17. Hidup Baru Lagi

619 62 7
                                    

Happy, I hope so.

Enjoy reading.

Pagi - pagi gue harus disibukkan dengan penjemputan dari nenek Sulis, ia bahkan ikut menjemput, kenapa tidak sopir saja atau gue naik mobil gue, sudahlah dari pada berdebat dengannya.

"Damar, nanti ada pengenalan diri mu kepada seluruh pimpinan hotel dan resort dibawah bendera Diwangkara," ucap nenek Sulis.

Gue hanya mengangguk kemudian menatap jalanan, apa ini yang tiap hari Abah kerjakan, terkekang dengan jadwal padat sebagai seorang Diwangkara.

"Damar, kamu akan mendapatkan apapun, Oma pastikan itu, kamu hanya tinggal tampil di publik agar Diwangkara Group stabil," ucap nenek Sulis.

Gue menoleh dan mengangguk, semua sudah diceritakan Om Utoro secara garis besar, entah berapa besar Abah menggaji Om Utoro sehingga ia adalah pengacara sekaligus tangan kanan Abah.

"Kamu tidak nervous atau mungkin biar Oma yang akan bicara nanti!" ucap nenek Sulis lagi.

Gue biasa saja, apalagi setelah mendapat pemberitahuan dari Om Utoro, apa - apa yang musti gue lakukan dan macam - macam aturan serta wewenang gue sebagai Diwangkara.

"Mungkin ini baru bagi mu sehingga kamu agak nervous, gugup untuk yang pertama kali adalah biasa," ucap nenek Sulis.

Gue hanya mengangguk lalu sedikit tersenyum kemudian kembali menoleh keluar jendela.

"Damar, nanti disana kamu....." ucap nenek Sulis terpotong kata - kata gue.

"Nenek, bisa berhenti bicara tentang nanti, bukankah nanti nenek yang bicara, gue tinggal berdiri di samping nenek, jadi bisa nenek tidak bicara tentang pekerjaan?" ujar gue menatap datar nenek Sulis.

"Hah, baiklah, bisa panggil aku, Oma, dan bahasa kamu bisa sedikit formal nanti disana!" ucap nenek Sulis sambil menghela napas.

Gue malas bila harus merubah gaya gue berbicara, nanti saja disana, dan manggil Oma, lidah gue kaku kayaknya.

"Nenek tahu, ini gue Damar, suka tidak suka ya seperti ini, gue tidak akan membuat malu nama Diwangkara, kalau itu yang sejak tadi nenek risaukan," ujar gue menatap lurus nenek Sulis.

Akhirnya adem ini telinga, dari tadi nenek Sulis bicaranya berputar - putar, masalah pekerjaan lagi, gue tidak keberatan sebenarnya membicarakan pekerjaan asal bukan etika atau aturan - aturan di dalam bekerja, harus begini harus begitu.

Semua orang punya gaya masing - masing dalam memimpin perusahaan.

Mobil yang kami tumpangi sudah mulai memasuki area hotel, kami tentu saja parkir di tempat khusus direksi.

"Turun Damar!" seru nenek Sulis.

Gue akhirnya beranjak dari tempat duduk, keluar mobil mengikuti nenek Sulis.

Di sepanjang jalan dan koridor hotel, banyak orang menyapa nenek Sulis dengan hormat, nenek Sulis hanya mengangguk sedikit dengan mata menatap lurus ke depan.

Langkah kami berhenti sebentar karena ada Om Utoro dan pengacara nenek Sulis yang kemarin gue lihat di rumah Diwangkara, menyambut kedatangan kami di depan pintu ball room.

Pintu ball room terbuka dan seketika gue lihat orang - orang di dalam berdiri menyambut nenek Sulis.

Gue dan Om Utoro serta pengacara nenek Sulis mengekori dari belakang ketika nenek Sulis memasuki ball room dengan anggun dan aura mengintimidasi.

Nenek Sulis berjalan menuju panggung kecil yang sudah disiapkan, disana ada mimbar dan delapan kursi yang dibagi dua kiri dan kanan.

Kami dipersilahkan duduk, nenek Sulis dekat mimbar dan gue di sampingnya sedang Om Utoro serta pengacara nenek Sulis di belakang kami.

Catatan Anak Pelacur (Selesai)Where stories live. Discover now