Day 021

34 4 0
                                    

2018.03.27
Stranded
Terdampar

Sudah hampir petang. Jaka mengikat kudanya di bawah pohon, di dekat sungai yang tanah sekitarnya berumput. Kuda jantan itu meringkik kegirangan, lalu mulai menyantap rerumputan itu dengan tenang sementara Jaka turun ke sungai untuk membasuh diri. Bajunya sudah bau keringat karena perjalanan panjangnya hari ini. Tadinya dia pikir, sebelum petang dia sudah akan mendapatkan rusa buruan, namun ternyata sampai sekarangpun dia masih belum bisa menemukan apa-apa. Jangankan rusa, kelinci saja tidak ada.

Sambil bersenandung kecil, Jaka melepas pakaian yang melekat di tubuhnya dan melemparkannya ke bebatuan di tepi sungai. Dibilang sungai, sebenarnya mungkin ini cuma kali yang agak dalam. Meski begitu, airnya mengalir tenang dan arusnya tidak kencang.

Karena sudah terlalu gerah, Jaka tidak lagi menunda untuk menceburkan diri ke dalam sungai itu. Badan Jaka sudah tercelup sampai ke pinggang ketika tiba-tiba sebuah benda hanyut yang terapung dan berayun-ayun mengikuti arus sungai melintas di dekatnya. Dia menangkap benda itu dan memperhatikan. Ternyata sebuah selendang, warnanya jingga.

Tanpa berpikir apa-apa, Jaka segera menyelesaikan mandinya. Setelah kembali berpakaian, dia memasukkan selendang itu bersama sisa bekal makan siangnya ke dalam kain lusuh yang kemudian dia ikatkan pada ujung tongkat kayu kecil dan dipanggulnya di pundak. Dia harus kembali ke desa sebelum larut malam. Sebisa mungkin mencegah dirinya bertemu dengan perampok atau berandalan yang sering berkeliaran di perbatasan desa.

Jaka terus berjalan, mengarah ke hulu sungai agar lebih cepat sampai di jalan setapak. Matanya masih awas mengamati di antara semak belukar. Harapannya untuk menemukan hewan buruan belum padam, sebab dia juga butuh makan untuk beberapa hari kedepan, selain karena dia harus membungkam mulut orang-orang di desanya. Mereka sering menyebutnya si pemalas karena dia tidak pernah mau menyeret pantatnya untuk bekerja di ladang seperti pemuda-pemuda lain.

Ketahuilah, Jaka amat meyakini bahwa dia tidak ditakdirkan untuk bekerja di ladang. Dia akan belajar menjadi sakti dan bekerja di kerajaan. Itulah sebabnya, di hari-hari yang cerah dan bagus seperti ini, dia akan pergi berkelana ke empat penjuru mata angin. Selain karena dia ingin berburu, dia juga ingin mencari pertapa yang bisa dijadikannya guru.

Cuma tinggal beberapa langkah lagi hingga Jaka mencapai hulu ketika wewangian yang semerbak tiba-tiba menyeruak di hidung Jaka. Awalnya dia menduga itu adalah ulah dedemit hutan. Namun kemudian, dia melihat cahaya yang agak menyilaukan dari arah sungai; berpendar dan berwarna kejinggaan.

Jaka memberanikan diri untuk mendekat dan terkejut saat menemukan seorang gadis yang cantik jelita duduk di atas batu besar di tengah sungai sambil menangis. Setan kah? Pikir Jaka.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Jaka keheranan.

Gadis cantik itu menatapnya. Wajahnya begitu bersih dan cantik hingga kedua lutut Jaka terasa lemas tak berdaya. Tidak mungkin ada setan yang secantik itu, Jaka meyakinkan diri. Mungkin dia adalah bidadari, seperti yang sering diceritakan Mbok Randa, ibu angkatnya.

"Aku tidak bisa kembali ke khayangan. Selendangku hilang." jawabnya.

Jaka menduga bahwa selendang gadis itu mungkin benda yang tadi dia temukan. Jaka bisa saja mengembalikannya, tetapi rasanya itu tidak menguntungkan. Maka dengan liciknya, Jaka menawarkan kepada gadis itu untuk tinggal bersamanya sampai dia menemukan selendangnya. Gadis itu setuju.

Dalam perjalanan menuju desa, Jaka yang menuntun kudanya bertanya kepada gadis cantik yang disuruhnya menunggangi kudanya itu.

Meraki [ Short Story Compilation ]Where stories live. Discover now