7.

13.9K 1.3K 65
                                    



Nayla sudah menghubungi Paman untuk memintanya agar hadir ke rumah malam ini karena akan ada laki-laki yang akan datang untuk melamarnya.

Seperti yang sudah ia duga, Paman sangat terkejut mengetahui kabar mendadak itu. Begitu pun dengan Ummi yang tak ayalnya kaget usai Nayla memberitahukan siapa yang hendak berkunjung.

"Nak Iqbal?"

Nayla membenarkan lewat anggukan. Ummi menutup mulutnya seakan-akan tidak percaya.

"Memangnya ada apa, Ummi?"
Ummi memilih diam. Sedangkan Paman memberikan respon atas pertanyaan Nayla barusan.

"Ada apa katamu? Nayla, sekarang Paman tanya sama kamu. Dari mana kamu tahu soal laki-laki itu yang akan datang melamar kamu?"

"Kami membicarakannya langsung, Paman," jujur Nayla. Mata Paman membulat.

"Dengan, atau tanpa mahram?"

"Tanpa, Paman."

"Astagfirullah!" kata Paman sedikit berteriak. "Seharusnya kamu tahu bahwa itu bukan pilihan yang benar! Paman sudah curiga sama kamu dari awal. Pantas saja kabar itu datangnya langsung dari kamu. Bukan dari pihak ketiga."

Nayla menunduk. Apa yang Paman katakan memang betul. Seharusnya ia dan Iqbal tak membicarakan itu bila hanya berdua saja. Harus ada campur tangan pihak ketiga dalam menyampaikan kabar sakral tersebut.

Tadinya Nayla ingin membela diri dengan mengatakan bahwa ia terpaksa meladeni Iqbal sendirian. Namun diurungkannya sebab tak ingin menambah masalah yang nantinya hanya akan menciptakan perdebatan. Jadilah ia hanya diam saja dan mendengarkan petuah darinya,

"Paman tidak bermaksud untuk melarang lamaran ini terjadi. Sama sekali tidak! Paman cuma takut pernikahan kalian nantinya hanya didasari syahwat. Bukan niat karena Allah. Kamu pastinya sudah mengerti sendiri'kan bagaimana cara membedakan antara dua niatan itu? Laki-laki yang berniat meminangmu semata karena Allah, setidaknya memahami prosedur dalam meng-khitbah perempuan yang ditaksirnya sesuai dengan apa yang pernah diajarkan Rasulullah."

Nayla tidak membantah. Ia justru tercenung memikirkan wejangan Paman. Setengah jam pun berlalu. Percakapan yang didominasi petuah dari Paman pun harus berakhir kala sebuah salam dari luar terdengar,

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam."

Nayla buru-buru bangkit dari duduk untuk membukakan pintu dengan dada yang berdebar tidak wajar. Ia jelas tahu suara lembut itu milik siapa. Jika Siska ada di luar sana, artinya Iqbal juga telah datang.
Saat pintu terbuka, fokus Nayla terkunci pada sesosok lelaki jangkung berkemeja biru. Pakaian yang dikenakan Iqbal saat ini entah kenapa membuat pria itu terlihat jauh lebih muda dari biasanya.

Sedikit menggeser pandangan, Nayla juga mendapati sesosok gadis cantik dengan balutan dress tosca selulut yang tengah duduk di kursi roda. Ah, Siska benar-benar anggun malam ini. Di belakang Siska ada pula lelaki asing paruh baya yang baru Nayla temui. Namun dari wajahnya yang mirip dengan Iqbal juga Siska, Nayla bisa menebak bahwa dia adalah Ayah dari keduanya.

Nayla tersenyum ramah.

“Silakan masuk."

Seusai mereka masuk ke dalam, Nayla kembali menutup pintu itu dan berjalan menghampiri kursi di mana ada Ummi dan juga Paman. Dalam diam Nayla menyaksikan dua keluarga itu saling bersalaman. Tentunya hanya pada yang mahram saja.

Lalu Paman memulai acara yang menegangkan ini dengan diawali bertanya kabar keluarga Iqbal. Nayla meremas jari-jemari tangannya yang tersembunyi dibalik khimar. Lantas Paman pun mengalihkan fokusnya pada Iqbal yang tampak bergeming sama seperti Nayla. Paman berdeham secara tiba-tiba hingga membuat Iqbal tampak sedikit salah tingkah.

"Nak Iqbal?" sapa Paman.

"Iya, Om?"

"Saya harap kamu sudah benar-benar memantapkan hati untuk melamar keponakan saya."

"Saya yakin sepenuhnya."

"Kalau begitu, sekarang saya akan memberi kamu petuah."

"Baik, Om."

"Menikah bukanlah hal yang sederhana, Nak. Dua insan yang disahkan dalam pernikahan akan menjadi sepasang suami-istri. Mereka akan hidup bersama sampai akhir hayatnya. Artinya, sebelum melamar seseorang yang kamu taksir, kamu harus pikirkan ini matang-matang dan tentunya harus bermodalkan keyakinan yang kuat. Sebab pernikahan tidak hanya berjalan selama satu atau dua bulan saja. Melainkan selamanya di mana dalam waktu-waktu setelah itu, di dalam pernikahan yang kamu jalani nantinya pasti akan terjadi banyak perselisihan atau bahkan pertengkaran. Hasil akhirnya tergantung dengan bagaimana cara kalian berdua mempertahankan hubungan agar tidak hancur berantakan. Dan sesungguhnya perceraian bukanlah jalan alternatif untuk dijadikan alasan atas nama ketidakcocokan lagi. Kamu paham maksud saya, kan? Saya tidak ingin keponakan saya ini mengalami itu."

