27. Revealing.

12.3K 854 113
                                    

Ekhem 😞 siap-siap.

***

Ketika sampai di dalam kamar mereka. Hana segera menuju tempat tidur dan mendudukkan dirinya di sana. Matanya menatap Justin yang berjalan mendekat.

"Jadi, bisakah kau memberitahuku sekarang?" tanyanya dengan nada yang membuat Justin meringis, namun sedikit terhibur. Ya, Hananya yang lama memang telah benar-benar kembali.

Alih-alih menjelaskannya langsung, Justin malah mendekati Hana dan tersenyum padanya. Ketika Justin bergerak untuk meraih tangan perempuan itu, Hana justru menjauh.

"Jelaskan padaku, kenapa selama ini kau berakting seolah-olah kau memang baik-baik saja, di saat kau tidak sama sekali." Mata Hana kembali berkaca-kaca ketika mengucapkannya, tapi dia langsung mengerjap-ngerjapkan matanya dan tidak membiarkan air mata ketakutan itu jatuh.

"Aku tidak berakting," jawab Justin dengan nada tenangnya. Dan Hana benci itu, bagaimana Justin bisa setenang ini di saat dirinya dilingkupi ketakutan seperti ini?

Melihat keraguan di tatapan Hana, Justin pun menghela napas berat. Dia menatap ke lain arah lalu berbisik lirih; "Can I hug you?"

Setelah berdiam lama, Hana pun akhirnya bergerak mendekati Justin dan memeluk suaminya itu. "It must be so hard to you. And it's make me terrified to just imagine what's really happened."

Mereka terdiam dalam keheningan yang tidak mengenakkan, memberontak untuk segera dipecahkan. Helaan napas Hana dan Justin bersahutan.

Justin kemudian membalas pelukan Hana. Ia menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang dan membawa Hana ke dadanya, dan Hana hampir bisa mendengar detak jantung Justin yang menggila.

"Aku hampir tidak bisa diselamatkan," kata Justin tiba-tiba.

Hana menahan napas, memperat pelukannya. Inilah waktunya dia mengetahui semuanya dan mencoba untuk tidak menjadi lebih panik dari ini.

Justin mengusap kepala Hana pelan.

"Benar-benar sebuah keajaiban. Ketika paru-paruku bocor dan sebelah ginjalku pecah, aku tidak merasakan apapun alih-alih aku berlari keluar dari mobil yang sudah tidak berbentuk itu dan mencari dirimu." Justin menghela napas berat. "Kau tidak akan mengerti seberapa takutnya aku ketika aku pikir bahwa hari itu adalah hari terakhir aku melihatmu, Hana. Kau bersimpah darah. Aku pikir bahwa inilah terakhir kaliku untuk memelukmu dan mendengarmu memanggil namaku. Dan saat itu, yang paling aku takutkan adalah tatapanmu, benar-benar kosong, seolah kau sudah berada di dunia lain. Aku benar-benar ketakutan dan tiada lain yang kupikirkan selain keinginan untuk menyusulmu pergi. A-aku..."

Hana yang sudah berlinang air mata, meregangkan pelukannya dan menatap wajah Justin. Pria itu menitikkan air mata. Bahkan kini, ketika Hana sudah jelas-jelas berada di hadapannya, tatapan Justin masih menyimpan penuh ketakutan, takut kehilangan dirinya. Dan hal itu tidak membuat Hana lebih baik. Kini berganti dirinya yang memeluk Justin dan membiarkan lelaki itu menangis di dalam pelukannya.

"A-apa... apa yang terjadi setelah itu?" tanya Hana. Dia merasakan gelengan kepala Justin di lehernya.

"Aku tidak tahu. Setelah kau menutup mata, aku tidak tahu apa yang terjadi. Lalu kemudian aku terbangun di kamar rumah sakit satu bulan kemudian. Lagi-lagi sebuah keajaiban. Dokter spesialis yang merawatku mengatakan bahwa kecil kemungkinan aku bisa selamat atau kembali siuman secepat itu. Tapi yang ada di pikiranku saat itu hanya satu, yaitu kau, Hana. Tapi aku harus menunggu sampai berhari-hari sampai kemudian aku diperbolehkan untuk pindah ruangan, satu ruangan denganmu. Pada setiap detiknya aku merasakan motivasi dan keinginan yang begitu besar untuk segera sembuh. Dorongan itu begitu kuat setiap kali aku melihat ke arahmu dan semakin kuat ketika aku mengetahui bahwa kau tengah mengandung anakku. Aku berpikir, bagaimanapun caranya, aku harus sembuh dan aku harus ada di sampingmu di saat kau terbangun nanti. Semua itu mempengaruhi kesehatanku. Buktinya, tidak sampai dua bulan kemudian, aku sudah terbebas dari selang infus. Walau terkadang, aku kembali drop dan harus dirawat kembali, dan aku tidak pernah dan tidak ingin kau tahu tentang keadaanku. Aku tidak ingin kau terlalu memikirkannya. Aku ingin kau sembuh, itu saja."

