[14]

3.1K 483 73
                                    


Hinata mengerutkan kening. Ia pikir Naruto akan memarahinya seperti yang biasa dilakukannya tiap kali Hinata membuat kesalahan. Namun sekarang menegur pun tidak. Pria itu terus saja menatap ke depan, membuat Hinata sebal karena merasa terabaikan. Naruto bahkan tidak menanyakan bagaimana keadaannya. Apa ada yang terluka? Bagian mana yang terasa sakit? Pria itu terkesan benar-benar tak peduli. Seperti bukan Naruto yang dikenalnya.

"Kau marah padaku?" tanya Hinata menuntaskan rasa penasarannya.

"Menurutmu?" Naruto membalas datar, dan mata birunya tetap saja menatap lurus ke depan. Benar-benar.

"Mana aku tahu. Kau saja diam begitu. Kalau memang kau marah, ya marah saja. Kalau memang tidak, seharusnya kau jangan diam seperti ini."

"Apa itu berpengaruh buatmu?"

Kerutan di kening Hinata terpahat makin dalam. "Apa maksudmu?"

Naruto pun menoleh, mengarahkan mata birunya pada Hinata. Akhirnya. Namun betapa terkejutnya Hinata ketika menyadari bahwa sepasang mata biru itu tidak lagi secerah biasanya.

"Aku sudah memperingatkanmu tapi kau tidak mendengarkan kata-kataku," kata Naruto pelan, tetapi anehnya tetap mampu meninggalkan rasa sakit saat mendengarnya. "Lalu sekarang, kau ingin aku memarahimu? Apa kau juga akan mendengarkannya? Atau kata-kataku akan kembali kauabaikan?"

"Aku bukannya mengabaikan kata-katamu! Hanya saja aku, aku hanya ... aku hanya ...." Hinata menatap ke arah lain, ke mana pun asal bukan mata Naruto.

Hinata berpikir keras untuk menemukan alasan yang sekiranya dapat Naruto terima. Namun sekeras apa pun ia mencoba, pada kenyataannya ia memang terlihat mengabaikan perintah Naruto bukan?

Hinata menghela napas. "Sudahlah. Asal tidak ada yang memberitahu pada ayahku, orang tua itu pasti tidak akan tahu. Lagi pula aku tidak apa-apa, hanya mendapat luka kecil, ya tetap sakit, sih, tapi semuanya pasti baik-baik saja."

Hinata memasang senyum manis, tetapi Naruto tidak mengacuhkan, justru mengembalikan pandangnya ke depan. Hinata benar-benar tak mengerti dibuatnya. Naruto tidak pernah memperlakukannya seperti ini.

"Kau tidak marah padaku, kan?" tanya Hinata menuntut. Ia sudah benar-benar kesal dengan sikap Naruto yang terus saja tak memedulikannya.

"Apa aku berhak untuk memarahimu, Hinata-sama?"

Mata Hinata melebar. "Apa-apaan barusan! Kau 'kan tahu aku tidak suka kau memanggilku seperti itu!" Bahkan saat bicara tadi Naruto masih juga tidak menatapnya. "Ya sudah kalau kau memang tidak mau bicara padaku, aku juga tidak akan bicara padamu!"

Hinata mengikuti. Ia arahkan pandangannya lurus ke depan. Memangnya hanya Naruto yang bisa bersikap menyebalkan begitu?

Ditemani keheningan sepanjang perjalanan, mereka akhinya sampai setelah melewati kerumunan dengan mudah. Para anak buah Naruto sudah membukakan jalan. Lagi pula jalanan tadi tidak sepadat sebelumnya karena sepertinya parade patung telah usai.

Sesampainya di kereta kuda istana, semua prajurit serempak membungkuk hormat. Naruto melompat turun dari kuda. Berikutnya menurunkan Hinata, kemudian meminta prajurit yang berdiri di dekatnya untuk mengembalikan kuda yang mereka pinjam sekaligus memberikan beberapa kepingan emas.

Naruto kembali memerintah, "Segera pesan penginapan terbaik di desa ini. Kita akan melanjutkan perjalanan besok."

"Baik, Naruto-sama." Prajurit itu langsung pergi melaksanakan perintahnya.

"Tolong obati wanita itu." Naruto melanjutkan. "Dia dan laki-laki itu telah membantu menyelamatkan Putri Hyuuga. Hari ini mereka adalah tamuku. Jadi berikan pelayanan yang terbaik untuk mereka."

Samurai HeartWhere stories live. Discover now