8; SSS (2)

806 196 93
                                    

"Pokoknya nggak mau tahu! Dia itu harus bisa ngelupain yang tadi soalnya itu menjijikan pake banget!" Lia mengibas-ibaskan tangannya, menunjukkan kalau dia jijik dengan sebuah hal. Lia benar-benar tidak bisa santai saat Calum menemukan kami berpeluk-pelukkan seperti tadi. Dia benar-benar khawatir...seperti benar-benar khawatir. Aku tidak tahu kenapa.

"Lha yang tiba-tiba ikut-ikutan itu siapa?! Lo kan?!" Luke sekarang sewot.

"Udah-udah," balasku yang sedikit marah, "Calum mungkin cuman nyariin gue. Mungkin aja dia mikir kita tadi lagi remidi berjamaah."

"YEEEEE!" jitakan keras mendarat tepat di kepalaku. Mereka seperti tidak terima. "Kepedean lu anjir. Udah tahu Calum sukanya ngebaperin doang, masih aja di iya

"Gue takut kalo tiba-tiba Calum itu ngapa-ngapain lagi. Tiba-tiba kita dipanggil BK gara-gara peluk-pelukan gitu kan nggak etis," Lia berujar lagi. Pasalnya, dialah yang paling ribut masalah ini. Memang Calum sempat terdiam saat melihat kaki berempat lalu kemudian...dia berkata, "Saya mau ketemu Athena. Bisa?"

Dengan sigap Ashton menjawab, "Nggak bisa, lagi sibuk."

SIBUK PELUK-PELUKAN SIH IYA?!

Berolahraga di jam ke-4 sampai ke-6 (atau sampai istirahat kedua) membuatku semakin ingin pulang saja. Udara panas, mana sekarang bab yang dibahas masalah basket lagi. Memang sih, aku suka permainan ini, namun seharusnya guru-guru tidak menempatkan jam olahraga di jam ke-4 sampai ke-6 dong. Karena, yang benar saja, kita olahraga jam 10 siang hingga 12 siang. Ya kali!

"Nih diminum," kata Luke yang menyodorkan sebuah botol air minum. "Ash! Li!"

Kami meminum air itu dengan senang hati. "Jangan lupa diganti," kata Luke.

"Lha?! Gue kira gratis?! Nyesel anjir gue minum ini!" Lia menanggapi tak serantan.

"Eh utang lo di kas belom lo bayar! Udah berapa bulan, hah?" Luke ikut sewot. Aku dan Ashton tertawa. Luke memang bendahara kelas, jika kalian ingin tahu.

"Eh gue ijin ke kelas dulu ya, mau ngadem bentar terus ke kamar mandi. Bilangin pak Hendra ya kalo ditanyain," kataku lalu bangkit untuk pergi ke kelas.

"Oke siap."

Ini benar-benar melelahkan. Jadi aku ke kelas dengan malas. Pandanganku tersebar ke seluruh koridor, mantap ke arah tanaman-tanaman yang tumbuh dengan subur. Aku menghela napas. Koridor terasa lebih baik, apalagi di sini banyak sekali tanaman. Kalau misalnya pak Hendra tidak pernah peduli mengenai siswa bolos seperti pak Sri (guru karawitan/kesenian), aku pasti bolos ke sini. Koridor menuju kelasku memang sepi, ramai pada pagi hari saja. Sesudah itu, sepi. Istirahat pun jarang yang lewat sini.

Angker, itu sih katanya. Definisi angker menurutku bukan angker karena di sini terdapat penghuninya atau apa, melainkan cerita-cerita yang berkembang di kalangan siswa-siswi mengenai masa lalu sekolah ini. Bukan karena sekolah ini bekas rumah sakit atau apa, namun konon katanya, di koridor ini juga, banyak siswi yang dibuahi dan bunuh diri di sini. Istilahnya, hamil terus bunuh diri. Aku kan takut kalau tiba-tiba dipaksa begituan sana anak cowok...

Apa sih ngaco.

Sampai di kelas, aku kemudian meminum air minum yang aku bawa di tas. Duduk sebentar di bawah kipas tidak apa-apa kan? Jadi aku duduk di sana sebentar, lalu pikiranku melayang jauh kepada Calum.

Lucu juga bagaimana aku mengenal dia. Menyelamatkan dia dari rasa sakit yang dia rasakan. Bagaimana kalau aku menemukan dia di depan gudang itu? Apakah dia tidak akan mengenalku? Atau yang lebih buruk...aku tidak akan pernah mengenal Calum?

Aku kira, aku bisa menjadi satu-satunya. Tapi aku hanya salah satunya.

Lucu. Jadi aku mencuci muka agar tidak menangis.

***

ethereal • cth ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora