23

16.8K 1.2K 89
                                    

“Masih marah?” Nayla menyentuh lengan Iqbal dan memandang intens suaminya yang sejak tadi hanya diam sembari membaca majalah. Nayla merapatkan posisi duduknya untuk lebih dekat dengan Iqbal. Gadis itu menaruh kepalanya pada pundak Sang suami dengan mencoba menepis rasa malu.

“Saya dan Kak Ari benar-benar gak punya hubungan apa pun. Bella bilang, Kakaknya memang suka saya. Tapi yakinlah, saya sama sekali gak punya rasa yang sama ke Kak Ari.”

“Hm.”

Mendengar respons singkat suaminya, Nayla jadi merasa bersalah. Iqbal pasti sangat cemburu dan masih tidak yakin atas kejujurannya mengingat bahwa sejak pulang dari rumah Ari, suaminya itu jadi banyak diam.

“Masih mau bukti kalau laki-laki yang saya sayang itu adalah Mas?” Nayla mendongak dan memandangi wajah Iqbal yang datar.

“Bukti? Sudahlah. Lupakan saja.”

“Ih masih marah,” Nayla mencubit pipi Iqbal hingga suaminya sontak menoleh.

Dan karena jarak wajah mereka yang terlalu dekat, Nayla lantas menunduk sebab tiba-tiba pipinya terasa merona. Diam-diam, Iqbal mengulum bibir menyaksikannya. Laki-laki itu menaruh majalah yang tadi dibacanya ke atas nakas dan segera menarik dagu Nayla agar kembali menatapnya.

“Apa yang bisa kamu berikan untuk meyakinkan saya, Nay?” pertanyaan itu seketika membuat Nayla linglung.
Iqbal mengerutkan dahi. Ia sedikit bergeser ke arah Nayla hingga kini tidak ada lagi jarak di antara mereka. Iqbal menyandarkan punggungnya di headboard ranjang dengan tatapan mata yang tertuju pada Nayla.

“Sa-saya yakin Mas, bahwa saya sudah siap sepenuhnya melayani Mas lahir dan batin. Maaf karena kalau selama ini saya telah membuat Mas jadi menunggu cukup lama.”

***


Nayla memperhatikan khidmat Iqbal yang tengah bercermin di depan meja rias, menyisir rambutnya yang sedikit basah. Mereka baru saja selesai mandi besar selepas menunaikan kewajiban sebagai pasangan suami-istri untuk yang pertama kalinya tadi malam. Pagi ini Iqbal memakai baju koko putih lengkap dengan sarung senada. Usai menyisir, Iqbal memakai kopiahnya. Sedangkan Nayla sudah siap dengan mukena putih gadingnya dan duduk di atas sajadah, satu shaf di belakang Iqbal.

Iqbal melangkah mendekati Nayla dan bertanya, “Sudah siap?”

Nayla beranjak dari duduk. Ia mengangguk dengan hati berdebar melihat suaminya yang kini membalikkan tubuh ke depan menghadap kiblat. Siap untuk memulai shalat subuh.

“Ma-Mas Iqbal yakin---”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Nayla langsung membisu tatkala Iqbal tiba-tiba saja berbalik menghadapnya. Sungguh, Nayla sampai bergeming melihat suaminya yang saat ini tersenyum manis.

“Tidak apa-apa jika kamu masih meragukan saya, Nay. Tetapi yang jelas saya tidak main-main saat mengatakan ingin menjadi imam kamu yang sesungguhnya. Terima kasih atas yang semalam, ya? Kamu membuat saya sadar bahwa saya harus segera merubah diri saya menjadi lebih baik. Dari yang maksiat menjadi ta'at. Terima kasih karena selama ini kamu masih setia mendampingi saya dan sabar sekali menunggu saya untuk berubah.”

“Mas ... jika belum siap pun, tidak ap---”

“Kita mulai shalatnya, ya?”

Nayla bungkam. Iqbal kembali menghadap ke depan. Dada Nayla seketika berdesir saat mendengar suaminya mengumandangkan takbiratul ihrom dengan khidmat, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama, “Allahu Akbar.”

Bersamaan dengan itu, setetes air mata jatuh melintasi pipi Nayla. Batinnya berkata penuh haru, Ya Allah... setidaknya Firman-Mu adalah benar; "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Ya Rabb, terima kasih atas hidayah-Mu yang telah Engkau berikan kepadanya.

Sebagai makmum, Nayla pun mengikuti apa yang Iqbal lakukan. Sungguh, Nayla tidak bisa berkata apa-apa lagi. Nikmat yang selama ini ditunggu-tunggunya akhirnya tiba juga. Ya, hal yang sejak lama ia inginkan hanya satu. Menjadi makmum suaminya.

Melihat Iqbal berdiri di depannya saat ini, benar-benar membuat Nayla tidak lagi kuasa menahan haru. Dalam diam, Nayla menangis. Merasa bersyukur karena Iqbal akhirnya kembali ke jalan yang benar. Meski cemburu yang menjadi perantara Iqbal begini, Nayla tidak akan menuntut apa-apa.

Sebab ia tahu hidayah memang bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Hidayah Allah sangatlah luas.

Meski begitu, yang bisa mendapatkan hidayah-Nya hannyalah hamba-hamba yang terpilih saja. Yang dikehendaki-Nya untuk menjadi orang-orang paling beruntung dunia dan akhirat.

Love You Till Jannah Where stories live. Discover now