Love In Silent-10

325 17 0
                                    

Author POV

Hari ini adalah pendaftaran mahasiswa di salah satu Universitas negri di kota tempat tinggal Ray. Dia menggunakan jalur undangan dari sekolahnya dulu.

Ray memang siswi yanv tergolong pandai dan memiliki pengetahuan diatas rata-rata. Jadi sudah biasa jika dia mendapat jalur undangan untuk kuliah di unversitas negri terkenal.

Biaya untuk 2 semester ini gratis, jadi Ray hanya harus mencari sedikit tambahan biaya untuk membantu orang tuanya. Wajar saja, Ray bukan berasal dari keluarga kaya.

Ayahnya hanyalah seorang kurir surat. Sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga. Tapi mereka selalu bahagia memsyukuri apa yang ada.

Tetapi tetap saja Ray ingin membantu orang tuanya. Dia melamar pekerjaan kesana kemari tapi hasilnya masih nihil. Kali ini dia memantapkan langkahnya menuju ke sebuah kafe yang cukup padat.

Awalnya dia ragu, tapi bayangan orang tuanya seperti memberinya semangat. Diapun akhirnya duduk disini. Di tempat dimana semua orang berkumpul untuk makan siang.

"Permisi mbak, saya dengar disini ada lowongan pekerjaan ya mbak?"

"Iya mbak, tapi cuma jadi pelayan biasa bukan koki atau pelayan koki."

"Oh iya mbak gapapa. Kalo boleh saya daftar." balas Ray penuh semangat sambil menyodorkan map merah berisi persyaratannya.

Ray melangkahkan kakinya sangat pelan namun pasti. Dia ingin sekali mendapat pekerjaan itu untuk membantu orang tuanya.

And.. Finally... Dia diterima dan mulai kerja besok pagi.

Dia teramat sangat bahagia dengan ini. Dia bisa membantu orang tuanya walaupun tidak seberapa.

Baru saja akan menelpon orang tuanya ternyata nama ibunya sudah tertera di layar ponselnya.

"Holaa madre,ada apa?"

"Ray, sayang kamu pulang sekarang ya." suara ibunya serak.

"Ada apa bu? Ray punya kabar gembira untu,-"

"Ibu tunggu di rumah."

Tuuttt....

Ray menghela nafas berat. Jantungnya berdegup sangat kencang. Pikirannya mulai kacau kemana-mana karena mendengar suara ibunya yang sangat serak.

Seperti habis menangis. -batinnya.

Dia melangkahkan kakinya mencari angkutan umum menuju ke rumahnya. Untung saja hari ini banyak angkutan yang lewat.

"Makasi pak" ucapnya sambil menyodorkan lembaran uang.

Dia melangkah mantap menuju ke gang rumahnya yang tergolong sempit. Jantungnya seakam berhenti berdetak saat bendera kuning bertengger dengan indahnya di atas rumahnya.

Matanya mulai mengeluarkan bulir putih saat melihat tetangganya mengeluarkan meja kursi di rumahnya.

"Ray, kamu harus sabar ya." ucap Adit sambil menepuk pelan bahu Ray.

"Sabar? U... Untuk apa? Hah maksud kamu apa dit?"

"Ayah mu,-"

"Enggak gak mungkin!! Gak mungkin!! Ayahhhhhh"

Gadis berambut hitam panjang itu berlarian tunggang langgang masuk ke dalam rumahnya. Dia menjerit dan menangis sejadi-jadinya saat melihat tubuh rentan ayahnya terbaring lemah di lantai dan ditutupi kain.

"Ayah!! Kenapa ayah pergi. Nggakk ayah pasti cuma bercanda kan? Iya kan ayah? Ayo bangun ayah ini gak lucu. Ayah!! Ayahh hikss ayahh hikss."

Gadis itu mencoba menggoyangkan tubuh pucat ayahnya. Tapi apa daya, tuhan berkehendak lain. Ayahnya tak akan kembali beliau pergi selamanya.

Orang-orang di tempat itu termasuk bunda Ray sangat panik. Karena tiba-tiba tubuh mungil Ray yang sedari tadi menangis meronta-ronta menjadi diam.

Orang-orang disekitarnya mencoba membangunkan nya tetapi tak ada reaksi sama sekali.

