Day 002

233 3 8
                                    

2018.03.08
The Unrequited Love
Cinta yang Tak Berbalas


15 November 2016

Suara 'bip' pelan membangunkan Seojun dari tidur singkatnya.

Dia meraih ponselnya dari atas nakas dan membaca pesan masuk itu dengan perasaan campur aduk. Dia lelah ---tentu saja--- sebab dia baru pulang tadi subuh dari pesta gila adik sepupunya. Dia ingin mengabaikan pesan itu, tapi bisa saja itu dari bosnya. Atau dari si gadis aneh.

Ya, lagi.

Gadis aneh itu lagi; mengucapkan selamat ulang tahun untuk Seojun-nya. Entah sejak kapan akhiran -nya yang mengganggu itu melekat di nama berharga Seojun. Meski begitu sekalipun Seojun tidak pernah memprotesnya. Ataukah dia sudah terlalu lelah menanggapinya?

Gadis itu, gadis aneh itu. Astaga. Mau sampai kapan dia akan melakukan 'ritual' ini kepada Seojun? Ini sudah berlangsung sejak tujuh tahun silam. Ucapan selamat ulang tahun yang tidak pernah Seojun inginkan.

Gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah teman lama adiknya. Seojun tidak pernah mengetahui namanya, tapi dia hapal nomor ponsel gadis aneh itu di luar kepala. Seperti dia hapal aroma kimchi atau aroma kamper kekasihnya, Seol Yi.

Semua ini mulai terjadi sejak gadis itu melihat Seojun pulang ke rumah orangtuanya tujuh tahun lalu. Sejak itu, gadis tersebut selalu mengiriminya pesan selamat ulang tahun. Benar di hari ulang tahun Seojun. Gadis itu selalu menjadi yang pertama tetapi Seojun tidak bisa merasa senang, jadi selalu mengabaikannya.

Dan hari ini pesan itu dikirimkan lagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan sebelumnya. Dan Seojun tidak pernah tergerak untuk membalasnya; mengucapkan terimakasih atau semacamnya.

15 November 2017

Seojun tidak mendapat cuti. Dia tidak akan pulang ke rumah orangtuanya. Dia sudah cukup pusing dengan biaya sewa tahunan apartemennya, juga rengekan pacarnya yang meminta untuk dinikahinya.

Beberapa botol soju dan daging perut panggang akan menyenangkan, pikir Seojun. Jadi dia bergegas keluar dari rumah sebelum pikirannya berubah. Lagipula hari ini ulang tahunnya. Dia harus merayakannya barang sebentar, sebelum pagi berikutnya menjelang dan menyeretnya ke masa kerja yang sibuk mencekik.

Tapi 'bib' yang menyeramkan itu berbunyi lagi. Seperti yang sudah-sudah.

Dari si gadis aneh. Ucapan selamat ulang tahun untuk Seojun-nya.

Seojun tertawa ---kepada dirinya sendiri, juga kepada gadis itu. Kenapa masih ada yang peduli pada ulang tahunnya ketika kedua orang tuanya bahkan adiknya saja tidak mau tahu? Dia anak yang tidak diinginkan, yang dilahirkan karena salah perhitungan. Mengingatnya saja membuatnya kesal.

Ah, sialan!

Seojun memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Dia mengabaikan gadis itu lagi tahun ini. Seperti delapan tahun sebelumnya.

15 November 2018

Seojun harus pulang ke kampung halamannya; Kota Goyang.

Ibunya merengek memintanya pulang. Bukan untuk memasakkannya sup rumput laut, melainkan mengurus pemakaman Ayahnya. Dia tahu ini akan terjadi, cepat atau lambat. Tapi tidak semendadak ini. Lelaki tua itu 'kan sering sesumbar akan hidup seribu tahun untuk membencinya. Lalu kenapa harus mati cepat-cepat karena sebuah bus sialan?

Keluarganya sibuk ketika dia datang. Ibunya, adiknya, bibinya, neneknya, menangis tidak karuan. Cuma Seojun yang tidak.

Sebenarnya dia enggan tetapi dia harus memberi penghormatan terakhir untuk Ayah yang tidak pernah mencintai dan dicintainya. Dia mulai teringat bagaimana dia diperlakukan selama ini. Juga saat dia keluar dari rumah untuk tinggal di apartemen studio di Seoul. Atau ketika dia pulang lagi untuk ---iseng saja--- menghadiri upacara kelulusan adiknya sembilan tahun lalu.

Seojun mendapat hinaan paling keras, paling menyakitkan, paling memuakkan dari Ayahnya untuk terakhir kalinya. Dia berusaha untuk tidak menangis karena kecewa di depan Ibunya, Adiknya, juga si gadis aneh itu.

Sudah hampir pukul dua belas tengah malam dan Seojun datang menemui Ibunya. Ibunya bercerita bagaimana kecelakaan itu terjadi; bahwa Ayahnya mengantuk tapi memaksakan diri untuk menyetir. Dari arah lain datang sebuah bus yang melaju kencang. Bus dan Ayahnya sama-sama kaget. Lalu panik dan situasi jadi tidak terkendali. Ayahnya tewas, begitu juga dengan separuh isi bus.

Seojun merasa sedih, sedikit, selebihnya dia merasa kecewa. Ayahnya mati karena mengantuk. Atau karena bus. Dua-duanya sama-sama membuatnya tidak habis pikir.

Ayahnya yang katanya akan hidup seribu tahun untuk membencinya meninggal di hari ulang tahun Seojun, dari semua hari.

Selama hampir tiga puluh tahun hidupnya, dia tidak pernah mendapat perayaan ulang tahun dari keluarganya. Sekarang, mulai tahun depan, semua orang di keluarganya akan merayakan hari kematian ayahnya, di hari ulang tahunnya.

Oh, bagusnya.

Memang tidak ada yang memedulikannya. Tidak ada.

Benar...

Tidak ada...

Tidak ada....

Oh, tunggu...

Apa yang hilang dari ulang tahunnya kali ini? Apa? Berpikirlah, Seojun. Apa yang hilang?

"Oppa, kau ingat Jieun?" adiknya bertanya, setengah mengagetkannya.

Seojun menggeleng. Itu pertama kalinya adiknya bertanya padanya dengan nada ramah ---juga sedih. Tapi nama itu sungguh asing, jadi dia tidak bisa menjawab banyak.

Adiknya agak menangis dan bibirnya bergetar-getar.

"Jieun... Dia teman sekolahku dulu. Dia yang datang ke rumah kita sembilan tahun lalu. Yang selalu bilang dia suka padamu..."

Aku mengernyit, tidak tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Aku menemukan namanya dalam daftar korban kecelakaan bus yang meninggal. Dan ibunya memberikan ponsel ini padaku, untuk diberikan kepadamu."

Aku merasakan jantungku seperti diperas ketika menerima ponsel itu.

"Saat ditemukan, ponsel ini menyala. Dan dia sedang menulis pesan ulang tahun... untukmu. Kau bisa membacanya sendiri."

"..."

"Pesan terakhir yang tidak pernah sampai itu..."

"..."

"Maaf aku sudah membaca lebih dulu. Tapi, Oppa, kenapa kau tidak pernah membalas pesan-pesannya selama sembilan tahun ini? Jieun itu... Gadis baik yang pendiam, yang selalu duduk paling belakang, yang selalu menasihatiku untuk mulai bersikap baik padamu. Perasaannya tulus dan sungguh-sungguh. Oppa tidakkah kau bisa melihat itu, sembilan tahun ini?"

"..."

Kata-kataku pergi. Aku rasanya seperti mau mati.

Aku tidak menangis di pemakaman Ayahku, tapi aku menangis karena kabar dari adikku.

Gadis aneh itu...

Seharusnya aku membalas pesan-pesannya dan meneleponnya.

Atau, seharusnya dia tidak perlu merasa kasihan pada anak yang terbuang ini, sembilan tahun lalu. Agar tidak perlu ada rasa sakit yang ditinggalkannya seperti ini.

Andai saja.

965🍃

_

I dedicated this story to myself for having blessed life for 25 years. You've grown up, now.

Happy birthday.

Meraki [ Short Story Compilation ]Where stories live. Discover now