Prolog

9.7K 627 14
                                    

Siang itu. Di hari dengan langit berwarna biru dan berhias awan seputih salju adalah pemandangan yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua orang. Sayangnya tidak demikian bagi lelaki bermata kelam dengan sebilah pedang tersemat di pinggangnya.

Sepasang jelaganya menangkap hal lain dari kecantikan yang ditampilkan oleh langit. Asap hitam membubung semakin tinggi, seakan berniat untuk memberi noda dan mengubah keindahannya dengan kegelapan. Hitam itu pun berganti. Ada kilatan api yang menggerogoti hampir di semua tempat, melahap habis tanpa segan hingga menjadikan warna oranye kemerahan mendominasi pengelihatannya.

Kombinasi warna itu, serta peristiwa yang terjadi di hadapannya selalu berhasil membangkitkan ingatan yang seharusnya sudah terlupakan sejak lama. Namun sayangnya, tidak pernah bisa ia melakukannya. Gambaran yang kerap ia coba simpan rapat di dalam memorinya merangkak begitu cepat, menyembul dari persembunyian, kemudian berhasil menggolak-galikkan batinnya.

Kejadian di masa lalunya. Kejadian yang menghantui tiap malamnya. Kejadian yang akhirnya mendasari tujuan hidup yang dipilihnya.

Potret memori itu semakin tercetak. Semakin jelas dan turut menyulutkan perasaan benci, duka, serta amarah yang saat ini sedang ia coba kendalikan. Satu hal yang membuatnya terus menahan diri adalah status yang ia miliki.

Ia adalah seorang ronin atau seorang samurai yang tidak bertuan. Tidak mengikuti perintah daimyo atau tuan tanah yang bisa memilikinya. Tidak juga merupakan anggota kesatuan milik shogun mana pun.

Ia tidak terikat. Ia bisa menjadi seorang pembunuh bayaran yang keji tanpa memandang siapa targetnya. Dan keesokannya, ia bisa berubah menjadi seorang pengawal yang harus melindungi sebuah nyawa dengan nyawanya. Bebas, seperti itulah dirinya. Ia bebas memilih pekerjaan yang ingin ia lakukan, dan di luar dari apa yang menjadi tugasnya itu bukan menjadi urusannya.

Seperti saat ini. Pembantaian yang terjadi di sebuah desa seharusnya bukanlah menjadi urusannya. Seharusnya ia terus melangkahkan kaki pergi meneruskan pengembaraannya. Seharusnya ia memalingkan wajah dan menutupi pemandangan di depannya dengan topi jerami yang ia kenakan. Ya, seharusnya begitu.

Namun kakinya terhenti seolah tertanam dalam. Kepalanya menengadah. Tak jauh di depannya ia menyaksikan tubuh-tubuh digantung tanpa adanya kulit yang melapisi. Tragedi yang sama. Merah menyeluruh tubuh. Merah yang menyakitkan. Merah yang membuatnya mual. Merah yang menderitakan hatinya. Merah yang membuatnya marah.

Entah sejak kapan tangannya telah berpindah menggenggam erat pegangan pada ujung handle katana-nya. Antara keinginan kuat untuk membebaskan pedangnya, atau menahan diri dan berlalu pergi.

Ia mengatur napas. Berulang kali hatinya berbisik mengingatkan kalau apa yang sedang terjadi bukanlah urusannya. Namun, sekali lagi, lengking jeritan yang terdengar sampai ke telinganya mampu mengurungkan niatnya untuk tidak peduli.

Jerit penuh ketakutan dan kesakitan itu semakin mengingatkannya pada seseorang. Menenggelamkannya pada ingatan pedih yang menggores perasaannya. Wanita itu meneriakkan namanya. Begitu menderita, begitu putus asa. Tetapi suara yang terlontar kala itu adalah jeritan yang menyuruhnya untuk pergi.

Pergi menjauh dari tempat itu.

Lari bagaikan seorang pengecut.

Kuso!

Samurai HeartWhere stories live. Discover now