Dia pingsan.

Athaya. Lelaki itu menggendong tubuh mungil adiknya ke kamar. Matanya yang sembab kembali berurai air mata.

Dia sangat tau betul karena dia,  ayahnya sangat membenci nya. Karena dia, adik kecilnya harus pergi untuk selamanya. Karena dia, Ray tidak bisa menikmati hidup yang serba ada.

Dia membelai rambut hitam Ray. Mencium puncak kepalanya dengan penuh penyesalan. Ingin rasanya mengulang moment berharga bersama keluarga yang telah membesarkannya.

Namun sudah terlambat. Egonya yang besar melupakan kasih sayang yang diberikan keluarga itu sejak dia bayi.

Dia meruntuki dirinya sendiri karena tak bisa menjaga keluarganya. Dia bahkan sempat membenci ayahnya. Padahal hanya ayahnya yang peduli denga keadaan bundanya saat itu.

Papa? Papa kandungnya itu sama sekali tak peduli dengan dirinya. Dari dulu hingga saat ini.

"Ayah aku janji aku akan menebus semua kesalahan ku. Aku akan menjaga permata kita satu-satunya." ucap Atha disela tangisnya.

Ray mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia melihat wajah tampan itu sekali lagi.

"Atha." pekiknya.

Dia menjauhkan dirinya dari Atha.

"Iya Ray. Ini kakak. Kakak kangen sama kamu. Sama ibu sama.. Ayah."

"Kangen? Kangen pengen ngeliat kita susah kak? Kemarin-kemarin kemana aja heh? Baru sekarang saat kematian ayah, kakak ke sini."

"Oh. Atau jangan-jangan kamu yang membunuh ayahku? Iya? Dasar kamu. Atau kamu ingin mengucapkan selamat atas meninggalnya ayahku?  Pergi kamu dari sini!! "

"Ray maafin aku Ray. Semua salah kakak. Kakak paham kamu benci sama kakak. Tapi kakak mohon, beri kesem,-"

Plakk

"Beraninya kamu meminta kesempatan kedua setelah masalah yang kamu buat hah?!!"

Ray menampar kakaknya.

Athaya beringsut menjauh dari Ray. Dia paham akan semua kemarahan adiknya itu. Apalagi saat adiknya tau bahwa dialah penyebab ayahnya meninggal.

Athaya melangkah menjauh dan berusaha menghapus air matanya yang berkali-kali jatuh.

Pertahanan dan harga dirinya sebagai seorang laki-laki yang pantang menangis pun seakan tergadaikan dengan mudahnya saat melihat api kebencian di mata Ray.

Tangan lembut bundanya menghapus air matanya yang turun.

Dia memaksakan seulas senyum di bibirnya. Padahal hatinya berkata lain.

"Eh bunda."

"Atha, kamu harus tahan ya menghadapi sikap adikmu. Kamu tau dia,-"

"Aku tau bun. Itu semua kesalahan aku yang meninggalkan kalian semua di saat kalian mungkin butuh aku. Aku juga penyebab Delia kita meninggal. Dan sekarang aku penyebab ayah pergi juga."

"Enggak atha. Ini semua sudah takdir. Ayah kamu meninggalkan kita bukan gara-gara kamu, tetapi penyakitnya."

"Tapi bun. Coba aja aku bisa kontrol emosi aku dan gak ngungkit masa lalu, pasti ayah gak kena serangan jantung dan pergi kayak sekarang, bun. Maafin aku bun."

Athaya berjongkok dan mencium kaki ibunya. Dia sangat menyesal karena sekali lagi dia kehilangan orang yang dicintainya karena ulahnya sendiri.

Sementara itu, Ray yang menguping pembicaraan kedua orang itu hanya bisa terduduk lesu dan menangis meratapi semua yang terjadi.

Dia bahkan menanam dendam yang besar terhadap Athaya, kakak se-ibunya.

Dia tak menyangka bahwa dia akan kehilangan kedua orang tersayang karena Athaya.

"Benar kata ayah. Athaya itu licik seperti mafia. Saat dia kembali semuanya akan hancur tak bersisa. Lihat saja atha, tunggu pembalasanku."

-ucap Ray disela isakannya.

Love In Silent(END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt