22. Janji Harus Ditepati

579 51 9
                                    

Kepercayaan itu mahal, maka tepatilah bila engkau telah menjanjikan sesuatu kepada seseorang.

Enjoy reading.




Gue segera menyeret Bang Jaya dari resto, Bang Jaya berusaha melawan tapi tentu saja gue yang menang, dengan paksaan tentunya dan sedikit ancaman kalau gue nggak mau nikahi Kak Aryati, Bang Jaya akhirnya mengikuti gue, walau dengan lesu.

"Mau kemana Dam?" tanya Bang Jaya.

"Menemui seseorang," ucap gue tenang.

"Apa hubungannya dengan gue?" tanya Bang Jaya tidak sabaran.

"Sudah ikut saja, nggak bakal menyesal ikut apa kata gue!" ucap gue.

"Dam, gue sedang banyak kerjaan dan lagi Rani tidak masuk kerja," ujar Bang Jaya lelah.

Gue diam saja, saat ini ada yang lebih penting dari berkas - berkas resto yang seperti tidak ada habisnya, kalau habis tentu saja berarti resto bangkrut.

"Kemana kita?" tanya Bang Jaya lagi.

"Tenang saja, Bang Jaya pasti senang," ucap gue mantap.

"Terserah lu, Dam, apa kata lu saja," ujar Bang Jaya.

Gue lalu mengarahkan mobil ke tempat yang sejak semalam ingin gue datangi, tempat dimana semuanya akan dimulai.

Mungkin ini adalah kesempatan langka dan tersulit yang pernah gue capai, semoga semuanya jauh lebih baik ke depannya bagi kami sekeluarga.

"Kenapa kemari?" tanya Bang Jaya.

"Ayo turun!" ucap gue.

Saat ini kami telah tiba di tempat yang gue maksud, rumah sakit dimana pasien sedang dirawat, pendonor yang dengan suka rela ingin menyerahkan jantungnya buat Bang Jaya.

Di lobby rumah sakit besar ini, gue bertanya tentang dokter Pratama, dokter jantung yang memberi tahu bahwa ada pendonor buat Bang Jaya.

Terima kasih nenek Sulis dengan relasinya yang luas sehingga gue bisa secepat ini mendapat pendonor yang sesuai dengan Bang Jaya.

Gue dan Bang Jaya ditemui dokter Pratama di lobby dan sepertinya ia sangat segan pada kami, ternyata pemilik rumah sakit ini masih ada hubungan saudara dengan nenek Sulis, walau hanya saudara jauh.

"Terima kasih telah datang ke rumah sakit kami, Pak Damar," kata dokter Pratama.

Dokter berambut putih semua itu lalu menyalami gue dan Bang Jaya dengan sopan, kelewat sopan malah, sudahlah, yang penting secepatnya urusan ini segera beres.

Kami kemudian menggunakan lift khusus untuk ke atas, ke tempat pasien yang akan mendonorkan jantungnya buat Bang Jaya.

Biasanya pendonor dan penerima tidak saling mengenal ataupun diperkenalkan, gue juga heran kata dokter Pratama justru tiba - tiba pasien minta menjadi donor buat Bang Jaya dan ternyata cocok.

"Tunggu!" seru Bang Jaya.

Kami tidak jadi melangkah setelah keluar dari lift karena seruan Bang Jaya.

"Ada apa Bang?" tanya gue.

"Lu cerita ke gue, ini ada apa?" ujar Bang Jaya bingung.

Aduh, bodohnya gue sampai lupa memberi tahu tentang semua ini ke Bang Jaya.

"Ada pendonor buat Bang Jaya dan ternyata cocok," ucap gue.

"Lalu?" tanya Bang Jaya masih bingung dengan situasi ini.

Catatan Anak Pelacur (Selesai)Where stories live. Discover now