24. The pain.

7.9K 748 24
                                    

"Ali Rahman?"

Pria di hadapannya mengangguk. Hana mengedipkan matanya yang terasa berat. "T-tapi..." dia berpikir, rasa-rasanya pernah mendengar nama itu namun entah di mana.

"Ikutlah denganku, Hana. Ali sudah lama ingin bertemu denganmu. Katanya, dia tidak akan tenang jika belum bertemu denganmu. Bahkan Ali menunda pengobatannya karena itu."

Kedua alis Hana hampir menyatu. Kernyitan di dahinya kian dalam. Saat ini Hana duduk di samping seorang pria yang mengaku sebagai rekan dekat Justin, namanya Adam Rahman. Pria itulah yang tadi mengejutkannya di koridor. Hana tentu saja langsung menolak ketika Adam, pria paruh baya yang sebagian rambutnya berwarna putih itu, mengajaknya untuk berbicara. Tapi dia menyinggung sebuah nama, nama yang pernah Justin sebutkan dan juga terdengar begitu familiar di telinga Hana.

Dan di sinilah mereka, di dalam sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang sopir, entah menuju kemana.

Pikiran Hana berkecamuk, penuh keraguan. Apalagi setelah Adam bilang bahwa Ali ingin bertemu dengannya, rasa penuh antisipasi pun Hana rasakan. Dan Hana tidak lupa pada kejadian di parkiran tadi. Dan kepalanya terasa semakin pening, sedikit berkunang-kunang.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Adam ketika melihat Hana memegang kepalanya.

"Maaf, kepalaku sedikit pusing, tapi aku baik-baik saja."

"Maafkan aku, Hana. Ini mungkin terdengar seperti sebuah kebohongan. Ali adalah putraku, aku sangat menyayanginya, dan kecelakaan yang menimpa kalian ketika itu hampir merenggut nyawa putraku. Kalian sama-sama kehilangan, kan. Kau akan tahu nanti. Dan sekali lagi maafkan aku, aku tahu seharusnya aku melakukan ini dengan persetujuan suamimu, tapi Justin terlalu khawatir padamu dan memilih untuk menunggu sampai kau mengingat semuanya. Aku mengerti, yang dia lakukan itu memang benar. Kali ini, hanya kehendakku, kehendak seorang ayah yang menginginkan kesehatan untuk putranya." Adam Rahman menunduk, kemudian menoleh pada Hana. perempuan itu sama sekali tidak sedang melihat ke arahnya. Dan rasa bersalah Adam semakin dalam ketika Hana terus saja terdiam, seolah tengah terjadi kecamuk hebat di kepala perempuan itu. Adam menghela napas, menyandarkan punggungnya dengan nyaman dan membiarkan keheningan mendominasi.

*

Saat ini, Hana bisa merasakan dengan jelas keringat di pelipisnya, membuat tali niqab yang ia gunakan sedikit lembab, antisipasinya kian tinggi, dan hal itu justru membuat jantungnya semakin bertalu-talu. Tiada lain yang Hana lakukan selain berdzikir, dan yakin, bahwa apapun yang terjadi, Allah adalah Dzat yang Maha Besar.

Pintu mobil terbuka dari luar. Dan Hana baru menyadari bahwa Adam Rahman telah lebih dulu turun dan ia lah yang membukakan pintu untuk Hana.

"Terima kasih," bisik Hana pelan, sedikit bergetar. Kalau saja dia tidak mengenakan niqab, siapapun akan dengan mudah melihat wajah pucat Hana.

Hana menatap rumah di hadapannya sekilas, ia tidak sempat menelaah bagaimana bentuknya, sebab pikirannya telah dikuasai oleh topik lain.

Mereka pun masuk ke dalam. Pintu yang tadi dibuka oleh dua orang pelayan pria kini kembali tertutup. Tidak sesepi seperti yang tampak di luar, di dalam rumah terdapat beberapa pelayan yang sepertinya sibuk tengah melakukan sesuatu.

"Jangan menghiraukan mereka," kata Adam Rahman dengan suara pelan. Namun Hana tidak merespon, kepalanya terus tertunduk dan dia meremas kedua tangannya dengan kuat, mencoba menghilangkan rasa gugup dan pusing yang menjadi satu.

Adam Rahman menuntunnya sampai di sebuah koridor yang diapit oleh dinding-dinding yang dipenuhi oleh kaligrafi.

Pandangan Hana menengadah ke depan, melihat sebuah pintu kayu berwarna cokelat yang di depannya berdiri dua pria dengan seragam formal seolah mereka memang ditugaskan untuk berjaga di sana. Dan memang, itulah tugas mereka.

ETERNAL FAITH ✔Where stories live. Discover now