Tiga

4.6K 536 24
                                    

Saat Sakura membuka mata, ia mendapati kilauan cahaya menyerbu hingga membuat mata hijaunya menyipit. Ia mengerjap seraya mengangkat tubuhnya pelan. Selain merasa sakit di sekujur tubuhnya, matanya juga terasa berat. Seakan membesar. Ah, Sakura ingat sekarang. Matanya membengkak karena ia menangis semalaman bahkan sampai jatuh terlelap.

Dalam hati Sakura merutuk, merasa tak tahu diri karena menangis di depan pria yang sudah menolongnya. Seharusnya ia cukup berterima kasih saja. Seharusnya ia bisa menjaga mulutnya agar tidak sembarangan bicara. Sekarang ia menyesalinya.

Dan Sakura semakin merasa bersalah ketika abu sisa pembakaran adalah hal pertama yang dilihatnya. Setelah itu, mata hijaunya menemukan ilalang, langit cerah yang membentang, dan terakhir adalah tanah lapang.

Aneh? Mengapa tidak juga ia temukan sosok pria yang telah menyelamatkannya? Sakura mulai ketakutan. Mungkinkah karena tangisannya semalam pria itu pergi meninggalkannya?

Apakah tingkahnya semalam sungguh sangat menyusahkan?

Sakura hampir menangis lagi jika saja matanya tidak menangkap sosok pria penolongnya muncul dari balik ilalang. Hatinya lega bukan main. Dan saking gembiranya, Sakura bahkan tersenyum lebar tanpa sadar. Syukurlah ia tidak benar-benar ditinggalkan.

"Ada sungai di bawah sana," kata pria itu ketika berdiri di depan Sakura. Tangan kirinya penuh dengan ranting, sedang yang satunya membawa beberapa ekor ikan. "Jangan lupa bawakan sisa ranting yang ada di dekat sungai kalau kau sudah selesai."

"Hm?" Sakura menelengkan kepalanya. Dahinya berkerut.

Pria di depannya mendecak. "Kau tidak mau membersihkan diri?" Ranting di tangannya kini berjatuhan ke tanah, kemudian pria itu berjongkok di sekitar sisa abu pembakaran bekas semalam. "Kalau memang tidak mau, cukup bawakan saja ranting yang sudah kukumpulkan itu kemari. Setidaknya bergunalah meski sedikit."

Sakura mengangguk, meski pria itu tidak dapat melihatnya. Ia bergegas bangkit dan berjalan menuju ke sungai menuruti perintah pria penolongnya, membawakan ranting termasuk juga membersihkan dirinya terlebih dulu.

Setelah selesai sarapan dengan menu yang sama seperti semalam, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dan serupa kemarin, Sakura berjalan mengekori pria di depannya. Ia menutup rapat mulutnya sehingga hanya keheningan yang ada di sepanjang perjalanan. Bahkan Sakura juga berusaha agar embusan napasnya tidak sampai terdengar ke telinga pria itu. Ia harus tenang dan sebisa mungkin tidak menyusahkan. Diam ... dan ikuti saja.

Namun ada kalanya Sakura dibuat tidak mengerti. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja pria itu berhenti di tepian sungai. Seperti biasa, Sakura baru duduk setelah mendapat perintah. Terkadang mereka duduk sambil meminum air persediaan, tetapi selebihnya mereka hanya duduk saja. Entah duduk untuk menunggu kereta yang lewat atau untuk beristirahat.

Sakura tak yakin tebakan terakhirnya benar. Tetapi masalahnya, ini sudah yang ketiga kalinya terjadi. Bukannya ia juga merasa keberatan. Sakura malah bersyukur pria itu sering berhenti sehingga ia bisa mengistirahatkan kaki. Dan entah apa pun alasan pria itu berhenti, Sakura jadi semakin yakin kalau pria itu memang orang yang baik. Buktinya ia tetap memperhatikan hal yang seharusnya bisa ia abaikan begitu saja. Setidaknya begitulah kesimpulan Sakura.

Setiba sore, mereka akhirnya sampai di sebuah desa. Masih banyak penduduk yang sibuk berlalu-lalang. Namun saat mereka melangkah semakin ke dalam, banyak pula tempat-tempat yang telah tutup.

Sakura sempat berhenti, kepalanya mengikuti anak-anak yang berlarian, sepertinya mereka terburu untuk pulang. Ada juga para wanita yang masih berkumpul, entah membicarakan apa. Pastinya semua hal itu membuat Sakura rindu pada desanya yang telah musnah.

Samurai HeartDonde viven las historias. Descúbrelo ahora