15. Menuju Kediaman Diwangkara

665 67 5
                                    

Happy weekend.

Enjoy reading.



Gue lebih banyak diam pagi ini karena telepon dari nenek, ibu dari Abah kemarin sore.

Ia ingin gue menemuinya di rumah keluarga Diwangkara, entahlah, gue belum bisa sepertinya bertemu keluarga besar Abah.

Tapi nenek ingin gue kesana sore ini, atau ia akan datang kemari, aneh benar sifat nenek satu itu, tukang paksa.

"Dam, kamu kenapa Nak?"

Suara lembut Mama Setyawati membuat gue menengadahkan wajah.

"Tidak apa - apa Ma," ucap gue pelan.

"Lu dari tadi makanan di pandangi, nggak suka roti, mau Mak bikinan apa?" ujar Mak Salmah ikut bersuara.

Gue melihat semua orang di ruang ini mamandangi gue, dan gue baru sadar.

Menjadi pusat perhatian karena tingkah aneh gue membuat apa yang akan gue sampaikan meragu untuk terucap.

"Apakah semuanya nanti sore ada waktu?" tanya gue pelan.

"Mak kan nggak punya kerjaan, ada pasti waktu," ucap Mak Salmah.

"Ada apa Dam?" tanya Bang Jaya yang mulai aktif kerja belakangan ini.

"Gue ajak kalian ke rumah besar keluarga Diwangkara," ucap gue hati - hati.

Semua terdiam menatap gue, keheningan ini menyiksa, bingung mau mulai dari mana.

Gue menghela napas sebelum mengeluarkan isi kepala, dengan was - was gue mulai bicara.

"Kalian semua keluarga Damar, jadi jika nenek maksudnya Ibu dari Abah mau menerima Damar sebagai cucunya maka harus menerima kalian semua sebagai keluarga juga," ucap gue tenang.

Semua mata menatap gue tidak berkedip terhadap apa yang terucap dari bibir gue.

"Damar, Mama dan Abang mu sudah cukup kamu akui sebagai keluarga, kami tidak rakus akan pengakuan," ujar Mama lembut.

Bagaimana menantu sah dan orang sebaik Mama dibuang dari keluarga Diwangkara, sepertinya memang harus gue yang bisa membuat perubahan.

"Jadi bisa temani Damar buat ke rumah itu?" ucap gue pelan.

"Abang akan temani, lu tenang saja Dam!" ujar Bang Jaya sambil mengulas senyuman.

"Terima kasih, Bang Jaya," ucap gue tulus.

"Mak juga akan menemani lu," Ujar Mak Salmah semangat.

Gue menoleh ke Mama Setyawati dan beliau menganggukkan kepala, ketika gue menatap Kak Aryati yang pagi ini tambah cantik, membuat gue hilang fokus.

Bang Jaya tiba - tiba merangkul pundak Kak Aryati, ia menoleh karena terkejut dengan ulah spontan suaminya itu.

"Isteri cantik Abang tentu ikut, Dam," kata Bang Jaya dengan seringai jahilnya.

Gue mencibir, apa Abang Jaya nggak berpikir untuk menjadikan Kak Aryati, isteri sesungguhnya.

"Pamer," ucap gue sambil mendengus.

"Lu iri Dam, ya sudah ngomong sama Mak, cewek mana yang ingin lu lamar?" ujar Mak Salmah santai.

Gue langsung melotot ke arah Bang Jaya, gara - gara dia, Mak Salmah jadi salah tangkap, sedang Bang Jaya menatap gue meminta maaf.

"Apaan lamar, gue belum ada calon, Mak," ucap gue kesal.

"Makanya cari, asal dianya baik, Mak setuju - setuju aja, ya kan Mbak?" ujar Mak Salmah.

Catatan Anak Pelacur (Selesai)Where stories live. Discover now