4.

14.4K 1.2K 30
                                    



Perdebatan kemarin membuat Nayla sempat berpikir untuk tak lagi bertemu dengannya. Nayla bilang begitu bukan karena Nayla bermaksud untuk anarkis pada seseorang yang tidak beragama sepertinya. Justru karena Nayla sangat takut bila berdebat lagi dengannya, ia bisa saja dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak. Karena Ummi pernah mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah dia yang menghindarkan dirinya dari perdebatan sekali pun apa yang dikatakannya benar.

Dan Nayla yakin sekali, sekeras apa pun ia berusaha menyadarkan Iqbal lewat peringatan bahwa sesungguhnya lelaki itu sudah tersesat sangat jauh dari jalan-Nya, jika Allah telah mengunci hatinya rapat-rapat, maka apa yang Nayla lakukan tak ubahnya hanya sia-sia saja. Tak ada lagi yang bisa diharapkan untuk orang seperti Iqbal selain diturunkannya suatu hidayah.

Ah, Nayla dilema apakah ia harus meminta pendapat Ummi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjanya, atau ia harus mengambil tindakan pribadi tanpa campur tangannya? Setelah menimbang cukup lama, akhirnya ia pun memilih tidak bercerita apa pun pada Ummi.

Mungkin cukup Nayla dan Allah saja yang mengetahui rasa dilemanya. Dengan kemantapan hati usai Nayla mencurahkan masalah kepada Sang Pencipta alam semesta, Nayla pun melangkahkan kaki menuju area parkiran sekolah. Meninggalkan musholla yang selalu ia datangi sebelum pulang. Tentu saja untuk melaksanakan shalat dzuhur.
Sejak kecil, Ummi menanamkan prinsip pada Nayla untuk shalat diawal waktu. Karena katanya, perkara maut itu tidak ada yang tahu. Bilamana tidak ada alasan untuk menunda-nunda ibadah, kenapa melakukannya? Dan bagaimana kalau ternyata ajal-lah yang lebih dulu menjemput bahkan sebelum kita sempat untuk sholat?

Ummi itu memang senang sekali menakut-nakuti. Tetapi karena sikapnya lah, Nayla berhasil menjadi pribadi yang takut pada kelalaian. Sebisa mungkin ia akan menjauhi yang namanya kemaksiatan.

"Habis shalat dzuhur ya, Non?"

"Iya, Mas," jawab Nayla ketika Riki bertanya. Nayla memasang seat belt sebelum Riki melajukan mobil yang mereka tumpangi.

"Maaf kalau saya agak lama ya, Mas?"

"Ah gak masalah, Non. Oh iya, dari kemarin saya tidak melihat adanya murid laki-laki loh. Atau sekolah ini memang didominasi oleh murid perempuan, Non?"

Nayla mengulum senyum.

"Bukan didominasi, Mas. Tapi memang sekolah ini hanya dikhususkan untuk yang perempuan saja."

"Loh, kayak pesantren dong?"

"Gak juga sih, Mas. Soalnya ada beberapa murid yang non-muslim."

"Wah, unik juga ya," ujarnya. Nayla terkekeh pelan.

"Namanya juga sekolah swasta, Mas. Prosedur yang dibuat'kan tergantung keinginan Si pemilik yayasan. Dan yang bikin sekolah ini berbeda dari sekolah swasta lainnya hanya terletak pada syarat bahwa sekolah ini hanya diperuntukkan bagi yang perempuan aja."

Riki mangut-mangut. Lelaki yang usianya hanya beberapa tahun di atas Nayla itu pun mulai bercerita banyak soal adik-adik perempuannya yang kini sedang menempuh pendidikan sekolah menengah pertama di sebuah pondok. Ketiganya masih memiliki orangtua yang lengkap.

Tapi Riki yang sudah dewasa itu memilih untuk merantau hanya demi sebuah pekerjaan yang tengah ia jalani saat ini. Dalam setahun, ia bisa dua kali pulang ke kampung halaman jika mendapatkan cuti. Riki tidak pernah merasakan lelah dan patah semangat selama dirinya mencari nafkah halal yang setiap bulannya akan ia kirimkan pada keluarganya. Dan setiap hari, dia harus menahan rindu yang bukan main besarnya pada Sang keluarga. Riki juga memberitahu Nayla bahwa ia adalah anak sulung, sebab itulah Riki merasa punya kewajiban untuk membantu perekonomian keluarganya di desa.
Ayah Riki hanyalah seorang nelayan, sedangkan Ibunya adalah petani. Dia memiliki dua adik yang masih kecil. Karenanya Riki mengalah untuk tidak menggunakan hasil gajinya guna melanjutkan study di universitas yang dulu sempat ia impikan. Baginya, pendidikan adik-adiknya lebih penting dari apa pun. Keinginan besar Riki saat ini adalah menyekolahkan adik-adiknya hingga tamat SMK. Bila memang ada rezeki lebih, dia rela menyisihkan uangnya lagi agar kedua adiknya itu bisa melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi.

