Curhat Masal

677 68 6
                                    

Aku mengeluarkan adonan isi dumpling dari food processor. Dengan isi ini, bisa jadi berbagai "emergency food" (Ji, pinjem istilahnya ya hehehe). Pertama bisa dibuat gyoza, ini juga bisa di rebus, di kukus atau di-pan fried (apa sih istilahnya di bahasa Indonesia? Pokoknya di goreng pakai minyak sedikit banget gitu deh..). Kulit gyoza itu lebih tebal dibanding kalau kita mau buat wonton atau siomay, gak gampang sobek waktu dipilin-pilin.

Terus nanti aku buat wonton yang nanti bisa dibuat soup atau digoreng untuk teman makan mie ayam. Lumayan lah, dengan bikin beginian, tentu mereka bisa lebih hemat.. karena gyoza satu bijinya itu satu dolar, padahal kalau bikin sendiri, modal 20 dolar bisa jadi 50an gyoza bahkan kalau daging lagi murah, bisa lebih murah lagi.

"Kak Lan... Lo kenapa deh, gak hidup kayak anak orang kaya yang lain?" Tanya Aji tiba-tiba.

"Maksudnya?" Aku mengerutkan dahiku.

"Hmm.. Gimana ya, siapa sih yang gak kenal bokap lo, pemilik rumah sakit besar yang cabangnya udah banyak. Nyokap lo juga usaha kateringnya maju banget. Tapi, kok lo milih hidup biasa-biasa aja di sini?"

"Yang kaya kan mereka, gue mah kalau gak disubsidi mereka juga jadi gelandangan di sini hehehe"

"Emang lo dikirimin uangnya sedikit?" Tanya Fira.

Aku menggeleng.

"Gini ya, gue ke sini itu mau cari pengalaman. Gue pikir kalau gue tetap hidup dengan segala fasilitas dari bokap yaa sulit buat gue dapat pengalaman hidup yang berharga karena yang gue tau yaa hidup itu mudah. Gue gak akan tau rasanya punya flatmates, gue gak akan tau gimana susahnya jadi waitress, gue gak akan tau gimana rasanya ngatur uang supaya cukup sampai kiriman berikutnya datang..." Fira memotong penjelasanku.

"Nah...itu yang gak masuk akal buat gue, emangnya lo kayak kita-kita yang ada istilah akhir bulannya? Pasti kiriman lo lebih banyak dari kita kan? Ngapain juga lo harus kerja part time?"

"Iya.. Awalnya bokap nyokap gak setuju gue sengaja nyari susah di negeri orang, tapi ketika tau alasan gue, mereka terima. Tapi bokap ngajuin syarat, dia tetap kirim enam ribu dolar sebulan, karena dia anggap itu kewajiban dia sebagai bokap karena dua kakak gue udah gak dia kasih uang lagi, mereka udah punya uang sendiri, jadi ibaratnya itu jatah mereka dilimpahin ke gue. Tapi gue gak mau pakai itu semua, makanya gue nanya kan ke kalian, sebulan biaya kalian berapa? Bisa nabung apa enggak, ternyata dengan kiriman kurang dari setengah jatah gue, kalian bisa happy. Gue mau ngerasain itu. Bahagia yang bukan karena banyak uang."

"Makanya lo sering royal ke kita-kita? Karena gak mau ngabisin itu sendirian?" Tanya Aji.

Aku mengangguk.

"Bokap pernah maksa lo buat nerusin ngurus rumah sakit gak?"

"No. I am so fortunate to have such cool parents ever! Mereka gak pernah maksa kami anak-anaknya harus nerusin usaha mereka. Dan mungkin karena mereka baik, Tuhan juga berbaik hati sama mereka, kakak pertama gue Teh Tika suka banget masak, tadinya dia mau ambil jurusan perhotelan atau apaa gitu yang berhubungan sama kuliner, tapi akhirnya dia ambil jurusan ilmu gizi biar kompeten ngurusin katering rumah sakit juga. Jadi nyokap bisa tenang karena sekarang katering udah dipegang Teh Tika."

"Kakak kedua gue, A Denis, ternyata dia minat dibidang kedokteran, sekarang jadi dokter bedah, bokap bisa tenang karena urusan medis ada yang bisa handle."

"Jadi nanti yang pegang manajemen lo dong ya?" Aji makin kepo. Heran, ini anak curut satu, kalau udah kepo bisa satu tingkat di atas emak-emak komplek begini. Huh!

"Belum tentu juga sih... Eh, Fir ambilin kulit gyozanya di kulkas deh! Bukaan...bukan yang kuning, itu buat siomay nanti, yang putih itu tuh di rak yang atas"

WellyLoveWhere stories live. Discover now