Day 005

81 4 0
                                    

2018.03.11
Food
Makanan


Dia selalu duduk di dekat jendela. Memandang ke gedung perpustakaan tua di seberang dengan tenang seolah tidak ada apapun di dunia ini yang bisa menghentikan nostalgianya.

Ya, lelaki itu sedang mengenang sesuatu sebab kadang wajahnya seperti dipenuhi rindu. Dia akan berdiam diri sampai makanannya dingin, bahkan sering tak disentuhnya sama sekali. Atau kalaupun dia menyentuhnya, dia akan memakannya dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Diam-diam aku selalu memperhatikan hal itu; saat mencatat pesanan atau saat mengantarkan air putih hangat yang diberi seiris lemon. Dia menyesapnya pelan-pelan, tanpa ekspresi dan tanpa selera, seolah air itu atau bahkan semua makanan yang selalu dipesannya tidak mengesankannya dan hanya sekadar hiasan di atas meja. Dia menelan mereka seakan itu adalah sebuah kebiasaan dan dia tidak perlu memakai perasaan saat melakukannya.

Aku agak kesal, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku hanya seorang pelayan ---yang sialnya merasa kasihan padanya. Apa hidupnya sesepi itu sampai tidak ada yang membuatnya berselera? Makanan yang dipesannya ---pasta, pizza, arancini, lasagna atau bahkan tiramisu--- itu dimasak dengan kehati-hatian dan penuh cinta oleh koki andal restoran ini. Seharusnya jika dia memang sebegitu tidak berseleranya pada makanan kami, dia tidak perlu memesan apapun dan langsung mengajukan komplain saja. Memakannya tanpa perasaan seperti itu sangat menggangguku. Sangat.

Dan hari ini dia datang lagi. Memakai mantel cokelat muda panjang yang bersalju di bagian bahu. Dia duduk di dekat jendela, seperti yang kubilang tadi, bertopang dagu menatap gedung seberang sambil menungguku datang membawa air dan menanyakan pesanannya.

Dengan enggan aku menghampirinya. Aku memberikan air lemonnya dan bertanya apakah dia ingin memesan sesuatu.

Telunjuknya menelusuri buku menu. Begitu cepat hingga aku ragu dia benar-benar membacanya. Dia berhenti di sembarang tempat yang telunjuknya mau dan menyerahkan buku menu itu kembali padaku.

Aku mencatatnya sambil menggerutu. Satu porsi arancini. Dia memesan itu kemarin dan beberapa hari yang lalu. Bukan karena dia menyukainya, melainkan karena telunjuk sialannya itu, yang pemalas itu, iseng saja berhenti disana. Dia memilih menunya tanpa benar-benar ingin memakannya. Sekali lagi, hanya karena dia harus melakukannya, supaya dia bisa duduk di tempat ini.

Aku kembali ke dapur, berteriak jengkel pada asisten koki sambil menyebut pesanan lelaki itu.

Hari berikutnya, lelaki itu datang lagi. Saat itu Gaston sedang flu berat dan tidak ada siapapun di dapur kecuali aku yang bisa membantu Erik, satu-satunya koki yang kami punya yang telah menjalankan tempat ini selama lima tahun belakangan.

Lilian, temanku sesama pelayan, memberiku satu pesanan; Osso Buco. Dari lelaki-tanpa-perasaan itu.

Erik menyerahkan menu itu untuk kutangani. Tidak sulit. Osso Buco adalah hidangan yang kupelajari secara singkat saat berkunjung ke Milan beberapa tahun lalu, terbuat dari tulang kaki sapi muda yang direbus perlahan dengan anggur putih dan disajikan bersama sayuran.

Aku mulai memasaknya dengan semangat, bahkan membuat gremolata berbumbu-ku dengan sangat baik. Erik mencicipinya dan terkejut karena aku sangat pandai melakukannya.

Maka dengan semangat itu, aku sendiri yang mengantarkan hidangan tersebut ke hadapan lelaki-tanpa-perasaan itu. Dia mengalihkan sedikit perhatiannya untuk melihat makanan yang kubawa lalu... kembali melihat ke luar jendela.

Meraki [ Short Story Compilation ]Where stories live. Discover now