Day 028

89 5 0
                                    

2018.04.03
Shadow
Bayangan

Josh duduk di sebelahku, dengan wajah frustrasi, tanpa berkata-kata. Senyum pun tidak ada. Padahal dia tidak seperti itu sebelumnya. Apakah karena hari ini adalah hari itu lagi? Seperti hari-hari ketika kencan butanya gagal —setiap waktu?

"Aku bisa pulang sekarang kalau kau mau." tandasku. "Daripada kau cuma murung begitu."

Josh meraih tanganku, mencegahku pergi. Aku memutar mata. Kalau dia memang mau bicara sesuatu, seharusnya dia katakan saja sejak tadi. Sebelum aku muak karena cuma bisa mendengar suara televisi atau suara berisik dari apartemen Bradley —tetangga sebelahnya. Aku sudah dipusingkan dengan pekerjaanku. Jujur saja aku hampir tidak punya waktu lagi untuk meladeninya. Berhubung dia meneleponku dengan suara memelas saat aku sedang di perjalanan pulang, aku tidak bisa bilang tidak dan akhirnya menyeret bokongku kesini. Dan wajahnya sudah begitu, bukannya menyambut temannya dengan senyum sumringah di depan pintu.

"Kalau kau pergi, aku juga akan turun ke pub Si Tua Hank." ancam Josh, setengah merengek.

"Josh, bersikaplah seperti orang dewasa. Kau ini kenapa, sih?" omelku seraya menyentak tangannya yang menahan pergelangan tanganku ke udara. Dia meringis, tapi aku sudah kehabisan tenaga untuk repot-repot peduli dengan tingkah kekanakannya.

Aku mengambil tas bahuku yang tergeletak muram di konter dapur Josh, lalu menyampirkannya. Sebelum aku benar-benar melangkah keluar dari apartemen itu, aku bertanya, "aku serius bertanya padamu, Josh William. Apa kau sudah menemukan jawaban kenapa kau selalu gagal di kencan-kencanmu?"

Josh berbalik. Ekspresi polosnya yang menyebalkan itu —dia selalu melakukannya padaku seolah itu bukan sebuah dosa dan ya, jujur saja itu memang bukan dosa walaupun dia bisa membuatku meninjunya karena merasa jijik berat. "Belum. Kau sudah menanyakannya sekitar empat puluh kali sejak tiga tahun lalu. Dan kau selalu menanyakan setiap kali aku gagal di kencan-kencan itu. Kenapa begitu?"

Aku menghela nafas, agak menahan diri. "Jangan balas bertanya ketika aku bertanya. Sekarang jawab saja!" perintahku.

Josh memejamkan mata, seolah dia sedang berpikir —yang kuharap dia memang berpikir, lalu mata turqoise-nya itu membuka dan dia menjawab, "karena aku sulit menemukan wanita yang kurasa cocok untukku."

Kali ini aku mencondongkan badanku untuk memukul kepalanya dengan keras. "Oh, astaga, Josh. Kau sudah tidak berada di usia dua puluhan lagi. Tahun depan kau sudah empat puluh dan kau masih menggunakan alasan itu lagi —di depanku."

Kulihat Josh mengerang dan bersungut-sungut. "Joanna, plis, kau bukan ibuku. Kenapa kau memperlakukanku seperti anakmu?"

"Karena kau terlalu mengada-ada. Realistis saja. Mana ada perempuan sempurna di muka bumi ini, Josh —kalau aku melihat dari tipemu. Cantik, bokongnya berisi, cerdas, tidak merokok, tidak minum alkohol, punya minat yang sama denganmu, punya setidaknya dua gelar sarjana, mandiri, percaya diri, bisa memasak dan punya rahim yang bagus untuk mereproduksi sekitar lima orang bayi?"

"Itu realistis, kok. Pasti ada wanita seperti itu di suatu tempat di bumi ini. Aku hanya belum menemukannya saja." balas Josh yakin.

Aku menggeram. "Baiklah, Josh! Sesukamu saja. Ingat, jangan menelepon untuk memintaku datang kesini lagi setiap kali kau gagal di kencan butamu, kecuali kau sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku. Kau mengerti?"

Josh mengangguk paham, lalu mengawasiku melenggang menuju pintu. Dia meneriakkan sampai jumpa sementara aku menutup pintu itu dengan suara berdebam. Aku menyandarkan punggungku begitu benda itu tertutup. Menengadah ke langit-langit koridor gedung apartemen itu yang mulai menguning.

Meraki [ Short Story Compilation ]Where stories live. Discover now