Satu

5.6K 601 9
                                    

Dengan wajah penuh air mata ia terus berlari. Tak peduli dengan alas kaki yang telah terlepas sejak tadi, bahkan sampai menyebabkan luka akibat terkena benda-benda tajam yang berserakan di tanah. Wajah putihnya memucat. Rambut merah muda, yang sewarna dengan kimono-nya, juga sudah basah oleh keringat. Napasnya menderu, merasa udara semakin sulit ia dapatkan. Namun semua itu tidak membuatnya menyerah untuk berhenti.

Tidak. Ia tidak boleh berhenti. Ia harus menyelamatkan diri dan bersembunyi dari serbuan para perampok yang sudah mengepung di titik akses keluar-masuk desa. Tetapi di mana? Di mana tempat persembunyian yang aman untuk dirinya juga ibunya? Karena kini sang ayah beserta para kaum laki-laki di desa mereka telah bersatu untuk memberikan perlawan, yang sebenarnya sangat tidak setimpal mengingat pekerjaan mayoritas penduduk desa hanyalah seorang petani dan pedagang. Mereka sama sekali tidak memiliki bekal ilmu pedang. Bahkan senjata yang mereka gunakan hanya berupa peralatan yang biasanya mendukung pekerjaan mereka.

Di sela-sela pelariannya, ia pun menoleh. Menatap punggung ayahnya yang sudah tidak lagi tegap. Meski begitu, ayahnya dengan sekuat tenaga mencoba melawan. Tangannya terangkat, berniat memukul kepala musuh di depannya. Namun, dengan mudahnya mata pedang samurai itu menembus tubuh sang ayah. Ia nyaris menjerit saat pedang itu ditarik kembali hingga tubuh ayahnya terbanting dengan keras. Lalu, tidak lagi bergerak.

Ayahnya tewas saat itu juga.

Air matanya meleleh semakin banyak. Ia bahkan mengisak kuat. Namun ia arahkan lagi pandangnya ke depan. Bagaimanapun ia tidak bisa berhenti. Ayahnya berpesan untuk terus berlari apa pun yang terjadi. Mereka berdua harus menemukan jalan keluar. Sayangnya bukan semakin cepat, langkahnya justru terhenti ketika ibunya melepas genggaman tangan mereka.

Perempuan itu segera mendekat. "Kaa-san...," panggilnya seraya menatap penuh kekhawatiran. Ibunya terlihat begitu kelelahan. Napasnya terengah-engah dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya.

"Sakura, aku sudah tidak sanggup lagi."

Mata hijau Sakura seketika melebar. "Tapi kita tidak boleh berhenti. Kita harus pergi!"

Sakura memperhatikan sekeliling, mencari tempat persembunyian sementara untuk mereka. Tetapi yang ia lihat justru para samurai yang berhasil memasuki desa dan menyerang siapa saja yang menghadang. Buru-buru Sakura menatap ibunya lagi, tidak sanggup ia menyaksikan tubuh-tubuh yang bergelimpangan semakin banyak.

"Sementara kita sembunyi saja ya, sampai Kaa-san sanggup berlari lagi. Di sana." Sakura menunjuk salah satu rumah warga desa yang berada di dekat mereka.

Sakura bersiap membantu ibunya untuk berjalan, namun kedua tangannya ditahan. Ibunya menggenggam tangannya begitu kuat.

"Kau tidak boleh berhenti, Nak." Wanita tua itu kemudian menarik tangan Sakura. "Ini adalah milikmu."

Dengan tatapan heran Sakura membuka telapak tangan kanannya. Sebuah kalung berbandul kelopak bunga, yang memiliki nama sama sepertinya, berkilat begitu indah. Rantainya berwarna perak dengan batu-batu putih menghiasi sekelilingnya. Menjadikan kalung itu semakin bersinar.

Mata Sakura melebar menatap tak percaya. Bagaimana mungkin ibunya bisa memiliki kalung secantik dan bernilai mahal padahal tempat tinggal mereka terlampau sangat sederhana. Benda seperti ini hanya bisa dimiliki oleh daimyo bahkan mungkin kaisar yang memiliki harta melimpah. Lalu, bagaimana ibunya mengatakan kalau benda ini adalah miliknya?

"Ya, Sakura. Kau bukanlah anak kandung kami. Maaf karena kami terus menyimpan dan menyembunyikannya darimu. Kami pikir kau tidak perlu mengetahuinya karena kita akan hidup bersama selamanya. Tapi sekarang berbeda. Itu, hanya benda itu yang di dalam keranjang saat kami menemukanmu di sungai."

Samurai HeartWhere stories live. Discover now