3. Your name is Hana Azzahra.

10.8K 853 8
                                    

Sekarang, Hana seolah mengerti. Semuanya tidak lagi terasa aneh. Dokter datang memeriksanya di waktu yang sama setiap hari. Dia hanya memperhatikan. Lalu bertanya-tanya, 'Kenapa ujung tajam jarum suntik itu tidak terasa ketika mereka menusukkannya ke dalam kulitku?' Atau 'Kenapa aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan?'

Mungkin bagi Hana, dia mengucapkannya dalam hati, tapi tanpa sadar bahwa perkataan di kepalanya itu sampai terucap oleh lidah. Justin yang mendengarnya hanya menatap dalam diam. Dia ingin menjelaskan, tapi berpikir bahwa akan lebih baik untuk membiarkan Hana terbiasa dan mungkin menyadarinya sendiri, walau hanya menduga-duga. Supaya ketika Justin memutuskan untuk memberitahu semuanya, Hana tidak akan terlalu terkejut.

Setelah kepergian dokter, Hana tampak tenang dengan deruan napas teratur. Justin mengiranya sudah tertidur, tapi Hana menoleh ke arahnya dengan mata masih terbuka lebar. Dia seolah mengerti apa yang diinginkannya.

Bangkit dari sofa, lalu mendekati ranjang, Justin menarik kursi di dekat nakas dan duduk di samping Hana. Menatapnya dengan mata mengantuk dan senyuman tipis. Mulutnya terbuka hendak mengucapkan sesuatu, namun terkatup rapat kembali.

Justin menghela napas. Dia bangkit lagi dan merogoh isi tas kerjanya untuk mengambil sebuah memo dan bolpoin. Lalu Justin menuliskan;

'Kau butuh sesuatu, Hana?'

Ketika memberikannya, ekspresi Hana tampak bingung dengan kernyitan di dahi. Lalu beberapa detik kemudian, dia terkesiap. Matanya tidak berhenti menatap kertas yang Justin berikan.

"Hana," bisiknya dengan mata berbinar-binar.

Justin tersenyum. Lalu berkata; "Bahkan kau tidak ingat siapa namamu, lantas bagaimana kau akan mengingatku?" yang sudah pasti tidak didengar oleh Hana.

Karena melihat Justin yang terbengong-bengong menatapnya, Hana menukik sebelah alis, lalu mengambli bolpoin di jemari lelaki itu. Dia menulis;

'Namaku Hana?'

Kali ini, senyum getir di bibir Justin terganti dengan senyum bahagia dan menatap Hana senang.

'Namamu memang Hana, Hana Azzahra.'

Hana tersenyum ketika membacanya. Entah kenapa, setitik saja cahaya yang mengintip ke kegelapan di kepalanya, dia bahagia sekali. Sebelumnya dia merasa sangat bingung dan ada sesuatu di dalam dirinya yang memberontak seolah ingin dilepaskan karena semua kebingungan ini. Dia merasakan sakit di kepala ketika mencoba mengingat-ingat sesuatu. Sebelumnya juga terlalu takut pada orang-orang di sekitarnya, termasuk dokter dan suster, seakan-akan mereka datang hanya untuk menyakiti. Tapi semuanya baik-baik saja jika bersama pria ini, pikir Hana. Lantas, dia penasaran, lalu menulis di lembaran baru memo tersebut.

'Kau siapa?'

Justin membacanya. Senyumnya menghilang. Dia sudah pernah bilang bahwa dia akan selalu siap pada kemungkinan terburuk apapun, tapi tetap saja rasanya tidak akan berubah, jika sakit akan tetap menjadi sakit.

'Sebaiknya kau tidur, ini sudah hampir tengah malam. Besok keluargamu akan datang dan aku akan menjelaskan semuanya.'

Itu adalah janji. Hana hendak menuliskan protesannya, namun Justin telah lebih dulu bangkit berdiri dan memperbaiki letak selimut Hana, lalu mencium keningnya dan beranjak ke sofa, mengambil posisi yang sama.

Hana merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba menjadi dua kali lebih cepat. Ini aneh, pikirnya. Seolah ada perasaan membuncah di dada yang tidak ia mengerti apa. Dan berpikir bahwa itu karena sejak awal dia memang sudah sakit dan mungkin keadaannya semakin memburuk.

ETERNAL FAITH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang