Bagian 45 - Pacar

935 67 1
                                    

Avery

Ia tak mengucapkan apapun, kami dikelilingi oleh mood canggung. Aku tak berani melihatnya. Tapi aku memberitahunya yang sejujurnya, ia masih membullyku dan membuatku merasa buruk. Satu kencan tak akan menyelesaikan apa yang telah ia lakukan. Ia masih tak ku maafkan, ku rasa ia tahu itu. Aku takut kalau ia marah akan jawabanku.

"Oke...aku paham," gumamnya dalam hati. Aku mendongak padanya dan melihatnya menunduk ke tangannya. Apa ia pikir aku akan menjawab ya?

"Harry hanya saja-"

"Aku bilang aku paham" bentaknya dengan suara keras membuatku terhentak. Aku melihatnya dengan mata terbelalak dan mulutku sedikit terbuka.

"Maaf, Avery aku tak bermaksud untuk membentakmu seperti itu" ia melihatku seksama. Melihat ke mata seseorang membuatnya terasa sangat intim, apapun yang mereka bicarakan. Aku memberinya senyum kecil.

"Aku ingin menjawab ya tapi memori akan apa yang terjadi beberapa minggu lalu membuatku menjawab tidak. Maaf Harry. Tadi malam sungguh luar-biasa dan aku tak akan melupakannya, terimakasih banyak" aku melihatnya dan ia tersenyum.

"Bukan kau yang seharusnya meminta maaf, aku bersikap seperti bajingan terhadapmu, tadi malam saat kita duduk tertawa, berbincang dan melupakan segalanya itu terasa nyaman. Saat kita berciuman, aku menyesali segala hal yang telah ku ucapkan dan lakukan terhadapmu. Aku akan sangat terkejut jika kau akan memaafkanku setelah itu tapi kau adalah perempuan keren, manis dan cantik juga mudah diajak berbincang pada waktu yang sama" kalimatnya membuatku tak dapat berkata-kata. Setelah semua waktu luar-biasa bersamanya dan kalimat manis hanya ada satu hal di otakku.

"Aku memaafkanmu Harry" kepalanya mendongak, mata melebar dan tersenyum. Mulutnya terbuka seolah ia ingin mengatakan sesuatu tapi tertutup beberapa detik setelahnya.

"Benarkah?" ia tersenyum, memberikan pertunjukkan lesung-pipit sepenuhnya.

"Ya hanya saja dengan satu syarat" ucapku dengan nada serius dan ia mengangguk selagi senyumnya memudar.

"Jangan pernah lakukan hal seperti itu lagi karena lain kali kau tak akan mendapat belas-kasihan" ia mengangguk dan kembali tersenyum.

"Aku janji" ia mendekatiku dan memelukku. Aku terkejut akan aksinya tapi membalasnya. Ia kembali berbisik 'aku janji' selagi memelukku. Aku tersenyum, terasa benar dan hanyalah waktu yang akan menjelaskan apakah aku melakukan hal benar atau salah.

"Jadi maukah kau menjadi pacarku sekarang?" ia melihatku memelas dan aku meleleh.

"Kau tidak ingin menyerah ya?" aku terkekeh, ia mengikuti, dan menggeleng.

"Mungkin bukanlah seorang pacar yang berciuman dan berpelukan tapi pacar seperti aku sebagai seorang perempuan dan kau seorang teman, teman perempuan bagimu" ia tertawa akan jawabanku dan aku mengikuti. Aku tak siap menjadi pacarnya dan mungkin tak akan pernah, hanyalah waktu yang dapat menjelaskan.

Kami berjalan ke pintu keluar kedai. Harry berjalan di depanku dan tak lama aku merasakan tangannya mencengkeram tanganku. Aku mengernyit.

"Dan pacar yang bergandengan tangan?" tanyanya dengan nada lugu dan memelas. Aku tertawa akan kelucuannya.

"Ya, pacar yang bergandengan tangan" senyumnya tak ternilai dan itu membuat senyumku semakin melebar. Kami memasuki mobil dan selagi kami menyetir aku sadar, ini hari Senin. Kita tertinggal sekolah.

"Harry, kita tidak sekolah hari ini!" ucapku terkejut dan ia terkekeh.

"Ya, tapi tak apa aku men-sms Liam pagi ini untuk bilang pada Sophia kalau kau sakit jadi tak dapat datang hari ini"

Mataku terbelalak, pria ini gila. Aku tak tahu harus mengatakan apa, baiklah aku sakit beberapa kali di sekola tapi bukan karena alasan ini, itu sangat berbeda. Ia berhenti di luar rumahku dan aku tahu rumahnya kosong. Aku menengok pada Harry lalu bibir kami langsung tertubruk. Kami segera melepasnya dan aku melihatnya terbelalak namun ia tertawa.

"Harry, mengapa kau menciumku?" ujarku terkejut dan ia kembali tertawa.

"Tidak. Aku seharusnya memberimu ciuman selamat-tinggal di pipi dan wajahmu memutar jadi secara tak-langsung kau yang menciumku. Tapi sayang jika kau ingin menciumku bilang saja" aku merona selagi terkekeh pada suaranya yang berbicara.

"Harry!" aku mencoba agar tenang. Kami hening dan aku membuka pintu.

"Tunggu, aku tak mendapatkan pacar yang memberikan ciuman pipi selamat-tinggal" kekehnya dan aku mengikuti. H mengisyaratkanku untuk mendekat dan aku mematuhinya. Ia mencium pipiku.

"Dah, sampai jumpa besok di sekolah"

"Sampai jumpa"

~~~~~~~~~~~~

The Senior (Indonesian Translation)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang