14. The heart connection.

8.1K 730 9
                                    

Panas sinar matahari yang menerpa wajah membuat Hana terbangun dari tidurnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengerjap beberapa kali. Dirasakannya sebuah tangan melingkar posesif di pinggangnya, hal itu membuat kesadaran Hana kembali. Dia menunduk, menatap rambut cokelat suaminya. Wajah Hana memerah seperti tomat ketika mengingat apa yang mereka lakukan tadi. Bahkan sekarang, hangat napas Justin yang menerpa dadanya membuatnya semakin gila dan malu. Tidak ada hal lain yang ingin dilakukannya selain mengubur diri dalam-dalam sampai rasa malu ini hilang. Bagaimana dia akan menatap suaminya nanti?

Hana menghela napas, senyum lebar bermain di bibirnya. Dia sedikit menjauh, lalu menatap wajah Justin yang tampak sangat damai dalam tidurnya. Bulu mata pria itu lentik, dengan alis tebal dan rahang yang tegas. Rona di pipi Hana tidak juga menghilang ketika tangannya yang lentik menyentuh ujung hidung suaminya, dan senyum Hana semakin lebar.

Justin mengerang pelan dan bergerak kecil. Dan Hana buru-buru menutup matanya, pura-pura masih tertidur.

Mata Hana masih terpejam ketika dia merasakan kecupan kecil di ujung hidungnya, lalu usapan pelan di punggungnya yang membuat Hana menggigil seketika. Panas matahari yang menerpa wajahnya tidak lagi terasa dan dia merasakan pelukan Justin semakin erat.

Apa pria itu tertidur lagi?

Perlahan, Hana membuka sebelah matanya untuk mengecek. Dan ternyata, pria itu tengah menatapnya tepat di depan wajah Hana.

"Aku tahu kau pura-pura tidur, Sweetheart. Ayo bangun," kata Justin dengan suaranya yang serak khas bangun tidur. Hana sadar, bahwa mereka tidak pernah berada dalam kedekatan yang seperti ini sebelumnya. Oh, tentu saja pernah, tapi Hana tidak ingat. Namun hal itu tidak mencegah pipinya untuk kembali merona dan semburat pink yang hampir membuat Justin berpikir bahwa itu adalah make up yang biasa digunakan perempuan, tapi Hana tidak pernah mengenakan make up. Bulu matanya tetap lentik dan tebal, bibirnya tetap merah sekalipun ia tidak mengenakan lipstik apapun, dan rona di pipinya... Justin merasa sangat beruntung dapat melihat dan menikmati semua ini seorang diri.

"A-assalamu'alaikum," kata Hana dengan gugup, dia bahkan tidak berani membalas tatapan Justin, dan tangannya berusaha menyingkirkan lengan pria itu dari pinggangnya.

Justin terkekeh, kemudian menjawab salamnya. "Wa'alaikumussalam."

Mereka sudah terbiasa melakukan itu setiap pagi, atau setiap bangun dari tidur. Bahkan sebelum tidur, Hana tidak pernah lupa mencium tangannya lalu mengucap salam. Justin pernah bertanya kenapa, Hana hanya menjawab bahwa kematian adalah sesuatu yang sangat-sangat dekat dengan manusia, dan dia hanya ingin menjadikan setiap momen seolah itu adalah sebuah perpisahan, perpisahan yang manis.

Justin tersenyum.

Setiap kali pria itu menatap Hana dan tersenyum padanya seperti ini, Hana seolah merasakan dirinya akan meledak dengan jantung yang berdebar tidak karuan, memompa banyak darah ke wajahnya yang membuatnya memerah.

"A-aku mau bangun. Ini sudah hampir waktu dhuhur," cicit Hana pelan.

Sama seperti Hana sebelumnya, kini giliran Justin yang tersenyum lebar seolah hal itu tidak akan membuat rahangnya pegal. Dan sebelum Justin melakukan sesuatu yang iya-iya lagi, dia pun melepaskan Hana. Perempuan itu menggelung selimut dan menutupi dirinya sendiri lalu berjalan cepat menuju kamar mandi.

"MasyaAllah," gumam Justin seorang diri, tersenyum lebar menatap langit-langit kamar, seperti orang sinting saja, dan hanya Hana seorang yang mampu membuatnya seperti ini.

***

Pukul setengah dua siang ketika Hana dan Justin selesai berjamaah di kamar. Saat ini, Hana duduk di sofa ruang santai yang terletak di samping kamar mereka, dan di hadapan sebuah jendela kaca besar yang menghadap langsung ke kolam berenang. Hana duduk sambil membaca Al-Qur'an di tangannya. Dia membaca surah Ar-Rahman, meresapi setiap ayat dan menelaah artinya.

ETERNAL FAITH ✔Where stories live. Discover now