3. gombalan telepon

1.7K 310 243
                                    

Athlas menjemputku setelah aku harus bersusah payah membuatkan teh hangat dan camilan untuk Calum agar ia bisa minum obat. Kulkasnya kosong, hanya berisi telur, daun bawang, cabai, wortel, tepung dan beberapa saus yang tidak aku ketahui. Aku membuat makanan yang berasal dari situ. Kemudian aku menyuapinya dan pamit pulang. Calum hanya bergumam mengiyakan, kemudian aku pergi sendiri ke depan rumahnya mbak Delia.

Athlas sempat melayangkan tatapan bingung kepadaku, seolah bertanya-tanya kenapa tidak ada orang di sana atau kenapa tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah Calum. Aku tidak menjawab, ya karena dia tidak bertanya secara langsung. Athlas juga bingung, kenapa aku tidak bersikap begitu antusias dan menceritakan segalanya; segala sesuatu yang aku lakukan saat kerja kelompok. Ya apa yang mau diceritakan? Gombalan Calum? Ya kali, bisa muntah-muntha tuh anak.

Sepanjang perjalanan aku memikirkan jawaban apa yang pas dibicarakan.

Oh ya, kita belum kenalan ya?

Namaku Athena Cole. Kepanjangan dari nama itu adalah Athena Katherine Cole.

Athlas adalah kakakku, ia lahir 7 menit sebelumku. Namanya Athlas Dylan Cole.

"Kamu kemana aja? Kerja kelompok kok lama banget?" cecar ayah yang melihatku berjalan ke ruang tamu. Bunda menimpali, sambil menyeruput kopinya, "Lha iya. Hampir mau maghrib. Bunda sampe khawatir."

"Anu sebenarnya," Aku mengambil napas panjang lalu menghembuskannya, "Aku nggak kerja kelompok."

Athlas, "Emang kenapa kamu di sekolah tadi? Nge-OSIS?"

"Enggak, kok. Tadi itu ada cowok yang duduk di depan gudang. Awalnya kan aku nggak tahu, ya aku main lewat aja," balasku yang sedikit sarkastik tersebut, "Dia terus kayak ngaduh kesakitan gitu. Aku juga udah pikiran nggak enak, akhirnya aku samperin, mastiin baik-baik aja. Eh, tangannya berdarah, kayak abis kena kaca gitu."

"MasyaAllah, nggak kamu obatin dianya Ath?"

"Iya makanya itu," Aku membalas ucapan beliau tadi, "Aku terus telpon Athlas supaya yang nungguin aku. Aku sama dia ke rumahnya, obatnya lengkap soalnya. Kasian juga kan dia nungguinnya lama."

Athlas bersuara kemudian, "Pasti ngapa-ngapain tuh di sana."

"Ih nggak kok!"

"Athlas, Athena udah. Kalian udah besar masih aja kayak anak kecil. Mau dipecat jadi anak papa terus gelandangan?"

"Enggak," kataku dan Athlas serempak.

"Udah-udah, kalian ini udah besar masih suka ribut," kata Bunda sambil memandangi kami dengan tatapan keibuan beliau yang menghangatkan, kemudian melanjutkan pertanyaan beliau, "Emang kenapa dia bisa gitu? Dia kecelakaan atau apa?"

"Kata dia waktu di rumahnya tadi, dia berantem, terus orang yang berantem sama dia itu kayak bawa senjata gitu. Senjatanya nggak kena tangannya aja sih, tapi juga dadanya."

"Dia nggak lapor ke siapa gitu? Guru BK?"

"Nggak-"

"Ya elah Bun, begituan doang, namanya juga anak laki-laki yang lagi SMA, emosinya kan labil," sergah Athlas yang tiba-tiba memotong perkataanku dengan Bunda, "Nggak papa kok. Ngapain ke guru BK segala? Besok udah selesai, alay kalo kayak gitu."

"Ye sinting kali kamu ya. Lukanya nggak satu-dua tapi hampir 4! Ya kali!"

"Ngapain sih, alay tahu nggak. Apa-apa bilang sana, bilang sini, lapor sana lapor sini, tuntut sana tuntut sini, emang damai nggak bisa?"

"Sudah. Nanti ayah yang atur," kata Ayah memisahkan kami berdua, "Kamu mandi dulu, Then."

Aku mengangguk lalu berdiri dan menjulurkan lidahku pada Athlas. Athlas menatapku lalu berkata, "Ye! Liat aja nanti ya!" Aku terkikik lalu mengambil handuk dan bergegas mandi.