"Saya mengerti, Om. Saya berjanji tidak akan menceraikan Nayla bagaimana pun keadaan rumah tangga kami nantinya."

"Bagus," kata Paman.

“Dan melihat kamu hadir di sini untuk melamar keponakan saya, pastinya kamu sudah siap menunjukkan sesuatu yang bisa kamu jadikan sebagai tanda keseriusan kamu pada ananda Nayla, kan? Kamu bisa melakukan itu sekarang."

"Putraku dulu seorang Hafidz, Anda bisa memintanya untuk melafalkan ayat dan surat di dalam Al-Qur’an secara acak agar Anda sekeluarga lebih meyakinkan keseriusannya," ujar Si lelaki paruh baya.

Nayla tertegun. Apa barusan dia bilang bahwa putranya dulu adalah seorang Hafidz?

Tidak mungkin!

"Benarkah?" tanya Paman.

"Kak Iqbal emang pernah mondok kok Om. Di sana Kakak juga mengambil program tahfidz," sahut Siska.

"Kalau begitu coba Nak Iqbal tolong bacakan QS. Al-Qiyamah ayat satu sampai enam," tantang Paman.

Tanpa menunggu lama, Iqbal melafalkan ta'awudz kemudian ayat-ayat yang Paman pinta. Nayla mendengarkan dengan saksama. Suaranya kali ini lebih merdu ketimbang saat dia membaca Al-Kahfi. Bahkan Nayla seperti mendengar murottal.

Bagaimana bisa?

Iqbal menyudahinya dengan membaca,

"Shadaqallahul 'adzim."

"Kamu tahu pesan apa yang disampaikan di dalamnya?" tanya Paman.

"Tentang betapa dahsyatnya hari kiamat," jawab Iqbal.

Paman mengangguk seolah telah yakin bahwa lelaki yang melamar Nayla itu memang serius dan cukup baik.

"Kamu sudah menunjukkan keseriusan kamu dan saya menerimanya. Tetapi tetap saja semua keputusan itu ada di tangan ananda Nayla. Jadi, bagaimana Nay?"

Nayla tak menjawab. Ia hanya diam membisu dengan kepala tertunduk tak berani menatap siapa pun. Paman dan Ummi menarik napas lega. Sedangkan Siska bertanya cemas,

"Apa Nayla menolak Kak Iqbal?"

Paman tersenyum tipis dan menanggapi pertanyaannya,

"Rasulullah pernah bersabda; 'janganlah engkau menikahkah janda sampai engkau meminta pendapatnya dan janganlah engkau menikahkan perawan sampai engkau meminta izinnya.' Para sahabat bertanya, 'Bagaimana kita tahu dia mengizinkan?' Beliau pun menjawab, 'Dia diam saja.' (H.R. Bukhari dan Muslim)."

"Ja-jadi?" Siska kebingungan.
Paman merespon,

"Diamnya Nayla adalah tanda bahwa dia menerima lamaran Kakakmu."

"Alhamdulillah!"

"Jadi, apakah Nak Iqbal sudah memutuskan tanggal pernikahan?" tanya Ummi.

"Sudah, Tante. Saya juga telah mempersiapkan semuanya. Jadi Tante dan sekeluarga tidak perlu memikirkan apa pun lagi. Saya ingin kami menikah tiga hari mendatang.”

"Loh! Kenapa dadakan?" Paman memprotes.

"Saya ada urusan bisnis dan saya tidak mau menunda pernikahan ini lebih lama lagi. Bukankah akan lebih baik jika kita mempercepatnya?"

"Itu memang benar," kata Ummi. Ia merangkul bahu Nayla. "tapi saya tidak ingin mereka berpikir yang tidak-tidak jika pernikahan dilaksanakan secepat itu. Nayla masih sekolah. Nak Iqbal pasti paham apa yang saya cemaskan."

Nayla mendongak, menatap Ummi sesaat lalu melempar pandangannya ke seluruh orang yang ada di sini.

"Saya tidak keberatan bilamana ada yang mencurigai pernikahan kami. Karena saya masih punya Allah dan saya tidak takut apa pun selama saya melibatkan-Nya dalam setiap urusan yang saya jalani. Tapi, kalau sekiranya Ummi tetap khawatir, saya punya pilihan lain. Bagaimana kalau pernikahan kami dilaksanakan seadanya tanpa resepsi?"

Iqbal berdeham.

"Atau begini saja, resepsi tetap ada tetapi hanya sedikit saja tamu yang diundang. Kerabat terdekat, misalnya. Agar tidak menimbulkan fitnah di kemudian hari. Kalau Nayla sudah lulus, baru kita mengadakan resepsi kedua untuk umum."

"Saya setuju dengan usul Nak Iqbal," ujar Paman. "kalau begitu, selama tiga hari mendatang Nak Iqbaal dan ananda Nayla harus dipingit. Saya yang akan mengurus surat izin di sekolahnya."

"Terima kasih, Om."

"Nak Nayla ingin mahar apa dari anak saya?" tanya lelaki paruh baya yang belum Nayla ketahui namanya.

"Saya tidak ingin menuntut apa-apa. Saya serahkan persoalan itu pada Mas Iqbal aja. Sebab sebaik-baiknya mahar, ialah yang tidak memberatkan,” ujar Nayla.

Saat Nayla menoleh pada Iqbal, ia melihat laki-laki itu tersenyum tipis. Dalam batin, Nayla memanjatkan doa.

Semoga pilihanku untuk menerimanya ini bukanlah kesalahan. Ya Rabb, aku serahkan semuanya pada Engkau. Pada Allah Azza Wa Jalla Sang pemilik alam semesta beserta isinya, aku berharap pernikahan kami nantinya akan mendapatkan ridho-Mu. Aamiin.

Love You Till Jannah Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