Jika dia tidak bisa menggapai mimpinya sendiri, maka dia akan berusaha membantu kedua adiknya dalam mencapai cita-cita mereka. Dada Nayla berdesir melihat ketulusan saat Riki menceritakan soal dua adiknya itu. Nayla tidak menemukan kedustaan di dalam ucapannya. Apa yang Riki katakan berhasil bikin Nayla tersentuh. Bagi Nayla, dia perwujudan real seorang Kakak yang sangat menyayangi adik-adiknya. Sekaligus merupakan sosok yang selalu mementingkan kehidupan orang lain ketimbang dirinya sendiri.

"Kalau Nona, anak sulung atau bungsu?" tanya Riki ketika kelar bercerita.

"Saya anak tunggal, Mas."

"Oh, tinggal dengan siapa, Non?"

"Dengan Ummi aja, Mas." Riki menoleh.

"Abah?"

"Abi udah lama tiada."

Riki tercengang. Ada raut tidak enak yang tampil di wajahnya.

"Ma-maaf, Non. Saya tidak bermaksud--"

"Gak apa-apa, Mas."

Sesudahnya mereka saling terdiam. Suasana pun berubah hening. Nayla juga tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Selalu saja begini. ketika teringat Abi, ia pasti merindunya. Walau Nayla sudah ikhlas akan kepergian Abi, tapi Nayla tak ingin munafik bahwa terkadang ia selalu ingin kembali merasakan pelukan Abi yang hangat. Kemudian mendengar tilawahnya bersama Ummi setelah selesai shalat magrib. Atau ketika Abi menghibur di kala ia sedih karena Ummi tidak menuruti keinginannya untuk mencoba berbagai permainan di pasar malam seperti anak-anak lain.

"Non, kita sudah sampai."

Suara Riki yang terdengar itu tak ayal lagi membuyarkan lamunan Nayla. Nayla menahan napas saat menyadari mereka benar-benar sudah tiba di kediaman Iqbal. Riki pun membukakan pintu untuk Nayla dan mempersilakan gadis itu melangkah duluan.

"Terima kasih, Mas."

Riki mengangguk sebagai respon.
Nayla masih merasa cukup canggung setelah percakapan tadi. Tapi tidak mengapa, Nayla pikir nanti juga akan hilang dengan sendirinya. Kali ini Riki tidak mengantarkan ia hingga ke dalam seperti kemarin. Mau tak mau Nayla harus mandiri. Menaiki anak tangga, Nayla berusaha tidak terlihat gugup ketika Para pelayan menyambut kedatangannya dengan sopan. Nayla langsung berjalan menuju kamar Siska dan mengetuk pintu yang tertutup itu. Tidak lama setelahnya ia mendengar suara Siska yang berteriak dari dalam.

"Siapa? Buka aja, pintunya gak dikunci kok!"

Nayla membuka pintu tersebut dan dilihatnya sosok Siska yang tengah tiduran di atas ranjang.

"Hai, Nay?"

"Hai.”

Nayla masuk dan menutup pintu kamar dari dalam. Setelahnya ia berjalan mendekati Siska. Nayla duduk di sisi ranjang dan memperhatikan Siska yang tampak sibuk memainkan ponsel. Namun tak lama kemudian ia melihat Siska meletakkan benda pipih itu ke atas nakas sembari mengubah posisinya menjadi duduk. Lalu Siska bersandar di kepala ranjang dengan posisi tubuh menghadap ke arah Nayla.

"Kak Iqbal masuk kerja hari ini. So, di rumah hanya ada kita berdua aja. Oh iya, omong-omong sebenarnya kemarin aku gak sengaja nguping pembicaraan kamu sama Kak Iqbal. Maaf ya kalau aku lancang? Habisnya aku penasaran, sih. Eum Nay, kamu benar-benar percaya kalau Tuhan itu ada?”

Deg!

Jantung Nayla berdetak lebih cepat. Nayla memperhatikan Siska yang kini mengerutkan dahinya. Nayla meneguk saliva. Dengan ragu, ia bertanya,

“Kenapa kamu tanya kayak gitu? Kamu juga gak percaya adanya Tuhan?"

"Eh, aku gak bermaksud untuk cari masalah sama kamu, kok! Well, aku memang gak percaya Tuhan itu ada. Tapi serius deh, aku berbeda dengan Kakakku. Kalau dia membenci semua agama di dunia ini, aku sama sekali gak ada pikiran untuk memusuhi orang-orang religius kayak kamu. Aku sama sekali gak se-anarkis Kakakku.”

Siska mengangkat kedua jarinya membentuk 'peace'. Nayla menoleh pada kaligrafi dengan ukiran nama Nabi Muhammad. Siska pun mengikuti arah pandangannya. Nayla tampak meminta penjelasan pada Siska lewat tatapan mata. Siska yang mengerti lantas memberikan jawaban,

"Dulu aku seorang muslim, sama seperti kamu," kata Siska dengan gusar.

Nayla mengangguk. Ia tak lagi heran sebab pengakuan Siska memang tepat seperti dugaannya kemarin.

"Ada sesuatu yang udah bikin kami – aku dan Kakakku menjadi murtad. Aku bakal cerita, Nay. Tapi aku mau kamu berjanji satu hal sama aku,"
Siska menunjukkan tatapan memohon.

"Selagi itu gak buruk, InsyaAllah aku akan menurutinya," ujar Nayla dengan sungguh-sungguh.

"Saat kamu tahu apa alasan yang sudah buat kami jadi begini, kamu jangan pernah berniat untuk meninggalkan kami, ya?"

Nayla terdiam sembari meremas kedua jemari tangannya yang saling bertautan. Nayla tidak tahu apakah ia harus mengatakan janji itu atau hanya mengabaikannya saja? Entah mengapa Nayla punya firasat kurang enak. Nayla menggelengkan kepala. Ah ia tidak boleh memikirkan apa pun, terlebih menebak-nebak seberapa buruknya alasan Siska dan Sang Kakak murtad.

“InsyaAllah aku gak akan ninggalin kalian berdua."

Siska mengangguk kecil.

"Sejujurnya, aku gak terlalu yakin dengan pilihanku saat ini. Terkadang aku selalu dirundung keraguan atas sesuatu yang gak aku mengerti sepenuhnya. Resah... seperti itulah yang kerap aku rasakan. Aku gak tahu apakah ini berasal dari hatiku atau bukan? Yang jelas, di beberapa waktu ini aku merasa ada sosok yang kerap membisikiku untuk kembali ke jalanku dulu, Nay.”

Siska mengepalkan tangannya.

"Tapi ketika aku berpikir untuk kembali menjadi muslim, aku merasa ada sesuatu yang menahanku. Aku dilema! Aku bimbang! Aku gak tahu apa yang harus aku lakukan."

Siska mengusap kasar wajahnya dengan tangan.

"Waktu aku merasa hidupku udah gak guna lagi, aku mulai gak peduli pada kesehatan dan juga keselamatanku. Kamu pasti bisa menebak kenapa aku mabuk hingga mengalami kecelakaan di malam itu, kan? Aku frustasi, Nay. Dan entah kenapa, aku punya feeling bahwa kejadian itu bukan sekadar kecelakaan biasa."

"Maksud kamu?"

"Mungkin aja ada yang udah mengatur ini semua. Dan aku yakin kehadiran kamu bukan sesuatu tanpa sebab. Aku harap, kehadiran kamu bisa bikin aku kembali memiliki tujuan hidup. Yaitu mencari jati diri. Tapi jujur ya? Kamu gak takut berdekatan dengan orang murtad seperti kami, kan?"

Sejujurnya Nayla sedikit takut.

"Selagi kalian gak menggangguku, aku gak punya alasan untuk menjauhi kalian. Lagi pula sebelum kalian jadi seperti ini, kalian pernah memiliki keyakinan yang sama denganku. Setidaknya kalian pernah menjadi saudara seimanku.”



***


Nayla memandangi Siska yang baru saja terlelap dalam bunga tidurnya setelah membersihkan diri dengan mandi. Kemudian Nayla pun menarik selimut hingga menutupi tubuh Siska sampai ke bagian dada. Setelah itu Nayla mengambil buku dari dalam tas lalu menyobek bagian yang kosong dan menulis pesan di kertas itu.
Nayla mengatakan bahwa ia minta maaf karena tidak membangunkan Siska saat hendak pulang.

Saat jam telah menunjukkan pukul delapan malam, Nayla menaruh pesan itu ke atas nakas dan berlalu keluar. Nayla menuruni anak tangga dan mengambil langkah besar menuju pekarangan rumah. Riki sudah stay berdiri di depan pintu bersama dua penjaga. Nayla mengangguk padanya, tanda mereka bisa berangkat sekarang. Riki pun berlari kecil menghampiri sebuah mobil yang terparkir. Lalu membukakan pintu bagian depan. Ketika Nayla hendak masuk, Nayla terhenti tatkala ia mendengar ada seseorang yang memanggil namanya.

"Nayla, tunggu!"

Nayla menoleh ke sumber suara. Di belakang sana, sosok Iqbal tampak berlalu keluar dari mobil hitam metalik.

"Kamu mau pulang?" Iqbal bertanya dengan raut wajah lesu. Jas hitam yang dipakainya pun terlihat berantakan.

"Iya, Mas.”

"Siska sudah tidur?"

"Sudah."

"Besok kamu punya waktu luang? Ada yang ingin saya bicarakan sama kamu. Sesuatu yang penting. Saya harap kamu mau menuruti keinginan saya.”

"Oke."

"Kalau begitu kamu boleh pulang sekarang.”

"Assalamu'alaikum," salam Nayla sebelum memasuki mobil. Mengakhiri perbincangan diantara mereka berdua.

Love You Till Jannah Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora