18; kehilangan

731 177 121
                                    

"Luke barusan meninggal, Ath."

Mataku membesar, aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Ashton. Ini enggak mungkin, aku berujar dalam hati, air mataku berhenti mengalir, semuanya seolah berhenti, tapi Ashton tadi beneran bilang. It just feels so real. Aku kemudian bertanya kepada Ashton, "Apa, Ash? L-luke meninggal?"

"Iya Ath. Denger," suara Ashton benar-benar serak. "Luke, dia meninggal. Barusan. Sekarang dia mau dipindahin ruangannya."

Aku segera melempar ponselku ke kasur, aku berlari ke bawah, lalu berkata ke pada Bunda. "Bunda, Luke baru aja meninggal."

"Innalillahi," Bunda menjawab, beliau menunjukkan ekspresi yang sama terkejutnya denganku, "Kamu sekarang mau kesana?"

"Iya," Aku segera mengambil kunci motor milik bunda, lalu mengambil helm. "Aku berangkat dulu ya Bun."

"Hati-hati ya Ath," kata Bunda dan aku mengangguk.

Aku—dengan segala pikiran yang tidak menentu, juga detak jantung yang tidak karuan, mata sembap dan kepala yang sakit—segera menyalakan mesin motor, lalu keluar dari rumah dengan cepat. Aku tidak peduli dengan gerbang yang belum aku tutup. Aku tidak peduli dengan penampilanku sekarang. Yang ada di pikiranku sekarang hanya Luke; tapi dengan kata-kata suda meninggal. Maksudnya apa?

Seingatku baru kemarin kita saling mengolok di group chat. Perasaan baru kemarin kita hangout bareng. Perasaan baru kemarin Luke dan Lia tertawa bahagia gara-gara lagu ransel. Perasaan baru kemarin kami nyontek bareng. Perasaan juga baru kemarin kita bertemu. Tapi kenapa? Kenapa harus sekarang?

Aku tidak pernah mengendarai sepeda motor di atas kecepatan 60 km/jam tapi hari ini, mungkin aku bisa mengendarainya 80 km/jam. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berlari, ke UGD, tanpa melihat keadaan sekitar. Aku langsung masuk disuguhkan pemandangan Ashton yang menangis, juga Lia yang menangis tersedu-sedu. Mama Luke menangis di pelukan papa Luke, dan papa Luke sendiri—beliau terlihat tenang. Beliau ingin menangis—namun—beliau berusaha tenang.

"Om," Aku bersuara—serak, hampir tak terdengar. Papa Luke menoleh, lalu berkata, "Iya, Athena. Luke sudah pergi."

"Om, ini beneran kan?"

"Iya, Athena."

Aku terdiam. Ada sesuatu di mataku yang memaksa untuk keluar.

Mungkin kalian akan mengira aku akan berkata tidak mungkin tapi aku hanya terdiam. Kemudian papa Luke melanjutkan, "Setelah ini, Luke bakal dimakamkan. Om harap kamu ikut."

Aku hanya diam. Kemudian Ashton memelukku, aku memeluk Ashton. Aku merasakan air matanya menyentuh bahuku. Aku sekarang—entahlah aku hanya tidak bisa—

"Ananda Athena?" Seorang suster memanggil.

Aku segera melepas pelukan Ashton, "Ya?"

"Ini milik anda?" sebuah gelang karet berwarna pink, yang familiar bagiku telah diberikan oleh sang suster kepadaku. Aku segera menerimanya, lalu aku melihat ke pergelangan tanganku—gelang warna kuning. Yang kami beli di Bali tahun kemarin. Rasanya aku ingin lenyap sekarang.

Setelah itu, aku mendengar—aku berada di situasi dimana, Luke akan dimakamkan.

Aku pikir, awalnya, ini hanya lelucon. Ini hanya tipuan Luke yang suka menggodaku. Awalnya ini tidak benar. Awalnya aku pikir ini tidak nyata. Namun, tiba-tiba semua orang menangis dan berkata, Luke akan segera dimakamkan. Kenapa? Kenapa Tuhan membuatku berpikir seperti itu? Kenapa Luke harus tidak selamat?

ethereal • cth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang