6.

13.4K 1.3K 80
                                    



Hening. Nayla terdiam beberapa saat sekedar untuk meneliti apakah Iqbal serius? Sungguh. Nayla sangat was-was dan sebisa mungkin ia akan membentengi diri untuk tidak langsung terpengaruh atas ucapan Iqbal.

“Bagaimana, Nay?”

Nayla tak menyahut.

“Jadi?” Iqbal bertanya lagi.

“Jadi kamu masih mau berpikir bahwa setelah kamu mengucapkan kalimat tauhid, maka saya bersedia menerima lamaran kamu? Maaf, saya tahu sebelumnya kamu adalah muslim. Jadi saya pikir kamu paham apa makna dibalik kalimat itu.”

“Saya tahu.”

“Tapi sayangnya saya kurang yakin dengan apa yang kamu katakan. Kalau kamu tahu, kamu gak semudah itu untuk melepaskan diri dari Islam.”

Iqbal memandangi Nayla khidmat.

“Mas Iqbal, syahadat adalah sebuah perjanjian kontrak hidup antara manusia dengan Allah. Yang mana ketika kalimat tauhid itu terucap, maka seseorang udah menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan ini adalah ciptaan dan milik Allah. Dia mengerti tujuan hidupnya hanya untuk memperoleh ridha Allah. Dan ketika seseorang itu mengkhianati komitmennya sendiri, bukankah udah jelas bagaimana pribadi yang melekat di dirinya itu?”

“Maksud kamu keseriusan saya patut dicurigakan?” tanya Iqbal karena merasa sedikit tersinggung.

“Ya... Mas, kamu aja berani mempermainkan komitmen dengan-Nya. Apalagi jika itu saya, kan? Bukankah wajar kalau saya mengeluarkan pendapat soal kepribadian kamu?”

“Kamu menolak saya karena takut saya mempermainkan pernikahan kita? Mengkhianati komitmen yang akan terjalin, begitu?”

Nayla merespon dengan anggukan. Iqbal terkekeh pelan namun tatapan matanya menyiratkan kesinisan level wahid.

“Berarti saya salah sudah mengira kamu gadis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Karena dari apa yang kamu utarakan tadi, tidak lagi termasuk dalam kategori mengenai kebebasan berpendapat. Melainkan penghakiman. Menilai tanpa bukti.”

“Tanpa bukti, ya? Well, lepasnya kamu dari Islam itu udah lebih dari cukup untuk saya menjelaskan bahwa yang tadi saya katakan ke kamu bukanlah bentuk penghakiman. Kamu sudah main-main diatas nama syahadat.”

“Oh ya?” Iqbal menyeringai tipis.

“Saya memang dilahirkan sebagai muslim. Tapi asal kamu tahu saja, saya belum sekali pun mengatakan dua kalimat syahadat. Jadi ini jelas membuktikan bahwa di sini, kamu-lah yang bersalah, Nayla.”

“Maaf? Kok jadi saya?”

“Kamu penasaran, kan? Kenapa bisa begitu?” Iqbal meraih cangkir dan menyeruput kopinya dengan santai. Ia memanfaatkan topik ini sebagai jalan untuk mempermulus tujuannya.

“Saya tidak akan pernah menceritakan apa pun pada kamu mengenai kehidupan saya. Dan itu pengecualian jika kamu sudah sah menjadi istri saya. Well, kamu akan menemukan banyak kejutan yang mungkin tidak akan kamu temukan di dalam keluarga mana pun yang pernah hadir disebagian kisahmu.”

“Apa yang bisa kamu tunjukan ke saya sebagai tanda keseriusan kamu?”
Senyuman tipis terukir di bibir Iqbal.

“Bagaimana kalau kamu saja yang kasih tantangan ke saya, Nay?”

Nayla mengangkat alisnya sembari memikirkan tantangan apa yang akan ia berikan pada Iqbal.

“Baiklah,” ujar Nayla sesudah menemukan ide.

“Saya harap kamu tidak menyesal sudah membiarkan saya yang memilihnya, Mas.”

“Saya yakin, tidak akan.”

“Saya ingin kamu menghafalkan sepuluh ayat pertama surat Al-kahfi.”

Melihat ekspresi Iqbal yang datar, Nayla menggigit bibir. Pasalnya Iqbal sama sekali tidak menunjukkan raut terkejut atau keberatan hingga kini malah Nayla yang jadi gusar sendirian. Lalu Iqbal pun memberikan tanggapan yang benar-benar membuat Nayla tak bisa berkata-kata lagi.

“Saya akan menyanggupinya, Nay.”

Dan sehari usai kejadian itu, Iqbal benar-benar mendatangi Nayla. Kali ini Iqbal sengaja pulang siang hanya untuk memenuhi janjinya. Dia menjemput Nayla di sekolah lagi. Ketika melakukan perjalanan menuju kediamannya, Iqbal memulai perbincangan lebih dulu,

“Saya sudah hafal.”

“Apa?” Nayla bertanya sekedar memastikan.

“Tantangan kamu waktu itu. Boleh saya memulainya sekarang saja Nay?”

“Hm.”

“A'uudzu billaahi minas syaithaanir rajiim,” lafalnya. Nayla tersentak. Ia tidak salah dengar Iqbaal juga membaca ta'awudz lebih dulu, kan?

Nayla menoleh. Sepanjang Iqbal membacakan surat yang Nayla pinta kemarin, Nayla melakukan kesalahan fatal sebab memandangi lelaki itu tanpa kedip. Dan Nayla masih saja terkejut karena baru menyadari bahwa Iqbal ternyata serius ingin melamarnya.

Keringat pun menetes dari kening Nayla. Padahal mobil ini dilengkapi AC. Nayla rasa, ini bentuk dari kecemasan ia yang berlebihan. Nayla tak tahu kenapa ia jadi secemas ini? Mungkin saja karena ia mengetahui bahwa calonnya adalah seorang atheis yang hendak kembali beragama? Atau karena ia yang belum siap untuk menikah namun sudah terlanjur janji untuk menerimanya bahkan sampai memberikan tantangan?

“Lalu, apalagi yang harus saya lakukan?” pertanyaan Iqbal membuat Nayla kian khawatir.

“Temui Ummi.”

“Oke.”

“Juga Paman saya. Dia yang akan menggantikan Abi sebagai Wali.”

“Maaf saya tidak tahu Ayah kamu—“

“Gak apa-apa.”

“Saya akan menemui Ummi dan Paman kamu malam ini juga.”

“Ma-maksudnya?”

“Saya akan menemui mereka.”

“Kenapa mendadak?”

“Bukankah pernikahan memang harus di laksanakan secepatnya bilamana kita sudah mampu?”

“Iya saya tahu, tapi kenapa gak setelah saya lulus aja? Lagipula hanya tinggal hitungan bulan lagi saya akan mendapatkan ijazah.”

“Tidak bisa, Nay.” Iqbal menoleh sekilas pada Nayla. “Saya tidak mau menundanya lebih lama lagi. Saya butuh kamu secepatnya. Saya janji saya tidak akan macam-macam selama kamu masih sekolah. Saya tidak akan menuntut kamu untuk memenuhi hak saya sebagai suami jika itu yang kamu takutkan.”

“Ta-tapi--”

“Siap atau tidak, saya tetap akan datang menemui keluarga kamu untuk menjalani proses lamaran.”

“Bagaimana kalau mereka memberi kamu tantangan juga?”

“Tantangan apa?”

“Yang mungkin gak akan bisa kamu lakukan karena kamu gak mengenal agama Islam lebih dalam. Misalkan, membaca Al-Qur'an dengan syarat makhraj huruf yang tepat dimana tentunya kamu juga harus memahami ilmu tajwid.”

“Ada banyak agama yang tersebar di dunia ini. Karenanya, saya jadi kehilangan arah dan tujuan. Saya memang seorang atheis yang tidak memiliki keyakinan akan adanya Tuhan. Tapi saya tidak sebodoh yang kamu kira, Nayla.”

“Saya gak menyebut kamu bodoh.”

“Yasudah, lupakan soal bodoh. Dan asal kamu tahu Nay, sebelum saya memutuskan untuk menjadi seperti sekarang ini, saya tentu saja sudah mendalami banyak agama. Termasuk agama kamu itu. Saya mempelajari, tripitakadan, alkitab, weda, go king bahkan kitab Yazidi sekali pun. Karenanya, jika itu hanya masalah Al-Qur’an, saya tidak pernah keberatan. Jika mereka meminta saya untuk shalat atau bahkan ingin menguji saya lagi lebih dari itu, dengan mantap saya katakan saya bersedia.”

“Mas?”

“Apalagi? Kamu masih belum percaya pada keseriusan saya? Kamu mau mendengar ilmu yang sudah saya pelajari selama ini? Saya tidak keberatan untuk ngasih tahu kamu, menceritakan tentang bagaimana manusia bisa ada di dunia ini menurut pandangan Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, Yazidi atau bahkan menurut atheis sekali pun yang menjunjung tinggi sains sebagai pegangan hidupnya.”

“Gak perlu. Ba-baiklah kamu bisa mendatangi mereka malam ini juga sesuai keinginan kamu.”

“Terima kasih.”

Love You Till Jannah Där berättelser lever. Upptäck nu