22.

14.6K 1.4K 114
                                    


“Katanya cuma mencintai dua laki-laki sebelum saya?” sindir Iqbal ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan tentunya aman dari Bella.

Bella sendiri membawa motor, karenanya gadis itu tidak ikut bersama mereka. Iqbal yang tak bisa lewat jalan alternatif sebab sempitnya gang-gang, memilih lewat jalur umum. Nayla lah yang menjadi petunjuk arahnya.

Nayla mengigit bibir.

“Bella bohong Mas. Saya sama sekali gak punya rasa apa-apa sama Kak Ari kok.”

Entah benar atau tidak, sekilas Nayla melihat Iqbal tampak tersenyum penuh kemenangan.

***

Tadinya Iqbal sempat mengira bahwa laki-laki bernama Ari itu masih bocah ingusan sama seperti istrinya. Tetapi siapa sangka? Bahkan Iqbal sampai merutuk dalam hatinya ketika tahu bahwa sosok tersebut ternyata jauh sekali dari bayangannya.

“Ari Izhar,” laki-laki itu mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya saat mereka saling berhadapan. Iqbal menjabatnya dengan emosi tertahan dan sedikit mempererat tautan tangan mereka. Kening Ari berkerut, merasa agak heran namun tidak bisa mendeteksi satu kecurigaan apa pun pada sosok di depannya.

“Iqbal, sepupu Nayla.”

Ketika Iqbal melepaskan tautan tangan mereka, Ari langsung menoleh pada Nayla dan Bella. Ia meminta penjelasan. Bella tersenyum.

“Sepupu jauh, Kak. Aku juga baru tahu. Katanya sih Mas Iqbal ini cucu dari adik Kakeknya Nayla.”

Ari menganggukkan kepalanya seolah paham. Dia menepuk bahu Iqbal dan berkata sopan, “Mari, Bang. Silahkan masuk ke dalam.”

“Namanya juga masuk, ya pasti ke dalam,” balas Iqbal sedikit sinis.

Nayla menegang. Ia tak menyangka Iqbal bisa sampai begini. Apa suaminya itu berniat terang-terangan menunjukkan kecemburuannya?
Baik Ari mau pun Bella yang tidak tahu bahwa Iqbal sedang memulai permusuhan, terkekeh pelan dan mengira ucapan Iqbal barusan tak lebih dari candaan yang sebenarnya menurut mereka berdua sangatlah jayus. Kalau saja sudah mengenal dekat, Bella tak akan segan-segan mengomentari gurauannya yang bahkan lebih garing dari kripik.

“Hahaha, Abang bisa saja,” kata Ari.

Ari merangkul Iqbal dan mengajaknya masuk bersama ke dalam rumah.

“Abang asalnya dari mana?”

“Bumi,” jawab Iqbal, ekspresinya datar.

Yang bisa merasakan aura gelap laki-laki itu hanyalah Nayla saja. Hati Ari terlalu bersih untuk su'udzonan dengan orang. Dan Bella cukup lemot untuk mengerti keadaan. Cuma Nayla yang normal. Atau karena memang ia sudah paham bagaimana watak suaminya.

“Ya masa dari planet luar sih Bang, hahaha. Maksud saya dari Solo atau apa gitu?” tanya Ari lagi setelah ia dan Iqbal duduk di sofa yang sama sedangkan Nayla dan Bella berada di hadapan mereka.

“Penting banget ya saya dari mana?”

Ari menggaruk tengkuknya, merasa agak canggung.

“Cuma mau tahu saja, Bang. Biar bisa lebih akrab sama situ.”

Nayla yang sadar situasi mulai memanas -- menurutnya -- memutuskan untuk buka suara, “Mas Iqbal asalnya dari Bandung, Kak.”

Ya Allah, Nayla beristighfar. Akhirnya dia terpaksa berbohong juga. Ari mengangguk mengerti.

“Ada tugas Bang? Sampai datang ke Jakarta?”

“Kamu jadi orang kepoan banget sa--”

“Ada urusan bisnis, Kak,” sahut Nayla.

Iqbal memandang istrinya tajam. Nayla menjilati bibirnya. Ya ampun, dia masih tak menyangka Iqbal sebegitu beraninya mengawali perkara. Dan Nayla tidak akan membiarkan Iqbal mempermalukan dia atas sikapnya yang tak lazim.

“Oh begitu,” kata Ari.

Ari melirik jam di dinding ruang utama rumahnya. Pukul menunjukkan jam tiga sore lebih. Ari lantas menoleh pada Iqbal lagi.

“Bang, sebentar lagi ashar nih. Ke masjid yuk? Biar dapat shaff terdepan dan ikut shalat sunnah."

Ari beranjak dari duduk. Ia merapikan baju koko dan kopiah yang dipakainya. Iqbal menatapi laki-laki yang ia duga seumuran dengan Siska itu. Kurang lebih antara 20 atau 22 tahun. Jika saja kumis dan jenggotnya dicukur, mungkin Ari akan terlihat lebih muda darinya.

Dengan ini Iqbal mau tak mau membenarkan ucapan Bella soal Ari yang setiap harinya suka menjalani sunnah-sunnah Rasulullah. Dari cara berpakaian, penampilan parasnya, juga kebiasaannya mengerjakan shalat sunnah.

Ternyata saingannya cukup berat juga. Iqbal jadi was-was Nayla akan berpaling darinya. Tak mau kalah di mata Nayla, Iqbal ikut-ikutan bangkit. Hal tersebut tak urungnya membuat Nayla terkejut. Wanita itu menatap bingung Iqbal yang kini menarik bibir kala netra mereka saling bertemu pandang.

“Ayo."

Ari tersenyum lebar.

“Iya, Bang. Eh tapi maaf sebelumnya...” Ari melirik celana yang dikenakan Iqbal. “afwan, sebaiknya Abang menaikkan sedikit celana Abang itu. Soalnya hampir isbal.”

Iqbal menundukkan pandangannya guna melihat celana yang ia kenakan. Dia tertegun saat menyadari kebodohannya. Ari cukup mempermalukan ia tepat di depan Nayla.

Iqbal lantas menggulung celananya sedikit ke atas dan berkata,
“Sudah.”

Tak mau kalah, dengan halusnya Iqbal sengaja menyombongkan diri,
“Omong-omong masjid di sini ngebolehin orang asing seperti saya mengumandangkan adzan gak?”

“Loh, Abang seorang muadzin?”

“Dulu,” kata Iqbal dengan bangga. Ia melirik Sang istri yang terlihat berkeringat.

Iqbal mengira Nayla terkejut mengetahui salah satu rahasianya tersebut. Padahal tanpa Iqbal tahu, sebenarnya Nayla hanya tidak habis pikir bawa dirinya akan bertindak sejauh ini hanya karena rasa cemburu.

“Insya Allah boleh Bang, wah kalau begitu Abang saja yang adzan. Saya penasaran dengan suara Bang Iqbal.”

“Kamu dari tadi memang penasaran sama saya terus, Ri. Jangan sampai ya kamu suka sama saya. Saya masih normal. Kalau mau ngehomo jangan sama saya,” Iqbal berceletuk dengan santainya. Tetapi berhasil membuat semua orang tercengang. Termasuk Nayla.

Suaminya itu benar-benar bertindak jauh. Bagaimana mungkin Iqbal bisa berbicara absurd seperti itu pada laki-laki se-sholeh Ari?

.

Isbal: menjulurkan celana di bawah mata kaki.

Love You Till Jannah Where stories live. Discover now