6; menghabiskan hari (1)

1.1K 255 127
                                    

"Ath, ada temennya tuh!" Bunda berseru dari lantai bawah, yang membuatku cepat-cepat menuju ke bawah. Aku melongok dari tangga, sambil membenahi rambutku. "Ada apa Bun?" tanyaku.

"Tuh ada temennya jemput," Bunda menunjuk ke arah pintu.

"Hah? Temen?" Aku mengerutkan kedua alisku, "Mana ada? Orang lain kali."

"Beneran, tuh samperin dulu." Bunda memberikan gestur agar aku segera menemui orang yang ada di depan. Aku izin sebentar ke kamar, lalu menanyai Luke dan Ashton apakah mereka menjemputku. Biasanya 2 orang itu dengan iseng menjemputku. Kali aja kan.

Luke suami imut : enggak sayang, ini lukey lagi pakai kaos kaki :3
Pacar<3 : enggak Ath, lo mau dijemput?

"Lha ini nggak ada yang jemput," gumamku lalu turun ke lantai bawah. Bunda menyuruhku untuk cepat menemuinya dan aku balas beliau dengan anggukan. Aku segera membuka pintu depan, lalu menuju ke teras.

Lalu aku terkejut.

Aku dijemput oleh Thomas Sangster, ya ampun.

Bukan.

Itu Calum.

Dia tersenyum di sana, menyandar pada motornya. Ia melambaikan tangannya kepadaku. Maksudku, hei, kenapa dia bisa tahu rumahku di sini? Apakah dia stalker atau semacamnya? Yeee, gini mah akunya jadi takut. Ditambah lagi, Calum kalau tersenyum benar-benar membuatku diabetes.

"Hai, Eth. Kamu kenapa bengong?" tanyanya.

"Lha kamu kenapa jemput saya? Saya kan nggak minta jemput," balasku tak acuh. Dia memanyunkan bibirnya (dan itu benar-benar menambah keimutannya 10000x), "Kamu pikir saya ojek gitu, baru dateng kalau disuruh?"

"Siapa?" Suara Bunda memecahkan suasana yang baru saj terjadi. Beliau memandang ke arah Calum yang sudah berjalan maju masuk ke teras. Bunda pun berceletuk, "Eh, kamu!"

"Bunda kenal?" bisikku.

"Nggak," balas beliau lalu pura-pura tersenyum ke Calum.

GUBRAK.

Calum menyalami tangan Bunda dan selalu membuat senyumnya selebar dan semanis mungkin. Ini anak kenapa sih. Udah bikin jantung aku jungkir balik gini, sekarang mau apa? Mau nyuri hati bunda juga? Wah, kriminal sekali ya nih anak. Aku ingin berkata kasar.

"Tante," ucap Calum masih dengan senyumannya.

"Eh, kamu siapa?" tanya Bunda ramah.

"Saya Calum Hood tante. Ornag yang pernah ditolong sama Athena dan calon pacarnya," ucap Calum. Aku menatapnya tidak serantan, namun dia hanya tersenyum miring.

"Oh, kamu toh, yang diceritain Athena," balas Bunda, "Ganteng juga kamu ya? Gimana luka kamu? Udah sembuh?"

"Udah tante. Anaknya jago banget ya nyembuhin luka? Saya jadi sayang," kata Calum ke Bunda namun pandangannya ke arahku. Bunda kemudian membalas, "Ya ampun bisa aja kamu."

Heh, apaan itu tadi?!

"Tapi Athena kok agak beda ya sama Tante?" tanya Calum. Aku mengerutkan dahiku.

"Iya, Athena itu agak ke ayahnya, kalo si kembarannya itu agak ke tante," balas beliau.

"Oh gitu," Calum manggut-manggut, "Ya sudah tante, saya sama Athena mau berangkat dulu. Nanti saya mau ngajak anak tante pergi jalan-jalan nggak apa-apa, Tan?"

"Nggak apa-apa," balas bunda, "Yang penting kamu bawa Athena terus ngembaliinnya seperti keadaan sempurna."

"Siap tante!" Calum tersenyum, lalu menggaet tanganku. "Saya siap menjalankan tugas kenegaraan!"

Bunda tertawa. "Ya udah kalian hati-hati, ya!"

Aku dan Calum kemudian menaiki motornya. Calum menyodorkan jaketnya kepadaku lalu berkata, "Pake. Nggak papa saya kedinginan, saya jangan." Kami berangkat dengan lambaian dan doa bunda menyertai kami.

Aku tidak berbicara sepanjang perjalanan, aku terdiam. Aku memikirkan bagaimana kalau Athena yang hanya sebagian kecil orang tidak bersuara di angkatan kelas 11 ini jatuh lebih dalam kepada Calum Hood, orang yang tak sengaja dia temui di saat hujan mengguyur lapangan sekolah. Aku takut aku semakin jatuh pada senyumannya, seperti Bunda yang seperti sudah jatuh duluan. Aku takut. Aku takut aku akan merindukan perlakuannya kepadaku dan aku takut aku patah hati.

"Kenapa diem aja? Pegangan dong," ucap Calum. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Nggak mau."

"Kenapa sih? Kamu marah?" tanyanya lagi.

"Saya nggak marah. Kita bukan muhrim Calum," balasku seadanya.

"Ngapain khawatir? Saya bahkan jadi muhrim kamu kok, tenang aja," katanya disana, "Ya kali, orang saya sayang sama kamu saya rusakin kamu. Dikira saya gila?"

"Ah, kamu gombal aja," balasku tak acuh.

"Yang bilang gombal aja siapa sih, Eth?" Dia menaikkan suaranya sedikit, "Saya benci ngomong ini tapi sekali saya sayang sama seseorang, saya bikin dia nyaman. Apalagi kamu. Saya bikin kamu seakan baju paling mahal di butik yang paling terkenal di dunia. Bukan baju obralan yang cuman dipake sebentar. Saya harap kamu paham."

Aku terdiam. Mulutku ingin berbicara, namun aku mengurungkannya.

"Kalo kamu kira saya bercanda, jawabannya nggak. Kalo kamu kira saya main-main, jawabannya nggak. Kalo kamu kira saya lelucon, saya bisa jadi seserius yang kamu mau. Inget, soal perasaan saya nggak main-main," katanya lagi.

Akhirnya aku dengan takut-takut melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku kemudian berbicara, "Puas? Mau apa sekarang?"

"Mau saya?" tanyanya, "Ya nggak sekedar jadi ojek lah. Kalo bisa seseorang yang kamu prioritaskan. Seperti saya memprioritaskan kamu."

"Ye, tadi itu kamu maksa kan?" tanyaku.

"Nggak," Aku melihat dia tersenyum dari spion, "Saya tahu perasaan itu nggak bisa dipaksakan. Itu butuh waktu. Tapi saya bakal nunggu kok, kalo yang saya tunggu itu kamu."

***

ethereal • cth ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora