19. Satu Syarat Buat Bang Jaya

584 53 4
                                    

Sebenarnya masih libur, tapi gatal tidak nulis, menjaga mood itu susah, he he.

Semoga masih ada yang menanti cerita ini.

Enjoy reading.






Pertama Mak Salmah tinggal di rumah ini, ia sebenarnya agak curiga karena Bang Jaya dan Kak Aryati tidak tinggal sekamar, tapi ia memilih diam tidak ingin ikut campur.

Sedang Mama Setyawati sepertinya tahu akan hal itu, memilih menerima keadaan tanpa bisa berbuat lebih jauh.

Gue sepertinya harus cepat - cepat memberitahukan keputusan untuk kebaikan Bang Jaya walau nantinya agak berat bagi gue.

Kejadian sore tadi sebenarnya agak mengusik gue, sudah terjadi dan harus dihadapi, Kak Aryati marah.

Gue memasuki rumah dengan langkah gontai, pertama gue harus mencari Bang Jaya, mungkin sudah di kamarnya karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan.

Tok.

Tok.

Tok.

Gue mengetuk pintu kamar Bang Jaya, antara gelisah menanti tanggapannya atas kejadian sore tadi dan sesuatu yang secepatnya harus gue lakukan.

Pintu terbuka dan wajah terkejut Bang Jaya membuat gue agak gugup mau menyampaikan apa yang akan gue ucapkan.

"Ada apa?" tanya Bang Jaya mengernyitkan dahi.

"Boleh gue.... gue masuk?" ucap gue gagap.

Bang Jaya membuka pintu kamarnya lebar - lebar menandakan gue boleh masuk.

Dengan langkah berat gue masuk dan langsung duduk di tepian ranjang, gue nggak sanggup buat berdiri sambil berbicara.

"Ada apa?" tanya Bang Jaya lagi.

Kenapa Abang gue ini orangnya to the point sekali, biarkan gue mengambil napas dan menata hati dulu kek, gue menghembuskan napas berat.

"Kalau lu bertanya gue marah karena kejadian sore tadi, gue pasti marah?" ujar Bang Jaya.

Nada bicara datar Bang Jaya justru membuat gue tambah gusar.

"Aryati sudah menceritakan semua, gue memakluminya, walau berat hati terpaksa gue menyetujui semua tindakannya," ujar Bang Jaya sambil berjalan dan duduk di kursi bulat di kamar ini.

"Maksud Bang Jaya?" tanya gue bingung.

"Mungkin gue harus percaya padanya, Aryati bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain," ujar Bang Jaya pelan.

Mendengar Bang Jaya bicara seperti itu, yang sama dengan ucapan Kak Aryati sore tadi, membuat sesuatu dalam diri gue tidak rela kalau Kak Aryati sepenuhnya mandiri.

"Bang Jaya rela Kak Aryati pergi dari hidup Abang?" tanya gue hati - hati.

"Tidak sepenuhnya gue melepasnya, gue akan selalu mengawasinya seumur hidup," ujar Bang Jaya sambil tersenyum kecut.

Mendengar kata seumur hidup membuat gue miris, kalau tidak mau dicangkok jantungnya, entah berapa lama Bang Jaya bisa bertahan dengan jantungnya.

"Bang Jaya tidak mencintai Kak Aryati?" tanya gue.

Kenapa gue tidak rela mendengar Bang Jaya akhirnya mencintai Kak Aryati setelah lama mereka bersama.

"Kamu tahu alasan gue menikahinya, gue selalu menganggapnya adik dan selamanya akan begitu," ujar Bang Jaya.

Catatan Anak Pelacur (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang