18. Unexpected Meeting.

7.4K 672 28
                                    

Ada banyak sekali hal yang ingin aku lakukan, batin Hana, ketika netra biru elektriknya menatap burung-burung yang terbang di langit pagi dengan udara yang sangat sejuk. Hana menatap taman yang terhampar di halaman belakang rumah dan hutan pinus yang melatarinya. Di sini sangat indah, berbeda dengan rumah-rumah lain yang berada di satu komplek yang sama. Namun, Hana tidak bisa menepis kerinduannya pada rumah mereka di desa. Dia ingin mengunjungi kebun anggur lagi bersama bibi Maloma, bermain dengan si Hitam, atau hanya sekedar mendengarkan anak-anak bibi Maloma bercerita tentang keseharian mereka.

Namun, kesunyian yang familiar, membuat Hana seidkit betah.

Semalam, dia memilih untuk tidak menginap di rumah keluarganya, sebab Hana masih merasa asing berada di sana. Sehingga dia dan Justin pun memutuskan untuk pulang ketika hari benar-benar petang.

"Hana, kau bisa masuk angin jika terus berdiri di sini."

Justin muncul di belakangnya, memeluk Hana dan mencium pipinya.

"Aku tidak apa-apa," kata Hana, tersenyum kemudian berbalik ke belakang. Dia menatap suaminya yang telah berpakaian sangat rapi dengan jas dan kemeja yang melekat di tubuhnya yang sempurna. Sedangkan dirinya masih dibalut piama tidur dan jilbab biasa.

Hana menukik sebelah alis, "Mau kemana?"

Justin tidak langsung menjawab. Dia memeluk tubuh Hana dari samping sambil mengelus perutnya yang buncit.

"Kau sudah meminum susu dan vitamin, kan?" tanya Justin.

Hana mengangguk. Bagaimana dia akan lupa ketika Justin terus saja mengingatkannya. "Jadi?" tanya Hana lagi, meminta jawaban dari pertanyaannya yang sebelumnya.

"Aku mau ke kantor," jawab Justin singkat.

Hana semakin bingung. "Ke kantor yang... yang kemarin aku lihat di tivi?"

Justin terkekeh. "Ya, ke kantor yang kemarin kau lihat di tivi."

"Boleh aku ikut?" tanya Hana tanpa berpikir panjang.

Justin tersenyum tipis. "Tidak."

Hana mengerucutkan bibir, menatapnya penuh harap, namun Justin hanya membalasnya dengan raut datar.

Sedikit kesal, Hana pun membalikkan tubuhnya ke posisi semula dia berada di balkon kamar itu. Terdengar suara kekehan Justin di belakang. Dia memeluk Hana lagi.

"Of course you can come with me, Sweetheart," bisiknya di telinga Hana, yang berhasil membuat perempuan itu tersipu malu.

***

"Aku gugup," gumam Hana pada dirinya sendiri, sembari menatap penuh kagum pada bangunan-bangunan pencakar langit di sepanjang jalan. Justin duduk di samping Hana, sedang berbicara sesuatu di telepon, namun ia tetap mendengar suara gumaman Hana yang memang terdengar cukup keras. Setelah mematikan sambungan teleponnya. Justin merangkul bahu Hana dan menggeser duduknya mendekati perempuan itu.

"Apa yang membuatmu gugup?" tanya Justin setelah mencium pelipisnya singkat.

Hana menoleh padanya sebentar, kembali menatap ke arah luar jendela. "Aku gugup, karena siapa tahu di sana aku akan ingat sesuatu. Rasanya aku sangat-sangat bersemangat untuk segera mengetahui apapun itu, tapi aku juga gugup."

Justin tersenyum sendu. Dia menginginkan kesehatan untuk Hana dan juga merindukan sosok Hananya yang dulu. Namun Justin juga mengetahui bahwa ganjaran untuk hal itu tidaklah mudah. Dia diingatkan kembali akan kenapa Hana bisa menjadi seperti ini.

Semua... karenanya.

"Ya, semoga saja," sahut Justin kemudian, dengan sebuah gumaman kecil.

*

ETERNAL FAITH ✔Where stories live. Discover now