Day 025

37 4 0
                                    

2018.03.31
Foreclosure
Penutupan


Setelah lima tahun, akhirnya aku pulang ke Bandung, membawa serta anak laki-lakiku. Usianya sudah tujuh tahun. Sebentar lagi akan bersekolah dan aku sudah berencana untuk mengajaknya pindah ke California. Suamiku bekerja disana, akan lebih efisien kalau kami semua ikut pindah.

Maka pagi-pagi sekali, setelah malam sebelumnya mendarat di kota ini, aku mengajak Dimas, putraku, menuruni jalanan yang basah dan berkendara ke pusat kota. Kami akan bertemu dengan Ayah Dimas, mantan suamiku. Dia membuka restoran baru sejak dua tahun lalu dan dia sudah lama mengundangku sejak itu. Hitung-hitung, ini adalah pertemuan terakhir sebelum Dimas ikut bersamaku, terpisah benua dengan lelaki itu.

Aku memantapkan diri, mendorong pintu kaca restoran Danang sambil menuntun anakku. Danang terlihat baik-baik saja, meskipun lebih kurus dari yang pernah kuingat.

"Apa kabar?" tanyaku. Aku menjabat tangannya dan bisa kurasakan dia agak gugup, mungkin karena baru melihatku lagi setelah sekian lama.

"Baik." jawabnya. Dia mengalihkan pandangannya dari wajahku ke arah Dimas, yang berdiri di sebelahku sambil menggenggam tanganku dengan erat.

"Dimas, ya?" Danang bertanya, entah dia tujukan untuk siapa. Aku tidak bisa memberi ekspresi yang lebih baik dari air muka yang agak kesal dengan seulas senyum kecut.

"Ya. Memangnya siapa lagi? Aku gak mungkin mungut anak orang di jalanan menuju kesini." jawabku sambil tertawa sarkastis.

Danang melepaskan 'oh' canggung lalu menyuruhku dan Dimas untuk duduk. Dia bahkan tidak mau bersusah payah untuk basa-basi dengan anaknya selayaknya seorang ayah yang merindukan buah hatinya. Hah, sikap Danang yang begitu benar-benar mengingatkanku pada masa-masa buruk kami dulu.

Yah, Danang bukannya pria jahat yang suka bersikap kasar atau semacamnya. Tapi aku juga tidak bisa bilang dia orang yang sebaiknya baik karena sejarah kami tidak mengijinkanku untuk mengingatnya seperti itu. Kami pernah menikah, tidak lama. Hanya sekitar satu tahun lebih, sebelum akhirnya dia goyah dengan keputusannya sendiri dan lebih memilih mengambil beasiswa kulinernya di luar negeri, meninggalkan aku dan selembar surat cerai. Sebulan kemudian dokter memberi kabar kalau aku sedang hamil lima belas minggu dan saat itu, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi.

Danang pernah bersikap bajingan; menyebutku hamil karena orang lain padahal dia tahu pasti aku tidak akan pernah melakukan hal serendah itu dan cuma dia satu-satunya orang yang meniduriku beberapa bulan sebelum perceraian kami —dan bahkan beberapa minggu sebelumnya. Ketika dia sudah tidak punya alasan untuk mengelaknya dan ketika aku sudah terlalu lelah untuk meyakinkan barulah Danang menghubungiku lagi —lewat surel— dan mengatakan bahwa dia akan bertanggungjawab, tetapi tidak bisa rujuk kembali.

Untungnya, sih, aku tidak menggantungkan harapanku pada omong kosong Danang, sebab baru dua tahun belakangan ini Danang menyanggupi janjinya; setelah usia Dimas tujuh tahun. Aku menerima niat baiknya karena dia memang cukup baik untuk tidak menuntut yang macam-macam dan menerima saja apa yang dia tuai. Sesuai porsinya. Dia toh tidak ikut andil dalam membesarkan Dimas.

Yang jadi menarik adalah, aku sangat terkesan dengan cara Danang menjalani hidup dan menerima keadaannya. Termasuk ketika banyak perempuan tertarik padanya karena predikat duda berduit tanpa 'paketan'. Dia sangat bangga dengan anggapan itu, sampai-sampai hampir terseret arus dan melupakan bahwa benar, dia pernah menyumbangkan spermanya itu untuk membuat seorang Dimas.

"Sudah makan?" tanya Danang, membuyarkan lamunan tepat sebelum aku memikirkan cara yang bagus untuk mempermalukannya. Aku mengangguk.

"Sudah. Terimakasih." jawabku.

Meraki [ Short Story Compilation ]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon