Day 010

47 3 0
                                    

2018.03.16
Friendship
Pertemanan

September 2017, Seoul.

Haejin menggeser kotak makanannya, memberikannya pada Dana. Wanita itu mengangkat kepala, menyelipkan sebagian rambutnya yang tadinya berjatuhan di pelipis ke belakang telinga.

"Sudah selesai?" tanya riang.

Haejin mengangguk. Pria itu memandangi Dana dengan pikiran berkecamuk; antara senang karena Dana mengunjunginya dan sedih karena anak itu harus melakukan hal-hal semacam ini lagi untuknya.

"Aku sudah bilang padamu, kau tidak perlu melakukan ini."

Dana mengibaskan tangannya ke udara. "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Aku senang, kok." ucapnya sambil tersenyum tulus.

Haejin mengembuskan nafas. Entah mengapa dadanya selalu merasa sesak setiap kali Dana datang padanya seperti ini. Meskipun Dana tidak mendatanginya sambil menangis, namun justru itulah yang membuat Haejin sangat gelisah. Kapan anak itu akan berhenti berpura-pura baik-baik saja? Memar-memar di tubuhnya mungkin bisa disembunyikan, tapi sorot mata yang dipenuhi ketakutan itu tidak.

"Jun memukulimu lagi?" Haejin bertanya.

Dana berhenti membaca bukunya, terdiam cukup lama.

"Bagaimana kau bisa tahu?" dia mencoba tertawa kecil, tetapi itu malah terdengar menyedihkan di telinganya sendiri.

Haejin menegakkan punggung sembari memasukkan tangannya yang mengepal keras ke dalam saku jubah lab-nya.

"Kita sudah berteman sangat lama, sejak usiamu baru setahun. Aku bisa tahu hanya dengan melihat matamu. Kau tidak bisa membohongiku, Dana." desah Haejin.

"Benarkah? Kalau begitu, pura-pura saja kau tidak melihatnya." Dana menyahut murung.

"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya, 'kan?"

"..."

"Kalau aku tahu kau akan menderita seperti ini, seharusnya dulu aku tidak usah membantu supaya laki-laki itu menikahimu."

Dana mendengus. "Sudah terjadi. Dia juga sudah berhenti mengungkitnya setiap hari. Mengataiku perempuan penggoda, perempuan menjijikkan, monster..."

"Harusnya kupatahkan saja batang lehernya biar dia tahu rasa." Haejin memukul udara dengan tinjunya. Sangat kesal.

Dana tersenyum kecil. Tetapi bahkan senyuman itu hanya bertahan beberapa detik. Setelahnya, dia sudah kembali murung.

"Kalau kau bersedih..." Haejin mengelus punggung Dana. "Aku merasa seperti ada segumpal tumor di hatiku. Sakit sekali." dia menelengkan sedikit kepalanya untuk kemudian menyeka airmata Dana.

"Kenapa ada laki-laki sebaik dirimu sementara ada juga yang sejahat Jun?" wanita itu bertanya lirih.

"Tidak adil kalau kau memiliki keduanya. Seperti ini akan terlihat lebih manusiawi."

Dana tersenyum tipis. Dia menghela nafas, menatap Haejin dengan kerinduan yang jelas. Dia memberanikan diri untuk menyentuh rahang Haejin seperti yang dulu sering dilakukannya. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di permukaan kulit itu karena Haejin terlalu sibuk untuk mencukurnya, tetapi Dana menyukainya. Dana menyukai segala hal tentang Haejin; kepribadiannya, tubuhnya, keberadaannya, termasuk kebodohannya.

Kebodohan laki-laki itu yang tidak pernah menyadari betapa Dana hanya mencintai dirinya; sejak dulu, sekarang dan selamanya. Kebodohan yang menjerumuskan Dana ke neraka pernikahan. Kebodohan yang sama yang mengikat wanita itu pada orang sinting bernama Jun.

Haejin menatapnya juga. Dengan cara yang sama seperti biasanya. Lembut, penuh kasih sayang dan ramah. Andai saja... Andai sedikit saja ada nafsu yang terlihat walau sekelebat dalam sorot mata Haejin, mungkin Dana akan mengatakan tentang perasaannya saat ini juga.

Tetapi seringkali pemikiran seperti itu hanya menyakiti Dana. Haejin tidak pernah melihatnya sebagai wanita; bahkan saat tubuh mereka bersatu di suatu ketika. Sesungguhnya, sebenarnya, baik Jun maupun Haejin sama-sama tidak menginginkan Dana. Mereka sama saja. Yang berbeda adalah Dana terlalu membenci Jun sedangkan dia tidak sanggup membenci Haejin untuk alasan yang sama.

"Bagaimana jadinya hidupku jika suatu hari nanti kau menikah?" Dana bertanya.

"Kenapa bertanya?" balas Haejin. "Kau akan tetap menjadi adik kecilku dan teman baikku seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada yang berubah."

Tidak ada yang berubah...

Dana melepaskan tatapannya dari Haejin dan mengalihkannya ke pemandangan di depan mereka. Ada sebersit rasa kecewa di hati Haejin saat Dana melakukannya, seolah dia tidak ingin wanita itu berhenti menyeretnya masuk ke dunia seorang Dana yang berbeda. Ke dunia wanita yang tidak pernah mengetahui bahwa Haejin menyukainya, bahwa Haejin masih mengingat pelukan Dana yang hangat. Dan segalanya.

"Benar..." ucap Dana. Kosong, tanpa rasa. Tidak tahu ditujukan untuk siapa.

_

Januari 2013, Busan.

"Oppa, mungkinkah... Jika kita tidak pernah berteman, jika aku bukanlah gadis kecil yang memberimu permen kacang di sudut sekolah, jika aku bukan tetanggamu... Mungkinkah, kau akan jatuh cinta padaku?"

Haejin mengerjap, mencari apa saja yang bisa menjadi fokus lain selain wajah polos Dana. Melihatnya terlalu dekat seperti ini, mengingatkannya pada festival. Semarak. Jantungnya, hormonnya, perasaannya. Bahkan sentuhan kulit Dana pada tubuhnya seperti bahan bakar yang menyiksa, yang membuatnya harus memikirkan cara lain untuk meredam pikiran kotornya.

Dia juga butuh bernafas, atau hasratnya akan mengambil-alih saat mereka belum selesai membicarakan kesepakatan.

"Aku..." Haejin menjawab pertanyaan Dana yang hampir dilupakannya. "Aku... Tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu."

Haejin merasakan pelukan Dana melonggar di atas kulitnya. Wanita itu menjaga jarak beberapa senti, tampak kesal namun merona menggemaskan di saat bersamaan.

"Benar..." ujar Dana. "Kau mau melakukan ini karena kau tidak punya perasaan padaku sebab jika tidak, kau pasti sudah menyebutku gila."

Haejin yang bodoh mengangguk. "Kau benar." katanya.

Tidak, dia salah.

Mana ada teman yang bersedia meniduri temannya sendiri hanya karena teman yang malang itu akan bunuh diri jika pernikahannya dibatalkan? Jika bukan karena rasa sayang, jika bukan karena hasrat, Haejin tidak tahu lagi harus bagaimana menyebutnya.

830 🍂

Meraki [ Short Story Compilation ]Where stories live. Discover now