6; menghabiskan hari (2)

1.3K 247 179
                                    

Aku tersenyum. Aku sedikit merapatkan pelukanku. Sebenarnya sih, aku sudah memprioritaskan Calum sejak pertama kali kita bertemu. Bagaimana tidak? Aku sepertinya sudah tersihir dengan tata bicaranya saat pertama kali bertemu. Juga, mata coklatnya yang memabukkan siapa saja. Aku tahu, aku tahu, Calum memang mengeluarkan kata-kata manis untukku semenjak pertama kali bertemu, namun, dilihat dari tata bicaranya, dia terlihat tulus. Ah, Athena ngomong apa, sih! Ge-er nih ye!

Sesampainya di depan gerbang, aku dan Calum langsung turun. Banyak siswa maupun siswi (mungkin para siswa gabut kali) yang memperhatikan kami. Calum kemudian tersenyum, "Nggak apa-apa, kok. Jalan terus aja. Mereka cuman iri."

"Geer banget kamu bilang mereka iri," celetukku, yang dia balas dengan tawaan renyah.

"Sini, kamu saya peluk, biar tahu kamu kalau mereka iri," dia tertawa tanpa beban. Ah, kampret, aku baper lagi. Tapi kami masih berjalan beriringan, menuju ke parkiran, dengan semua mata mengiringi kepergian. Lho, kok, akhirannya an-an semua, sih?

Sepertinya Calum adalah orang yang mudah dikenali-dan gampang untuk dijadikan orang pada 'daftar anak-anak populer seangkatan/adek kelas/kakak kelas' tahun ini. Maksudku, bagaimana tidak? Sepanjang jalan, ada saja, laki-laki atau perempuan yang menyapa, "Calum," atau, "Woi, lum!" atau juga, "Kak Calum," dengan khas yang centil. Mereka-apalagi cewek-cewek, suka sekali tersenyum malu kepada Calum. Hei, ayolah, di sini ada aku. Aku yang bakal jadi pacar. Heuft.

Di parkiran, Calum memakirkan motornya di sebelah motor Vario hitam entah milik siapa. Tiba-tiba Calum berceletuk, "Jaketnya kamu pake aja."

"Kenapa?" tanyaku.

"Biar terbiasa," balasnya lagi.

"Terbiasa gimana?"

"Terbiasa pakai barang-barang saya kalau nanti kamu udah jadi milik saya," ucapnya enteng.

Halo, dunia ke Calum Hood? Bisa nggak kamu nggak bikin hati saya jungkir balik? Bisa nggak kamu nggak bikin saya jadi putri sehari? Rasanya ada kupu-kupu bertebangan di perutku, dan rasanya aku ingin terbang. Mungkin aku tidak menampakkan tanda-tanda seperti pipiku memerah, atau hal yang bisa dilihat jika seseorang blushing, namun aku tidak merasakan kaki menapak pada tanah. Ah, ya ampun.

"Bentar," Calum menepuk pundakku sebentar, lalu aku menoleh.

"Ya?" tanyaku. Dia kemudian berlutut di depanku, membungkukkan badannya dan kemudian, dia menalikan tali sepatuku. Aku terkejut, lalu dia mendongak sambil tersenyum. "Kamu tuh. Udah besar masih aja tali sepatunya nggak ditaliin," katanya lalu bangkit.

ASKJSDBUIABFIUEG

AKU MATI

Aku hanya memandanginya dengan tersenyum. Dia tersenyum juga. Rasa-rasanya, kakiku sudah tidak bisa digerakkan lagi. "Udah yuk, kita ke kelas masing-masing," ajaknya.

Aku mengangguk.

Sesampainya di kelasku, dia kemudian berkata, "Kamu masuk ya. Yah, kita pisah, deh. Saya jadi pengen sekelas sama kamu."

"Ye," Aku memukul lengannya pelan, "Sana kamu, ke kelas kamu sendiri."

"Eh tapi kan habis ini ada apel pagi," balasnya. Aku mengangkat bahu tak acuh, "Ya terus? Kalau ada apel kamu mau apa?"

"Saya mau kamu deketan sama saya lagi."

"Enak aja," Aku menggerutu.

"Ya udah deh, saya ngambek nih," katanya lalu manyun. Spontan saja aku mencubit pipinya yang gembil itu sambil tersenyum, "Ini ya, anak orang. Bikin anak gadis baik-baik kayak saya kebaperan. Rasain tuh akibatnya."

ethereal • cth ✔Where stories live. Discover now