"K-kau... kau jahat sekali!" seru Hana di tengah isak tangisnya, namun justru memeluk Justin semakin erat. "Maafkan aku. Maafkan aku, Justin, kumohon maafkan aku..."

Justin menjauhkan tubuhnya dan menatap Hana. Pria itu tersenyum. Ia melepas tali niqab Hana untuk mengusap air mata di wajah perempuan itu. "You have nothing to sorry about, Sweetheart," bisik Justin, mencoba menenangkan. Namun sepertinya itu tidak mempan, karena Hana lagi-lagi menghambur ke pelukannya dan kembali terisak.

"J-jadi... jadi itu alasanmu yang terkadang suka mendadak pergi ke kota ketika kita masih di desa? Kau pergi ke rumah sakit untuk mengkontrol kondisimu, iya?"

Justin menganggukkan kepala. "Hidup dengan satu ginjal, aku harus cuci darah dengan rutin dan mengontrol penyembuhan paru-paruku." Justin menjawab.

Separah itu. Ya Allah. Justin... Justin tidak baik-baik saja. Dia tidak pernah baik-baik saja. Namun selama ini, dia selalu menampakkan dirinya yang sehat tanpa gangguan atau masalah apapun di depan Hana. Dan Hana ingat segala tingkah dan perlakuannya pada Justin. Semua beban yang ia tumpukkan di punggung pria ini. Hana terisak semakin keras. Ini benar-benar sulit dipercaya dan dia benar-benar merasa semakin bersalah.

"Apa... apa ketika kita tengah bersama, kau pernah merasakan sakit dan memilih untuk menahannya karena aku?" tanya Hana lagi, dan dia sendiri takut mendengar jawabannya.

Sedangkan Justin membalasnya dengan kekehan sumbang. "Anehnya, aku tidak pernah merasakan gejala apapun ketika sedang bersamamu. Kecuali satu."

Hana mendongak. "Apa? Apa kau baik-baik saja?"

"I don't think so. Sepertinya jantungku selalu berdetak dengan tidak normal setiap kali berdekatan denganmu. Menurutmu, itu gejala apa?"

Hana tidak ingin tersenyum, tapi pada akhirnya dia tersenyum juga dengan pipi memerah yang kontras.

"Aku juga merasakan itu."

"Then we're both sick."

Hana terkekeh. Satu hal lagi yang sangat dia cintai pada suaminya; adalah bagaimana Justin selalu menghiburnya dan membuatnya kembali tertawa bahkan dalam keadaan serendah atau sesedih apapun.

***

Kemudian ketika malam semakin petang, Hana dan Justin berbaring di ranjang lagi. Mereka baru saja selesai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, yaitu sholat.

Hana berada di pelukan Justin. Menyerap kehangatan yang membawa sejuta kenyamanan baginya.

"Aku berharap aku mengetahuinya lebih awal. Aku berharap kita bisa saling berbagi rasa sakit itu."

"No, Hana. Aku justru berpikir bahwa apa yang aku rasakan tidak ada apa-apanya dibanding apa yang kau rasakan. Setiap kali kau merasa kesakitan karena pembengkakan di kepalamu, aku justru selalu berdoa dan berharap kalau saja rasa sakitnya bisa dibagi maka aku akan senang hati menanggung sepenuhnya. Ini bukan salahmu. Bukan salah siapapun. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, oke?"

Hana mengangguk. Dia melonggarkan pelukannya untuk mendongak menatap mata karamel sang suami. "Aku berdoa, agar Allah menjodohkan kita bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat." Lalu Hana sedikit bangkit dan mencium bibir Justin singkat untuk kemudian langsung kembali ke posisinya semula dan memeluk Justin semakin erat.

Justin terkekeh. "Aamiin." Adalah responnya pada doa Hana. Lalu responnya pada kecupan perempuan itu adalah; tentu saja mengecupnya balik, namun kemudian berlanjut ke hal-hal lain.

THE END

Udahin aja ya...
Next part is epilogue and extra parts.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ETERNAL FAITH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang