24.

15.8K 1.4K 222
                                    

Selepas shalat subuh, Nayla langsung bergegas mengganti seprei ranjang mereka dengan yang baru. Saat ia sibuk berbenah, Nayla merasakan ada sepasang tangan kekar milik Iqbal yang tiba-tiba saja melingkar di pinggangnya.

“Maaf, Mas. Bisa lepas sebentar? Aku lagi sibuk loh,” kata Nayla dengan sopan.

Mulai hari ini Nayla akan membiasakan dirinya merubah panggilan ‘Saya’ menjadi ‘Aku’. Bukannya menyingkir, Iqbal malah bersikap manja dengan menaruh dagunya di bahu Sang istri.

“Gak mau.”

“Kok gak mau? Nanti waktu tidurnya keburu habis loh. Masih ngantuk, kan?”

“Ya sudah.”

Iqbal melepaskan pelukannya. Laki-laki itu berjalan menuju sofa, menunggu di sana selagi istrinya membereskan ranjang mereka yang berantakan akibat aktivitas semalam. Tidak sampai lima menit kemudian, Nayla berhasil menyelesaikan tugasnya.

“Sebenarnya tidur habis subuh itu gak baik. Tapi kalau memang butuh, ya gak masalah. Asal jangan dibiasakan ya Mas.”
Nayla menaruh seprei kotor pada keranjang, dia berniat mencucinya nanti. Tepatnya setelah mereka istirahat.

“Iya.”

Iqbal bangkit dari sofa dan berjalan ke ranjang. Ia segera membaringkan tubuhnya di sana. Iqbal menoleh pada Nayla yang masih saja berkutat dengan keranjang. Iqbal menepuk-nepuki sisi ranjangnya yang kosong dan berkata lembut,

“Sini.”

Iqbal tersenyum lebar ketika Sang istri mendatanginya. Nayla turut membaringkan tubuh tepat di samping Sang suami. Iqbal menarik Nayla agar lebih mendekat. Laki-laki itu menciumi rambut Sang istri untuk menghirup aroma sampo yang bagi Iqbal pribadi sangatlah harum.
“Omong-omong, sebelum kamu menikah dengan saya, kamu punya kriteria laki-laki idaman gak?” tanya Iqbal.

Nayla meraih tangan kanan Iqbal yang ada diperutnya dan menggenggamnya erat. Wanita itu mengangguk.

“Punya, Mas.”

“Yang seperti apa?”

“Yang tampannya kayak Nabi Yusuf, sifatnya seperti Rasulullah, tangguhnya seperti Nabi Musa, serta Nabi Sulaiman.”

“Nabi Sulaiman?”

“Iya. Meski pun Allah memberikannya kekuasaan besar selama di dunia, Beliau tidak pernah lalai atas nikmat yang dia dapatkan. Beliau juga tak pernah menzalimi siapa pun yang memiliki kasta di bawahnya. Walau Beliau tahu bahwa manusia terkaya sampai nanti kiamat adalah dirinya, Beliau juga tak pernah sombong. Kalau Mas sendiri, punya kriteria wanita idaman yang seperti apa?”

Iqbal berdeham.

“Lemah lembut seperti halnya putri Rasulullah, yakni Fatimah Azzahra dan dewasa kayak Ibundanya, Siti Khadijah. Tapi dari pada itu, yang paling terpenting bagi saya adalah sosok wanita yang sangat konsisten dalam menjaga kesuciannya hanya untuk suaminya kelak. Wanita yang dapat menjaga dirinya dengan baik.”
Nayla mengangguk paham. Ia menatap sedih Iqbal. Rasanya ia belum bisa menjadi salah satunya. Terkecuali persoalan terakhir.

“Maaf ya Mas kalau aku jauh banget dari kriteria yang Mas sebutkan itu. Aku tidak selembut Fatimah, masih kekanakan untuk disamakan dengan Bunda Khadijah.”

“Yang penting kamu sudah menjaga kehormatanmu hanya untuk saya, suami kamu,” ujar Iqbal. Laki-laki itu mengelus kepala Nayla dan tak lupa memberinya senyuman.

“Justru saya yang minta maaf karena tidak masuk ke dalam kriteria kamu satu pun. Tak setampan Nabi Yusuf, tidak setangguh Nabi Musa, tidak sekaya Nabi Sulaiman atau lebih parahnya, sifat saya jauh sekali dari cerminan Rasulullah. Kamu pasti kecewa, ya?”

Nayla menggeleng.

“Gak.”

“Gak?”

Nayla mencium punggung tangan Iqbal.

“Meski Mas tak bisa meneladani sifat para Nabi, cukuplah menjadi seperti para sahabat saja.”

“Siapa?”

“Khalid bin Walid, 'Pedangnya Allah'. Teladanilah sifat Beliau yang selalu membela Islam dengan perjuangan jihad. Tidak pernah gentar pada siapa pun yang jadi lawannya. Atau seperti Umar bin Khattab, Sang 'Singa Padang Pasir' yang meski pribadinya terkenal sangar, Beliau tidak pernah berani menyakiti istrinya setelah Beliau mengenal Islam lebih dalam.”

“Sayang---”

Nayla memotong sebab ia yang terlalu excited.

“Berjanjilah untuk berubah. Jangan mau kalah dengan seorang mualaf. Mas lahir sebagai muslim sejak lahir. Jangan pernah menyerah untuk berubah jadi pribadi yang lebih baik. Kalau Mas tidak mampu bersaing dengan para shalihin dalam 'amal ibadahnya, maka berlombalah dengan para pendosa dalam istighfarnya.”

Dada Iqbal berdebar. Laki-laki itu memandang khidmat Sang istri yang tengah menatapnya sendu.

“Jika dulu cita-cita aku hanya ingin menjadi salah satu dari penghuni surga-Nya, maka sekarang, aku ingin Mas juga ikut. Aku mau Mas yang menjadi jodoh dan suamiku kelak di kampung kita yang sebenarnya. Ya, surga, Mas. Karena itu, mari kita hijrah. Bilamana nanti Mas tidak menemukanku di surga, tolong tarik aku dari neraka. Bilamana nanti aku tak menemukan Mas di surga, aku akan menarik Mas dari neraka. Karenanya, mulai detik ini, aku mau kita menjadi pasangan yang saling melengkapi. Suami yang baik terhadap istrinya dan istri yang ta'at pada suaminya agar mendapat Ridho Allah. Tiket surga tidak hanya bisa didapatkan dengan omongan saja. Melainkan bukti amal ibadah kita. Sebab itu, mari kita sama-sama buktikan kepada Allah bahwa kita pantas menjejakkan kaki ke Surga-Nya, Mas. Aku akan berusaha untuk mencintaimu karena Allah. Maka dari itu, cintailah aku karena Allah juga.”

Iqbal bukan laki-laki lemah. Tetapi, mendengar perkataan istrinya yang sangat menyentuh kalbu, ia tak bisa lagi tahan. Air mata menetes melintasi pipinya. Iqbal menarik Nayla ke dalam pelukan, menyembunyikan wajahnya di belakang punggung Sang istri dan mulai menangis dalam diam. Nayla terisak, ia mengusap punggung Iqbal dan berkata dengan suara tercekat,

“Kita bisa bertemu lagi di surga, Mas. Asalkan semasa hidup kita tidak melakukan dua kesalahan fatal. Yang pertama dosa syirik. Dan yang kedua adalah bunuh diri. Maka Insya Allah kita masih punya harapan untuk tahu bagaimana itu surga.”

“Ya,” kata Iqbal. Suaranya bergetar.
“Insya Allah saya juga ingin berubah, Nay.”

Love You Till Jannah Where stories live. Discover now