Calum berencana tidak sekolah besok-yang mana rencana itu aku yang membuat. Kami sempat berdebat tadi sore, namun ia mengalah. Lagipula, kalau masalah luka sih tidak apa-apa, lha ini? Bawa-bawa nyeri, badan panas sama sakit kepala, ya kali ia masuk sekolah. Ia menelepon kakaknya dan kakaknya berkata kalau tidak bisa pulang, orangtuanya sibuk masalah pernikahan bibinya. Jadi, aku pagi-pagi sekali bakal pergi ke kelasnya untuk memberikan surat.

Oh, dan ya, aku sudah membicarakannya pada orangtua-ku. Mereka bilang mereka setuju menandatangani surat Calum jika besok ia tidak masuk. Aku berteriak senang.

Aku pergi ke kamar sambil membawa ponsel. Selanjutnya aku merebahkan diriku di atasnya, sambil bernapas lega. Aku melihat pesan yang masuk di notifikasi. Aku tersenyum ketika melihat pesan masuk dari Calum. Ya, memang kami sempat bertukar nomor telepon tadi.

Kamu udah sampe? Kalau udah telepon saya gih.

Aku tertawa sebentar, lalu menekan nomor Calum. Nada sambung berbunyi sebanyak 5 kali, lalu Calum mengangkatnya. Aku tersenyum lalu bertanya, "Hai. Gimana? Udah baikan? Daritadi saya nggak sabar dengerin kabar kamu, lho."

"Udah dong. Siapa ya dokternya? Diobatin pake cinta ya?" Dia ikutan tertawa di sana. Aku memutar mata jengkel, "Nggak, kamu diobatin sama sakit hati."

"Ye, saya serius, Ath. Jangan pikir saya bercanda ya," Dia seperti mengganti posisinya, "Kamu sendiri gimana? Udah sampe rumah? Jangan lupa makan lho, nanti kamu sakit, kamu nggak bisa ngapa-ngapain, kayak saya sekarang."

Aku mengangguk cepat, "Udah kok. Kamu juga, jangan lupa. Nanti nggak bisa ngapa-ngapain."

"Bisa kok."

"Lha, kamu tadi bilangnya nggak bisa. Sekarang kamu bisa ngapain kalo sakit?"

"Tidur sama mikirin kamu."

Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan semburat merah muda di pipiku. Aku merasakan pipiku memanas, kemudian aku berguling ke samping sambil menarik guling untuk di peluk, "Yailah. Nggak ada yang lebih penting ya? Kok itu sih."

"Saya mau tanya kamu lagi dong," katanya yang membuat alisku bertaut, "Iya kamu tanya aja, pasti aku jawab kok."

Kemudian ia menarik napas dan menghembuskannya, bertanya dalam nada khawatir, "Kamu sekarang dimana? Kamu yakin kamu ada di rumah?" Aku sedikit terkejut, kemudian menerawang ke langit-langit, berpikir kenapa ia bertanya seperti itu.

"Iya saya di rumah kok," jawabku, "Kamu kok nggak percayaan banget sih. Apa buktinya saya nggak ada di rumah?"

"Ada kok."

"Apa?"

"Buktinya, kamu lagi lari-lari di pikiran saya. Saya kan khawatir gitu kamu nggak pulang."

Ya Calum.

Aku tidak bisa menghitung bagaimana dia memutar balikkan hatiku.

"Aish, udah ya," kataku mencegah terjadinya perubahan dalam hatiku yang semakin menjadi, "saya mau tidur. Capek seharian bareng kamu, ngobatin kamu, jadi sandaran kamu tidur."

"Padahal saya mau ngomong banyak hari ini," katanya, "Tapi nggak papa kok. Semoga kamu tidur mimpiin saya ya. Saya otw mimpiin kamu juga."

Aku menutup telepon terlebih dahulu. Aku merasa, seolah percakapan kami tadi kurang, kurang apa ya? Nggak tahu deh, sepertinya aku yang kegeeran. Aku tak bisa menyembunyikan senyumku malam ini. Rasanya aku ingin terus bersamanya. Terus, pokoknya terus.

Tapi sayang, besok aku tidak bisa bertemu dengannya.

Aku kemudian mengirim pesan padanya.

Nggak sabar ketemu kamu. Cepat sembuh. Amin.

Belum sampai 10 detik ia membalas.

Saya juga. Saya lebih malah. Amin. Kamu pasti tambah cantik. Saya akan kangen kamu kok, tenang aja. Gatau kalau kamu. Saya berharap sama sih.

Aku membalasnya lagi.

Saya berharap luka yang ada di kamu langsung kering. Saya mau ngeliat kamu senyum, pasti manis.

Dia membalasku.

Saya harap juga gitu kok. Saya nggak pernah nyesel kenal kamu. Kamu bikin saya nyaman. Mungkin bentar lagi saya sayang kamu. Mau nggak disayang saya?

siapa yang mau anjir?

***

ethereal • cth ✔Where stories live. Discover now