9.

15.8K 1.4K 142
                                    


Selepas shalat subuh, Nayla langsung ke dapur untuk membuatkan sarapan bersama para pelayan. Tak lebih dari setengah jam, masakan pun matang. Bersamaan ketika ia sibuk menata menu di meja, Iqbal yang baru selesai mandi datang menghampiri. Lelaki itu memakai pakaian santai berupa kemeja hitam polos dan celana jeans panjang. Rambutnya masih basah dan wajahnya terlihat lebih fresh.

"Kamu yang bikin ini semua Nay?" Iqbal menarik salah satu kursi untuk didudukinya tanpa melepas pandangan dari berbagai hidangan yang tersaji di atas meja. Nayla mengangguk sembari tersenyum.

Nayla pun menuangkan air putih ke dalam gelas serta-merta menyendokkan nasi beserta lauk-pauk ke piring suaminya.

"Bukan saya aja yang masak sih, pelayan lainnya turut membantu, Mas."

Nayla mendaratkan bokongnya ke kursi di samping Iqbal. Tak ada lagi yang dapat dirinya lakukan selain memperhatikan Sang suami yang kini tampak sibuk menyantap makanan.
Menyadari Nayla tidak menyendokkan nasi ke piringnya sendiri, Iqbal pun menoleh dengan heran.

"Gak sarapan, Nay?"

Nayla menggeleng.

"Nanti saja."

“Oh kalau begitu, habis ini kamu bantu saya pakai seragam kerja ya.”



***



Suasana di kamar begitu hening. Nayla sengaja hanya memfokuskan dirinya untuk memasangkan dasi setelah tubuh Iqbal dibalut kemeja putih. Di saat yang bersamaan, Iqbal pun memulai percakapan guna menepis kesunyian di antara mereka,

"Nay, kamu sudah tahu bahwa akhir-akhir ini Islam kembali disebut sebagai agamanya teroris?"

"Iya.”

"Terus tanggapan kamu saat tahu Islam dijuluki begitu?"

Nayla meraih jas hitamnya yang tersampir di punggung sofa. Sambil mengenakan jas itu padanya Nayla merespon,

"Geram. Islam jelas bukan agama teroris."

"Kalau mengaitkan kembali dengan insiden ISIS--"

"ISIS bukan ISLAM, Mas. Pada dasarnya Islam gak pernah ngajarin untuk membunuh atau pun ambil hak orang lain secara paksa. ISIS sudah jauh dari kata islam. ISIS teroris yang nyata, teroris yang hanya mengatasnamakan ISLAM dalam aksinya. Dan mereka itu adalah kafir. Karena ulah mereka, Islam jadi dipandang buruk sama banyak pihak."

"Jadi menurut kamu, orang kafir itu teroris?"

Nayla menggeleng.

"Teroris sudah tentu kafir, Mas. Tapi kafir belum tentu teroris."

"Lalu kalau Si teroris itu memang bukan Islam, mereka berpegang teguh pada agama apa?"

"Tidak beragama. Maaf saya gak bermaksud menyindir Mas. Kalau teroris beragama, dia gak akan berani menebar kejahatan, Mas. Mereka bakalan takut sama Tuhan-nya. Karena setiap agama pasti memiliki Tuhan, dan setiap agama punya kitab, dan di tiap isi kitab itu, umat dilarang melakukan kejahatan."

"Terus menurut kamu, kalau orang islam yang senang bermaksiat, dia termasuk kafir gak? Dia melakukan kejahatan padahal Tuhan-nya telah melarang, kan?"

"Tergantung, Mas. Kalau dihatinya sudah tidak yakin akan adanya Allah, maka dia kafir."

"Jadi orang yang selalu bermaksiat di sepanjang hidupnya dan tidak pernah berbuat amal ibadah sekali pun namun di batinnya masih yakin atas keberadaan Allah, dia bukan kafir?"

"Iya, Mas. Dia bukan kafir."

"Kenapa kamu tahu dan yakin kalau dia tidak bisa disebut kafir?"

"Saya pernah mendengar sebuah kisah yang pernah Rasulullah sampaikan. Mengenai sosok penghuni surga paling akhir. Dia adalah sosok yang sepanjang hidupnya selalu bermaksiat namun di hatinya masih meyakinkan kalau Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Muhammad adalah utusan-Nya. Dia keluar dari neraka dalam keadaan merangkak setelah disiksa atas pensucian dari dosa-dosanya. Sebab dia masih memiliki iman walau hanya sebesar biji zarrah."

"Dari hadits apa?" tanya Iqbal.
Nayla yang sudah selesai mengancingkan jas hitamnya, sedikit memundurkan langkah dan menjawab,

"Hadits Riwayat Bukhari Muslim."

"Oh," kata Iqbal sambil mengangguk. Dia memasukkan laptop miliknya ke sebuah tas.

"Terkadang saya mikir, Nay. Kamu wanita yang banyak mengetahui tentang hadits. Sedangkan saya adalah mantan penghafal Al-Qur'an, seandainya saja saya tidak memiliki sedikit keraguan lagi atas keyakinan yang sama dengan kamu, pasti kita akan jadi pasangan yang serasi."

"Suatu saat nanti, saya yakin Mas akan kembali menjadi seorang muslim seutuhnya kok. Perlahan-lahan, rasa ragu Mas itu pasti akan hilang. Mas harus bisa melawan bisikin syaitan yang sampai sekarang masih berniat bikin Mas untuk murtad lagi."

"Dan itu tidak semudah yang kamu kira, Nay.”

Usai membereskan alat-alat kerjanya, Iqbal kembali menghadap Nayla dengan tangan kanan yang menenteng tas tersebut.

"Ada banyak sekali pertanyaan yang berputar di benak saya mengenai Tuhan. Misalnya, kenapa Tuhan menguji manusia jikalau Dia sudah tahu akan berakhir seperti apa?"

Nayla tersenyum.

"Karena Tuhan ingin tahu apakah Si manusia akan pasrah menjalani takdirnya atau dia justru berjuang melawan ujian itu."

"Maksud kamu, merubah takdir? Bukankah takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dirubah? Kalau takdir bisa dirubah, maka letak kekuasaan Tuhan memiliki batas, kan?"

"Kata siapa takdir tak bisa dirubah? Takdir itu dapat dirubah, Mas. Tapi manusia itu sendirilah yang tidak mampu menemukan bagaimana cara merubahnya. Dan kekuasaan Allah jelas tidak akan pernah terbantahkan. Pertanyaan kamu itu setidaknya seperti ini; 'Kenapa Allah menciptakan kafir padahal Allah tahu bahwa kafir tidak akan pernah beribadah kepadanya? Jadi, salah siapa ada kafir?' maka, saya akan menjawabnya, Mas."

Iqbal terdiam. Nayla pun melanjutkan ucapannya,

"Dari Hadits Riwayat Muslim, Rasulullah Shalallahu 'alaihiwassalam pernah bersabda: 'Tidaklah setiap bayi yang lahir kecuali dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanya yang dapat menyebabkan ia beragama yahudi, nasrani, atau majusi.' Jadi, setiap bayi yang lahir hakekatnya adalah muslim. Kafir itu ada karena saat bayi tersebut beranjak dewasa, dia memilih untuk ikut keyakinan kedua orangtuanya. Di QS. As-Syams ayat 8, Allah berfirman; ‘Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."

“Dari sini kita bisa menyimpulkan pertanyaan kamu mengenai kebatasan kekuasaan Allah. Mas, Allah jelas tidak punya batas kekuasaan. Allah itu demokrasi, Allah memberi kita hak setara untuk memilih. Pasrah pada takdir atau berusaha merubahnya adalah pilihan. Seperti menjadi kafir, itu bukan suatu ketetapan dari Allah, melainkan pilihan Si manusianya. Kamu seorang mantan hafidz, jadi kamu pasti tahu QS. Al-Balad ayat 10.”

“Di mana Allah berfirman, ‘Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.’ Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan hak untuk memilih. Menjadi orang yang beriman kepada Allah atau menjadi orang kafir adalah pilihan. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Allah tidak memaksa seorang hamba untuk beriman kepada-Nya. Allah memberikan hak setara pada setiap manusia."

Senyuman tipis terpatri di wajah Iqbal. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan tiba-tiba saja mengusap lembut kepala Nayla.

"Terima kasih."

“Untuk?"

"Atas jawaban kamu yang cukup memuaskan saya."

Nayla mengangguk kikuk. Kemudian tanpa bisa diprediksi, mendadak saja Iqbal menarik istrinya ke dalam pelukan.

"Saya butuh kamu, Nay. Maka dari itu, jangan pernah pergi dari kehidupan saya jika suatu saat nanti kamu telah mengetahui rahasia terbesar saya. Apa pun yang akan terjadi, saya mohon ke kamu untuk tetap bersabar menghadapinya."

"Ma-Mas?"

"Tolong bimbing saya, Nay. Sampai nanti tiba waktunya sayalah yang akan membimbing kamu."

Nayla merasakan tubuh Iqbal yang sedikit bergetar. Nayla menahan napasnya. Tidak menyangka bahwa Iqbal bisa terlihat agak rapuh begini. Meski begitu, Nayla balas mendekapnya. Nayla melingkarkan kedua tangannya di pinggang Iqbal.
Untuk yang pertamakalinya, pagi itu Nayla kembali merasakan pelukan hangat dari seorang lelaki selain Abi. Dan lelaki itu adalah suaminya sendiri. Imamnya yang sedang mencari petunjuk untuk melangkah di jalan kebenaran.

Love You Till Jannah Where stories live. Discover now