelan pipinya (sangat pelan kalian tahu) Lalu bergumam, "Masnya..." Aku menaikkan alisnya, "Ini rumah masnya?"

Dia terbangun, mengucek matanya, "Iya. Ayo turun."

Kami turun, aku menuntunnya sampai ke depan pagar, lalu membayarkan uang untuk taksinya. Si taksi pergi, aku terdiam.

"Cepetan bukain, emang kamu pikir tangan saya nggak sakit?" tanyanya dengan sedikit menahan marah.

"Lha mas, ini digembok, kuncinya mana?" balasku. Dia memejamkan mata sebentar sambil menghela nafas, "Ambil di tas saya. Di bagian depan. Jangan ambil yang aneh-aneh."

"Iya-iya ya ampun," Aku segera mengambil kunci lalu membuka pagarnya. Tak lupa aku menuntunnya masuk juga. Kadang ia meringis kesakitan, itu membuat merinding, dan tiba-tiba aku merasa sakit. Aku sampai di depan pintu rumahnya. Aku menanyakan apakah pintu rumahnya dikunci lalu ia menjawab, "Iya itu dikunci. Eh, kayaknya nggak, nggak tahu. Saya lupa."

Aku mengangguk, "Oke." Gumaman itu aku lanjutkan dengan membuka pintu depan rumahnya. Aku menuntunnya masuk. Rumah ini besar, dengan cat warna krem-agak ke oranye-dan tiba-tiba terdapat unsur coklatnya sebagai warna sebagian besar rumah ini. Ruang tamunya terdapat sofa kayu dengan busa berwarna hijau. "Kamu mau ke kamar?" tanyaku.

"Nggak usah," Dia menggeleng.

"Kamu mau saya obatin di mana?" tanyaku lagi.

"Di hati kamu aja. Saya yakin seratus persen sembuh," balasnya. Cowok ini. "Kamu masih sempet begituan sih, liat keadaan kamu dong," Aku membantunya duduk.

Dia tersenyum. Dia melepaskan ikat pinggangnya, lalu menaruhnya di sebelah tasnya. "Kamu mau ngapain?" tanyaku.

"Apa? Saya ngerasa risih aja kok. Memangnya kamu mikir apa tadi? Jangan bilang..."

"Enggak. Saya cuman tanya," ujarku.

Sekarang aku bingung.

Aku menatapnya kemudian. Dia menabrakkan pandangannya padaku juga. Kami bertatapan. Suasanya semakin awkward. Tatapannya teduh, dan sedikit sendu, membuatku terbawa perasaan sendiri. "Luka kamu dimana aja?" tanyaku, berusaha mencairkan suasana yang terkesan, dingin.

"Di sini," ia menunjukkan tangannya, ya aku tahu itu, "Sama di sini. Di dada saya."

"Jadi saya ngobatinnya gimana?" tanyaku bingung.

"Ya dibuka itu, apa, bajunya," balasnya, "maksudnya. Baju saya, bukan baju kamu."

"Yaiya lah. Kamu pikir saya nggak tahu apa yang kamu omongin?" Aku kemudian mendekat, meneguk ludah, bernapas panjang, "Kenapa kamu gitu? Jangan gugup ah, nanti setiap hari kamu kan liat saya begitu."

ethereal • cth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang